Ketua Komisi I DPRD NTB, Sirajuddin, SH.,
Mataram, Garda Asakota.-
Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB
memiliki kekayaan potensi alam yang cukup besar. Salah satu potensi kekayaan
alam yang dimiliki oleh Pemprov NTB adalah asset tanah seluas 75 Hektar dikawasan
wisata dunia, Gili Trawangan Lombok Utara, dimana 65 Hektarnya dikontrakan ke
PT Gili Trawangan Indah (GTI) sejak tahun 1995 lalu dengan nilai kontrak
sebesar Rp22,5 juta per tahunnya selama 70 tahun.
Sebuah nilai kontrak yang sangat
rendah sekali dibandingkan dengan income yang bisa diraup dari pemanfaatan
dengan pengelolaan kawasan wisata yang cukup diminati oleh para pelancong itu.
“Nilai ekonomi dari total asset di Gili Trawangan itu mencapai Rp2,3 Trilyun. Dan jelas ini tidak sebanding dengan apa yang didapat oleh Pemda Provinsi NTB,” sorot Ketua Komisi III DPRD NTB, Sembirang Ahmadi, beberapa waktu lalu kepada wartawan media ini.
Jomplangnya antara nilai pendapatan
daerah dengan nilai kontrak asset 65 hektar ini memicu Komisi III mengeluarkan
rekomendasi pemutusan kontrak antara Pemda Provinsi NTB dengan PT GTI. Sikap tegas Komisi III ini pun diikuti oleh
Komisi I DPRD NTB yang juga mendorong Pemda Provinsi NTB untuk segera memutus
kontrak dengan PT GTI.
“Sesegera mungkin kesepakatan kontrak
antara Pemda Provinsi dengan PT GTI itu harus segera dicabut. Disamping karena
adanya wanprestasi, juga karena adanya potensi kerugian bagi Negara dan daerah
yang cukup besar dalam kasus ini,” kata Ketua Komisi I DPRD NTB, Sirajuddin,
SH., kepada sejumlah wartawan, Rabu 29 Januari 2020, diruang Komisi I DPRD NTB.
Sejak mencuat beberapa waktu lalu, kasus kerjasama pengelolaan asset Pemprov NTB seluas 65 hektar dengan PT GTI ini bahkan menjadi atensi khusus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi I DPRD NTB pun telah memanggil pihak eksekutif Pemprov NTB untuk segera menyerahkan semua dokumen hukum yang berkaitan dengan kontrak kerjasama yang dinilai merugikan potensi pendapatan daerah ini.
“Kami sudah meminta kepada pihak eksekutif untuk segera menyerahkan semua dokumen hukum berkaitan dengan kontrak kerjasama ini kepada kami Komisi I DPRD NTB. Insha Alloh besok (Kamis 30 Januari 2020) akan diserahkan. Hasil analisis kami, kontrak ini juga bertentangan dengan UU Pokok Agraria dan Permendagri 19 tahun 2016 karena melanggar klausul pemberian izin bagi suatu investasi. Ini bentuk ketidakcermatan yang berdampak besar terhadap kerugian daerah,” sorot politisi Partai Berlambang Ka’bah ini.
Kecilnya pendapatan daerah dari hasil kerjasama dengan PT GTI itu menurut Komisi I merupakan suatu bentuk kealpaan atau kelalaian serta pembiaran yang harus sesegera mungkin dihentikan karena sudah berjalan selama kurun waktu 25 tahun.
“Ini yang semestinya harus diselidiki
lebih jauh bila perlu lembaga Dewan harus membentuk sebuah Panitia Khusus
(Pansus) atau Panitia Kerja (Panja) yang khusus menyelidiki adanya dugaan
tindak kelalaian ini. Bayangkan tiap tahun ada potensi pendapatan sebesar Rp25
Milyar per tahun dari pengelolaan asset tersebut tapi selama 25 tahun, Daerah
hanya mendapatkan kontribusi sebesar Rp22,5 juta, ini hal yang perlu diselidiki
karena besarnya dugaan potensi kerugian Negaranya,” cetus Sirajuddin didampingi
anggota Komisi I DPRD NTB lainnya, Ahmad Dahlan dari Partai Hanura. (GA. Im*).