Oleh: Rafika, S. Pd
Entah kali ke berapa dinihari ini terjaga lagi dari lelap sesaat yang tidak pernah pulas. Tetapi mata hati dan hampir seluruh raga sudah saling tolerir untuk melaksanakan aktifitas masing-masing dengan kolaborasi cinta dan perasaan yang menyatu… setiap hari kata hati itu senantiasa berkecamuk mengusik hari-hari dengan perasaan. Catatan itu selalu mengisi kisi-kisi hati, mengukirnya dengan senandung cerita yang tanpa batas. Jenuh dan protes tak pernah ada dalam cerita… yang ada malah senandung elegi yang berbianglala ke seluruh benua-benua Eropa… Ceritanya merdu semerdu tembangnya BCL dengan Cinta Sejati-nya, wangi… sewangi melati yang eksotik menyambut malam yang tertata rapi di teras jendela kamar, dramatis seperti dramatisnya Leonardo de Caprio dalam Titanic-nya.
Ya… adakah yang melebihi kisah itu, semua tak pernah terlewati, seperti ku terbiasa melewati kilometer ke tempat mencari sambungan napas. Rutin seperti rutinnya ku bercanda dengan piring-piring kotor, periuk, panci, gelas, dan kayu bakar dengan aroma minyak tanah yang cita rasa. Semua mengalir begitu saja, seperti mengalirnya air sungai di ujung perkampungan yang kunikmati di setiap senja bersama buah hati.
Adakah semua menikmati kisah-kisah yang senada tanpa melodi dan iringan saxofon ? Tanpa angin yang mengusik di sela-sela dahan anggur dan melon yang menyambut dengan manis ketika ku buka tirai-tirai jendela. Selalu ku bersenandung memuja-Nya ketika senantiasa ku intip ibu-ibu yang pulang dari sawah dengan gendongan yang sudah usang tanpa alas kaki.
Sementara dibelakangnya beriringan bocah-bocah yang berceloteh dengan ceria tanpa beban, tanpa planing, dan tanpa tuntutan.Payung itu selalu berusaha melindungi pangeran yang terlelap dalam gendongan batik tanpa corak lagi.Terik, hujan ,petir, panasnya hotmik bukanlah kerikil yang berarti….
Pagi itu ku intip lagi rombongan ibu-ibu yang menjunjung kayu bakar setinggi 30 centimeter, beratnya bukan kepalang bathin ku . Materi diskusinya sederhana, tidak alot, tidak menjatuhkan lawan, tidak nyikut, tidak sentil, tidak berpihak, pun tidak ada ketidakberpihakan. Mosi diskusinya ternyata Pentolan, tahu, tempe yang dimakan dengan sambal terasi, kalau dinikmati hujan-hujan pasti nikmat.
Tersimpulkan juga kalau pentol atau salome yang enak itu yang dijual oleh mas Gembul yang tinggal diujung kampung yang pakai rombong bercat warna kuning. Iringan konklusinya ditimpali dengan nada riang diiringi aplaus tanpa tendesi, tanpa masalah, enjoy tidak takut dikejar-kejar masalah yang beruntun.Canda itu orisinil dan sederhana, sesederhana pikiran dan keinginan mereka, sesederhana cita-cita mereka, sesederhana tuntutan mereka….Seribu tanya tak terjawab…tak bisa menyimpulkan…mengantung seperti jemuran yang tak sempat ku angkat sore itu karena kehujanan…Pikiran ini tersentuh dan terusik oleh manisan senja terkado tanpa nama…. Apresiasi ku bermain dengan landasan hati dengan segala kehati-hatian. Termasuk insan pilihankah Aku ? Ya atau Tidak ?
Penggalan Kalimat tersebut kadang muncul ketika sudah menganggap diri “super” dan unggul dari komunitasnya. Keegoisan manusia yang terlampau tinggi mengalahkan dan melupakan kodratnya sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dengan komunitasnya. Pada awalnya terbentuknya manusia tercipta dari bibit-bibit yang super/unggul dan cikal bakalnya harus melewati berbagai tantangan.Ketika di alam rahim pun kehidupan manusia penuh dengan tantangan, pun ketika menghirup napas pertama di dunia, juga melewati tantangan. Apalagi ketika manusia berada di belantara dunia. Tantangan itu tidak pernah sampai finis, tetapi malah estafet dan maraton. Karena ketika di alam barzah pun kita masih harus melewati tantangan yang abadi . Berhasilkah kita melewati tantangan tersebut ? kalau iya, berarti kita termasuk golongan insan-insan pilihankah ? Karena, Yang kita cari di dunia ini adalah kesejatian, kita tidak boleh kalap oleh kemegahan dan kedudukan, pun tidak boleh kalap oleh kemiskinan; Emha Ainun Najib (Sastrawan /budayawan).
Ketika kita berada dalam satu tujuan, per bedaan visi, misi itu selalu menjadi objek perdebatkan. Hal sepele pun menjadi suatu hal yang perlu di hearingkan. Seperti snack yang monotonlah, tidak kebagianlah, Kurang berkenan di mulutlah .
Seribu selera seribu cita rasa. Sepertinya sudah tidak ada lagi wacana terkini yang patut diperdebatkan, sehingga hal-hal yang sepelepun menjadi ´Layak’ untuk dipermasalahkan. Tindakan seperti ini tidaklah profesional, karena masih banyak yang lebih urgen untuk kita pikirkan dan kerjakan untuk kedamaian negeri yang kita cintai bersama.
Mungkinkah kita menuruti, memenuhi dan menjunjung tinggi cita rasa untuk seluruh rasa terhadap menu yang disajikan? Itu adalah sesuatu yang mustahil !
Hal-hal yang tidak penting sepertinya selalu mendapat aplaus hangat dari para rasa, padahal itu hanya retorika sepelekah ? Jangan sampai kesalahan orang lain dikibarkan setinggi-tingginya, sementara kesalahan sendiri digembok rapat-rapat. Karena tidak ada manusia yang tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan, tetapi bukan kekeliruan yang disengaja ! Mengapa harus ada hal-hal yang digunjingkan ?
Atau kurang transparankah ? Tidak jujur ? Doyan “ berkicau “ di belakang arena, tak ubahnya seperti, Risus Sardonicus ( perubahan muka seketika dan sangat mengerikan). Kalau sekedar basa basi, bukanlah suatu hal yang urgen untuk didiskusikan.
Tetapi kalau terlalu banyak basa basi juga bukanlah hal yang benar, dan wajib kita dijauhi! Kita hendaknya tidak menyuburkan dan membiasakan diri untuk memupuk budaya ‘basa basi’ karena ujung-ujungnya akan menimbulkan perpecahan. Ataukah memang budaya kita selalu mementingkan dan melegalkan basa basi dalam setiap lini ? Ataukah kita memang hobi mengurus menu ? Makanya di televisi banyak sekali lomba masak, demo masak. Dan sangat wajarlah kita di Indonesia ketika membangun rumah, WC-nya duluan yang diperhitungkan. Mulai dari jarak pembuanganya, sampai ke ukuran lubang pembuangannya. Karena Menu turunannya ke sisa atau ke pembuangan.
Tapi jangan sampai otak kita memorinya ke menu saja, nanti sisanya sampai ke kepala, laksana udang sisanya selalu disimpan di kepala. Kalau otak sudah penuh dengan sisa, kita tidak akan leluasa berpikir dengan objektif. Ujung-ujungnya “mengintai” celah-celah untuk menjatuhkan orang lain . Atau memang kita selalu mendewakan selera lidah? Dan mengikuti kebiasaan? Ada pameo di Jepang yang mengatakan, cinta berasal dari cita rasa di lidah. Ketika kita menikmati menu yang disiapkan dengan cita rasa oke, bukanlah hal yang mustahil hati kita bergerak dan terinsting untuk mencintai si tukang masak. Karena suasana hati yang damai akan menjadi dinamisator kehidupan yang penuh warna, William James (Filsuf). Hal-hal yang sepele dan sederhana kadangkala menjadi topik utama, dan selalu mendapat simpatisan.
Ya itulah lidah sangat toleran dan jangan membiarkannya berkelana mencari ‘mangsa’. Mulut mu adalah harimau mu, atau Harimau-Harimau ; katanya Muhtar Lubis (Sastrawan Angkatan ’66). Tetapi ketika hal yang berat disajikan dan diseminarkan kita malah diam seribu bahasa, seperti diamnya lukisan Monalisa. Kita sama sekali tidak mampu memberikan jawaban “koor”, tetapi pura-pura manggut sebagai alibi untuk menutupi kepandirannya. Seperti drum, sangatlah nyaring kicauannya padahal isinya kosong belaka. Personal yang ke-akuannya tinggi, selalu memandang rekan kerjanya dengan kaca mata hitam belaka. Kita pernah berinteraksi dengan manusia jenis ini? Hati-hati karena akan menusuk kita dari ‘belakang’.
Tidakkah kita tertarik dengan eksistensi tumbuh-tumbuhan yang memiliki kelebihan dan keunggulan ? tumbuh-tumbuhan saja punya kualitas super dan unggul ! mengapa manusia tidak bisa ? Semua itu patut kita renungkan bersama dalam mengisi kehidupan di alam fana ini.
Seperti Jagung Varietas Hibrida, padi varietas Hibrida, Kelapa Varietas Hibrida, ada label ungu, biru dan putih. Semakin bagus kualitasnya, nilainya pun semakin mahal. Begitu juga dengan manusia, kalau memiliki kualitas “butik” dan bermerek dalam kompetensi/performance-nya, pastilah memiliki nilai “Plus” dimata publik. Jadi jagalah image agar tidak dilecehkan dan digunjingkan di belakang “layar, tidak perlu mengoceh terhadap urusan pribadi orang lain ! Dan yang terpenting adalah bekerjalah dengan maksimal dan penuh tanggung jawab dan jangan sekali-kali mengumandangkan ‘jargon’ yang menjatuhkan, Karena akan menjadi beban mental dan bumerang dikemudian hari.
Begitu juga dengan siswa yang unggul, bisa kita golongkan, siswa ‘super’ karena lebih bagus kompetensinya. Tetapi jangan sampai siswa saja yang mempunyai kompetensi hibrida, tetapi gurunya harus memilki kompetensi seribu kali lipat dari siswanya.
Karena guru dan siswa adalah pelaku-pelaku pendidikan yang memegang kendali terhadap perkembangan dan keberhasilan pendidikan. Mudah-mudahan kita termasuk golongan insan-insan pilihan bagi keluarga , masyarakat, dan bangsa Amin !
Pemerhati Pendidikan dan Budaya
Mengajar di SMA Negeri I Bolo
Entah kali ke berapa dinihari ini terjaga lagi dari lelap sesaat yang tidak pernah pulas. Tetapi mata hati dan hampir seluruh raga sudah saling tolerir untuk melaksanakan aktifitas masing-masing dengan kolaborasi cinta dan perasaan yang menyatu… setiap hari kata hati itu senantiasa berkecamuk mengusik hari-hari dengan perasaan. Catatan itu selalu mengisi kisi-kisi hati, mengukirnya dengan senandung cerita yang tanpa batas. Jenuh dan protes tak pernah ada dalam cerita… yang ada malah senandung elegi yang berbianglala ke seluruh benua-benua Eropa… Ceritanya merdu semerdu tembangnya BCL dengan Cinta Sejati-nya, wangi… sewangi melati yang eksotik menyambut malam yang tertata rapi di teras jendela kamar, dramatis seperti dramatisnya Leonardo de Caprio dalam Titanic-nya.
Ya… adakah yang melebihi kisah itu, semua tak pernah terlewati, seperti ku terbiasa melewati kilometer ke tempat mencari sambungan napas. Rutin seperti rutinnya ku bercanda dengan piring-piring kotor, periuk, panci, gelas, dan kayu bakar dengan aroma minyak tanah yang cita rasa. Semua mengalir begitu saja, seperti mengalirnya air sungai di ujung perkampungan yang kunikmati di setiap senja bersama buah hati.
Adakah semua menikmati kisah-kisah yang senada tanpa melodi dan iringan saxofon ? Tanpa angin yang mengusik di sela-sela dahan anggur dan melon yang menyambut dengan manis ketika ku buka tirai-tirai jendela. Selalu ku bersenandung memuja-Nya ketika senantiasa ku intip ibu-ibu yang pulang dari sawah dengan gendongan yang sudah usang tanpa alas kaki.
Sementara dibelakangnya beriringan bocah-bocah yang berceloteh dengan ceria tanpa beban, tanpa planing, dan tanpa tuntutan.Payung itu selalu berusaha melindungi pangeran yang terlelap dalam gendongan batik tanpa corak lagi.Terik, hujan ,petir, panasnya hotmik bukanlah kerikil yang berarti….
Pagi itu ku intip lagi rombongan ibu-ibu yang menjunjung kayu bakar setinggi 30 centimeter, beratnya bukan kepalang bathin ku . Materi diskusinya sederhana, tidak alot, tidak menjatuhkan lawan, tidak nyikut, tidak sentil, tidak berpihak, pun tidak ada ketidakberpihakan. Mosi diskusinya ternyata Pentolan, tahu, tempe yang dimakan dengan sambal terasi, kalau dinikmati hujan-hujan pasti nikmat.
Tersimpulkan juga kalau pentol atau salome yang enak itu yang dijual oleh mas Gembul yang tinggal diujung kampung yang pakai rombong bercat warna kuning. Iringan konklusinya ditimpali dengan nada riang diiringi aplaus tanpa tendesi, tanpa masalah, enjoy tidak takut dikejar-kejar masalah yang beruntun.Canda itu orisinil dan sederhana, sesederhana pikiran dan keinginan mereka, sesederhana cita-cita mereka, sesederhana tuntutan mereka….Seribu tanya tak terjawab…tak bisa menyimpulkan…mengantung seperti jemuran yang tak sempat ku angkat sore itu karena kehujanan…Pikiran ini tersentuh dan terusik oleh manisan senja terkado tanpa nama…. Apresiasi ku bermain dengan landasan hati dengan segala kehati-hatian. Termasuk insan pilihankah Aku ? Ya atau Tidak ?
Penggalan Kalimat tersebut kadang muncul ketika sudah menganggap diri “super” dan unggul dari komunitasnya. Keegoisan manusia yang terlampau tinggi mengalahkan dan melupakan kodratnya sebagai mahluk yang senantiasa berinteraksi dengan komunitasnya. Pada awalnya terbentuknya manusia tercipta dari bibit-bibit yang super/unggul dan cikal bakalnya harus melewati berbagai tantangan.Ketika di alam rahim pun kehidupan manusia penuh dengan tantangan, pun ketika menghirup napas pertama di dunia, juga melewati tantangan. Apalagi ketika manusia berada di belantara dunia. Tantangan itu tidak pernah sampai finis, tetapi malah estafet dan maraton. Karena ketika di alam barzah pun kita masih harus melewati tantangan yang abadi . Berhasilkah kita melewati tantangan tersebut ? kalau iya, berarti kita termasuk golongan insan-insan pilihankah ? Karena, Yang kita cari di dunia ini adalah kesejatian, kita tidak boleh kalap oleh kemegahan dan kedudukan, pun tidak boleh kalap oleh kemiskinan; Emha Ainun Najib (Sastrawan /budayawan).
Ketika kita berada dalam satu tujuan, per bedaan visi, misi itu selalu menjadi objek perdebatkan. Hal sepele pun menjadi suatu hal yang perlu di hearingkan. Seperti snack yang monotonlah, tidak kebagianlah, Kurang berkenan di mulutlah .
Seribu selera seribu cita rasa. Sepertinya sudah tidak ada lagi wacana terkini yang patut diperdebatkan, sehingga hal-hal yang sepelepun menjadi ´Layak’ untuk dipermasalahkan. Tindakan seperti ini tidaklah profesional, karena masih banyak yang lebih urgen untuk kita pikirkan dan kerjakan untuk kedamaian negeri yang kita cintai bersama.
Mungkinkah kita menuruti, memenuhi dan menjunjung tinggi cita rasa untuk seluruh rasa terhadap menu yang disajikan? Itu adalah sesuatu yang mustahil !
Hal-hal yang tidak penting sepertinya selalu mendapat aplaus hangat dari para rasa, padahal itu hanya retorika sepelekah ? Jangan sampai kesalahan orang lain dikibarkan setinggi-tingginya, sementara kesalahan sendiri digembok rapat-rapat. Karena tidak ada manusia yang tidak memiliki kesalahan dan kekeliruan, tetapi bukan kekeliruan yang disengaja ! Mengapa harus ada hal-hal yang digunjingkan ?
Atau kurang transparankah ? Tidak jujur ? Doyan “ berkicau “ di belakang arena, tak ubahnya seperti, Risus Sardonicus ( perubahan muka seketika dan sangat mengerikan). Kalau sekedar basa basi, bukanlah suatu hal yang urgen untuk didiskusikan.
Tetapi kalau terlalu banyak basa basi juga bukanlah hal yang benar, dan wajib kita dijauhi! Kita hendaknya tidak menyuburkan dan membiasakan diri untuk memupuk budaya ‘basa basi’ karena ujung-ujungnya akan menimbulkan perpecahan. Ataukah memang budaya kita selalu mementingkan dan melegalkan basa basi dalam setiap lini ? Ataukah kita memang hobi mengurus menu ? Makanya di televisi banyak sekali lomba masak, demo masak. Dan sangat wajarlah kita di Indonesia ketika membangun rumah, WC-nya duluan yang diperhitungkan. Mulai dari jarak pembuanganya, sampai ke ukuran lubang pembuangannya. Karena Menu turunannya ke sisa atau ke pembuangan.
Tapi jangan sampai otak kita memorinya ke menu saja, nanti sisanya sampai ke kepala, laksana udang sisanya selalu disimpan di kepala. Kalau otak sudah penuh dengan sisa, kita tidak akan leluasa berpikir dengan objektif. Ujung-ujungnya “mengintai” celah-celah untuk menjatuhkan orang lain . Atau memang kita selalu mendewakan selera lidah? Dan mengikuti kebiasaan? Ada pameo di Jepang yang mengatakan, cinta berasal dari cita rasa di lidah. Ketika kita menikmati menu yang disiapkan dengan cita rasa oke, bukanlah hal yang mustahil hati kita bergerak dan terinsting untuk mencintai si tukang masak. Karena suasana hati yang damai akan menjadi dinamisator kehidupan yang penuh warna, William James (Filsuf). Hal-hal yang sepele dan sederhana kadangkala menjadi topik utama, dan selalu mendapat simpatisan.
Ya itulah lidah sangat toleran dan jangan membiarkannya berkelana mencari ‘mangsa’. Mulut mu adalah harimau mu, atau Harimau-Harimau ; katanya Muhtar Lubis (Sastrawan Angkatan ’66). Tetapi ketika hal yang berat disajikan dan diseminarkan kita malah diam seribu bahasa, seperti diamnya lukisan Monalisa. Kita sama sekali tidak mampu memberikan jawaban “koor”, tetapi pura-pura manggut sebagai alibi untuk menutupi kepandirannya. Seperti drum, sangatlah nyaring kicauannya padahal isinya kosong belaka. Personal yang ke-akuannya tinggi, selalu memandang rekan kerjanya dengan kaca mata hitam belaka. Kita pernah berinteraksi dengan manusia jenis ini? Hati-hati karena akan menusuk kita dari ‘belakang’.
Tidakkah kita tertarik dengan eksistensi tumbuh-tumbuhan yang memiliki kelebihan dan keunggulan ? tumbuh-tumbuhan saja punya kualitas super dan unggul ! mengapa manusia tidak bisa ? Semua itu patut kita renungkan bersama dalam mengisi kehidupan di alam fana ini.
Seperti Jagung Varietas Hibrida, padi varietas Hibrida, Kelapa Varietas Hibrida, ada label ungu, biru dan putih. Semakin bagus kualitasnya, nilainya pun semakin mahal. Begitu juga dengan manusia, kalau memiliki kualitas “butik” dan bermerek dalam kompetensi/performance-nya, pastilah memiliki nilai “Plus” dimata publik. Jadi jagalah image agar tidak dilecehkan dan digunjingkan di belakang “layar, tidak perlu mengoceh terhadap urusan pribadi orang lain ! Dan yang terpenting adalah bekerjalah dengan maksimal dan penuh tanggung jawab dan jangan sekali-kali mengumandangkan ‘jargon’ yang menjatuhkan, Karena akan menjadi beban mental dan bumerang dikemudian hari.
Begitu juga dengan siswa yang unggul, bisa kita golongkan, siswa ‘super’ karena lebih bagus kompetensinya. Tetapi jangan sampai siswa saja yang mempunyai kompetensi hibrida, tetapi gurunya harus memilki kompetensi seribu kali lipat dari siswanya.
Karena guru dan siswa adalah pelaku-pelaku pendidikan yang memegang kendali terhadap perkembangan dan keberhasilan pendidikan. Mudah-mudahan kita termasuk golongan insan-insan pilihan bagi keluarga , masyarakat, dan bangsa Amin !
Pemerhati Pendidikan dan Budaya
Mengajar di SMA Negeri I Bolo