-->

Notification

×

Iklan

Saksi Ahli Pidana di Sidang Kasus Mantan Walikota Bima: Langsung atau Tidak Langsung Itu Tidak Perlu Dibuktikan Dua Duanya

Saturday, April 6, 2024 | Saturday, April 06, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-04-06T05:03:07Z

 

Majelis Hakim saat memimpin sidang perkara dugaan korupsi Walikota Bima 2018-2023 H Muhammad Lutfi di Pengadilan Tipikor Mataram.




Kota Mataram, Garda Asakota.-



Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat sudah beberapa kali menjerat tersangka kasus korupsi dengan Pasal 12 huruf i UU Tipikor, konflik kepentingan dalam pengadaan. 


Pasal 12 huruf i tersebut menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara Negara baik langsung atau tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.'


Selain itu, KPK juga biasanya menggandengkan (junto) pasal 12 huruf i itu dan atau 12 B UU nomor 32 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana, yang biasanya menjerat pelaku pidana korupsi lebih dari satu orang, sebagaimana diduga diterapkan juga kepada H Muhammad Lutfi (HML) Walikota Bima 2018-2023 yang saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Mataram Provinsi NTB.  


Menurut pendapat Saksi Ahli Tindak Pidana Korupsi, Prof DR Nur Basuki Minarno, yang dihadirkan JPU KPK dalam persidangan Jumat 5 April 2024, bahwa pasal 12 huruf i UU Tipikor merupakan delik formil, artinya yang dilarang itu adalah perbuatannya bukan pada akibat yang ditimbulkan. "Jadi, itu merupakan delik formil di dalam Pasal 12 huruf i," tegasnya saat menjadi saksi di Pengadilan Tipikor Mataram.


Ketika JPU Jaksa menanyakan, jika perusahaan yang merupakan perusahaan adalah milik adiknya, apakah perbuatan itu masuk ke dalam pengertian secara langsung atau perbuatan tidak langsung, ikut serta?,


Saksi Ahli menegaskan, bahwa kalau secara langsung artinya Pengatur itu incas, masuk di dalam pekerjaan. Kemudian kalau itu terkait dengan masalah tidak langsung, pelaku itu memberikan suatu kemudahan agar pelaku memperoleh pekerjaan atau ikut melaksanakan pekerjaan yang terkait dengan pemborongan, pengadaan atau persewaan.


"Jadi kembali ke pertanyaan saudara Jaksa tadi, saya berpendapat bahwa itu masuk dalam pengertian tidak langsung karena pelaku tidak incas dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut," ungkapnya.



Ditanya kalau misalnya kepala daerah itu merasa bahwa perusahaan itu merupakan bagian dari kepala daerah, yang melaksanakan adiknya. Apakah gambaran itu tidak masuk ke dalam kategori secara langsung atau tidak langsung?


Prof menjelaskan bahwa kalau bisa dibuktikan bahwa si pelaku itu bukan mempunyai modal terhadap perusahaan yang telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemenang di dalam pengadaan, bisa dikatakan itu dalam kategori langsung. 


Tapi yang perlu diingat, kata dia, bahwa langsung atau tidak langsung itu sifatnya adalah alternatif, tidak perlu dibuktikan dua duanya. "Salah satunya sudah cukup," tegas Saksi Ahli dari UNAIR ini.


Bagaimana kalau kepala daerah intens dalam perusahaan tersebut, walaupun tidak memberikan modal?, tanya JPU KPK.


"Jadi begini ya, kalau dilihat di dalam pasal 12 i, sebetulnya rasio logisnya terkait adanya larangan larangan konflik kepentingan, jangan sampai Pejabat atau Penyelenggara Negara yang diberikan tugas melakukan suatu pengawasan, karena di situ ada konflik kepentingan, maka tugas yang menjadi tupoksinya tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya. 


Jadi perlu dipahami di situ, bahwa sebetulnya yang dilarang itu kalau terjadi konflik kepentingan," terangnya.


Kami juga ingin menanyakan terkait unsur Pasal 15 UU Tipikor, bisa dijelaskan Prof? 


Menurut Prof Nur Basuki, di dalam pasal 15 i dinyatakan setiap orang yang melakukan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 sampai dengan 14.


Jadi itu merupakan pengecualian sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam KUHP. Kalau di dalam KUHP percobaan itu hanya pada pembantuan tugas penyedia, tetapi untuk perkara korupsi itu dianggap sebagai pelaku.


"Yang menarik itu ada pemufakatan jahat, bisa dilihat di dalam pasal 88 KUHP, di sana dikatakan apabila ada dua orang atau lebih telah bersepakat akan melakukan suatu kejahatan. 


Khususnya terkait pemufakatan jahat di dalam Pasal 15 UU Tipikor yang telah di Yudicial Review ke MK tahun 2016, dinyatakan bahwa yang dimaksud pemufakatan jahat itu adalah tindak pidana dilakukan dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama, saling bersepakat melakukan tindak pidana. 


"Adapun frasa yang ditambahkan itu mempunyai kualitas yang sama, maksudnya  kualitas khusus yang diperlukan oleh undang undang," jelas Saksi Ahli.


Saksi Ahli juga menyinggung definisi Pegawai Negeri yang telah diatur dalam UU 31 Tahun 1999, sementara definisi Penyelenggara Negara tertuang dalam UU 28 tahun 1999. 


"Dari definisi itu kita bisa mengatakan bahwa kepala daerah masuk dalam kategori penyelenggara Negara, apakah Bupati, Gubernur Walikota masuk kategori penyelenggara Negara," jelasnya. 


Wujudnya adalah dengan sengaja, tentu kita ketahui bahwa sengaja itu harus ada dua syarat pendukung yaitu adanya pengetahuan dan unsur kesengajaan dari pelaku untuk mengatur siapa yang menjadi pemenang di dalam proses pengadaan itu. Ada unsur baik langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan atau pengadaan.


Ini yang menarik ada kata langsung dan tidak langsung, tentu berkaitan dengan kewenangan si pelaku tadi dalam kaitannya melakukan pengawasan terhadap proses pemborongan pekerjaan atau pengadaan.


"Kalau langsung itu intinya si pelaku itu masuk di dalam pekerjaan, atau barangkali si pelaku itu memberikan modal atas pekerjaan sehingga yang semestinya dia melakukan pengawasan, karena si pelaku itu ikut mengerjakan atau ikut memberikan modal dalam pelaksanaan pekerjaan maka fungsi pengawasan tidak bisa dilakukan dengan baik. 


Sedangkan kalau tidak langsung ini tentu saja bisa kita tafsirkan si pelaku itu memberikan kemudahan bagi pihak lain untuk memperoleh atau melaksanakan pekerjaan itu," paparnya. 


Turut serta di dalam Pasal 12 i itu, bisa diartikan sebagaimana Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP, pelaku itu mengambil sebagian atas pekerjaan atau pelaksanaan pekerjaan itu.


Jadi ini perlu dipahami bersama bahwa turut serta di dalam pasal 12 i itu, tidak mempnyai frasa sebagaimana pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP


Jaksa selanjutnya melontarkan pertanyaan, bahwa selain kepala daerah yang membuat list kegiatan kegiatan proyek dan juga dalam list itu ikut menentukan calon pemenang yang harus dimenangkan, itu juga dilakukan beserta isteri kepala daerah maupun dengan adiknya.


Jadi, seringkali PPK maupun PBJ mendapat arahan dari isteri maupun adik Walikota tersebut terkait nama nama yang harus dimenangkan oleh pihak PBJ maupun PPK, malah lebih sering yang memerintahkan atau memberikan daftar list proyek itu isteri maupun adiknya, mungkin kepala daerah hanya sekali atau dua kali.


Apakah terhadap isteri dan adik kepala daerah itu bisa dikenakan pasal 55 turut serta?



Terkait dengan pertanyaan JPU tersebut, apakah adik atau isterinya kepala daerah bisa tidak dikatakan terlibat pemufakatan jahat?, Prof menerangkan bahwa pengertian yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi tadi, bahwa pemufakatan jahat itu adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang obyek kualitas yang sama, yang saling bersepakat melakukan suatu tindak pidana.


"Jadi kalau dalam pengertian seperti itu, kurang tepat kalau kita katakan pemufakatan jahat. Yang dimaksud pemufakatan jahat itu dalam konteks sama sama penyelenggara Negara seperti pemufakatan jahat antara si pelaku itu dengan PPK atau dengan Panitia Pengadaan yang lain karena di situ kualitasnya sama, sama sama sebagai Penyelenggara Negara. 


Jadi kalau kita kembali pada rumusan pemufakatan jahat sebagaimana dirumuskan dalam putusan MK, pemufakatan jahat itu antara Kepala Daerah dengan Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang lain karena dua duanya punya kualitas yang sama," terangnya.


Kemudian Jaksa menanyakan, apakah dalam Pasal 12 huruf i bisa digandengkan dengan pasal 55 KUHP ?


Dijelaskannya bahwa, dalam pasal 12 huruf i itu sudah ada kata turut serta, maka menurutnya tidak perlu lagi menggunakan pasal 55 KUHP karena turut serta di situ menunjukkan adanya pelakunya lebih dari satu. 


Tapi memang menjadi persoalan karena di dalam pasal 12 huruf i, turut serta itu tidak menggambarkan apakah dia itu sebagai pelaku atau dia sebagai turut serta, ataukah dia menyuruh melakukan, atau membujuk melakukan atau melakukan pembantuan, jadi dalam pasal 12 huruf i turut serta menggambarkan sama sama menyatakan sebagai pelakunya.


"Turut serta dalam pasal 12 huruf i itu, menggambarkan sama sama sebagai pelakunya sehingga tidak perlu lagi dijuntokan dengan pasal 55 KUHP karena di situ sudah ada turut serta. 


Kalau turut sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf i itu sama sama sebagai pelakunya, turut serta berarti pelakunya lebih dari satu orang," pungkasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua, Putu Gde Hariadi, SH, MH. (GA. Tim*)

×
Berita Terbaru Update