Ketua Kompak NTB, Arif Kurniadin alias Gebi, saat menyampaikan orasi di depan Kantor Kejati Provinsi NTB, Selasa 04 Desember 2018.
Mataram, Garda Asakota.-
Dugaan pengaturan pemenang lelang
dalam suatu tender proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah bukan lagi
menjadi sesuatu hal yang aneh bagi publik untuk didengar. Hal itu bisa saja
terjadi, ketika norma-norma atau-atau kaidah-kaidah hukum yang menjadi dasar
ketentuan pelaksanaan lelang cenderung diabaikan oleh Panitia Pelelangan Barang
dan Jasa Pemerintah.
Dalam ketentuan peraturan tentang pengadaan
barang dan jasa pun, hal ini sudah diatur secara tegas dalam pasal yang
mengatur tentang Larangan Korupsi, dan Nepotisme (KKN), persekongkolan serta
penipuan dengan menegaskan “peserta dan pihak yang terkait dengan pengadaan
berkewajiban untuk mematuhi etika pengadaan dengan tidak melakukan tindakan
sebagai berikut seperti melakukan persekongkolan dengan peserta lain untuk
mengatur hasil pelelangan sehingga mengurangi, menghambat, memperkecil, meniadakan
persaingan yang sehat dan/atau merugikan pihak lain,”.
“Tindakan seperti itu selain bisa digugat
secara perdata, pelaporannya pun bisa dilakukan secara pidana kepada pihak yang
berwenang,” tegas Ketua Komando Pemuda Anti Korupsi (Kompak) Provinsi NTB, Arif
Kurniadin, usai menggelar orasi saat menggelar aksi demonstrasi di depan kantor
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi NTB, Selasa 04 Desember 2018.
Sejumlah Aktivis Kompak NTB saat diterima oleh Kasi Humas Penkum Kejati NTB, Dedi Irawan SH MH.
Permasalahan ini yang menurutnya
sempat terindikasi muncul dan menguat saat pelaksanaan proses pelelangan paket
pekerjaan Daerah Irigasi (DI) Pengairan ‘Raba Seme’ Kecamatan Sape TA 2018 senilai
Rp2,4 Milyar lebih yang dimenangkan oleh CV Cahaya.
Menurut pria yang akrab disapa Gebi
ini, pada proses pelelangan paket pekerjaan DI Pengairan ‘Raba Seme’ Kecamatan
Sape tersebut, diikuti oleh empat (4) Perusahaan yakni CV Nusantara Satu dengan
nilai penawaran Rp2,478 Milyar, CV Fajar Indah dengan nilai penawaran Rp2,475
Milyar, CV Cahaya dengan nilai penawaran Rp2,467 Milyar, dan satunya lagi yakni
CV Al-Qaedah dengan nilai penawaranyang sangat jomplang dari yang lainnya yakni
sebesar Rp2,249 Milyar.
“Dua perusahaan yakni CV Nusantara
Satu, CV Cahaya yang memiliki penawaran dengan selisih yang cukup signifikan
itu kami tengarai dimiliki oleh satu orang orang. Hal ini terlihat dari data
pengurus badan usaha yang ditengarai dimiliki oleh orang yang sama. Sehingga
patut diduga ada pengaturan terlebih dahulu dalam memuluskan perusahaan ini
untuk memenangkan paket lelang. Jika merujuk pada kaidah aturan yang ada,
mestinya Panitia saat itu harus melakukan verifikasi yang detail terhadap
pemilik perusahaan-perusahaan itu dan harusnya memberikan sanksi menggugurkan
atau mendiskualifikasi dan atau memblack list perusahaan-perusahaan yang
melanggar etika pelelangan, namun hal itu tidak dilakukan oleh panitia lelang,”
jelasnya.
Disamping itu, lanjut Gebi, pihak
Inspektorat Kabupaten Bima harus melakukan penghentian pelaksanaan pekerjaan
tersebut jika dijumpai dalam proses pelaksanaan tender itu ditemukan adanya
dugaan pelanggaran ketentuan peraturan Perundang-undangan, seperti dugaan
pelanggaran Pasal 22 Perpres 16/2018 tentang larangan mengumumkan Rencana Umum
Pengadaan (RUP) pelelangan sebelum adanya persetujuan atau penetapan APBD oleh
Legislatif dan Eksekutif.
“Apa yang mereka lakukan itu adalah
mengadopsi ketentuan yang dilakukan di APBN. Di APBN itu ada istilahnya
pelelangan Pra DIPA sebagaimana diatur dalam Permen. Tetapi di APBD, tidak
pernah dibuat aturan melelang terlebih dahulu paket pekerjaan sebelum APBD
ditetapkan. Sehingga pejabat pengadaan di daerah itu harus tetap mengacu secara
utuh apa yang diatur didalam Perpres. Sepanjang tidak diatur melalui Peraturan
Kepala Daerah menyangkut pelelangan mendahului DPA, maka acuan hukumnya harus
tetap mengacu kepada Perpres 16/2018,” tegas Gebi.
Menyikapi desakan sejumlah aktivis Kompak
ini, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi NTB melalui Kasi Humas Penkum
Kejati, Dedi Irawan SH MH., menyambut baik apa yang disampaikan kepada
pihaknya.
“Kami apresiasi apa yang disampaikan
oleh teman-teman Kompak. Tapi sebagai pijakan bagi kami untuk menindaklanjuti
apa yang disampaikan ini, kami minta laporan yang disertai dengan dokumen-dokumen
pendukung awalnya. Kalau laporannya sudah masuk, maka jelas akan kami
tindaklanjuti laporannya,” kata Dedi Irawan kepada sejumlah aktivis ini.
Sementara berkaitan dengan pembahasan
dan proses pelelangan paket pekerjaan yang diduga mendahului penetapan APBD,
Dedi, secara tegas menyatakan bahwa hal itu adalah merupakan suatu pelanggaran
yang terkategorikan kedalam pelanggaran administratif.
“Memang gak boleh, pelanggaran itu.
Tapi pelanggaran administratif, bukan kewenangan Aparat Penegak Hukum. Ada yang
namanya APIP yang melakukan pemeriksaan internal. Bisa saja itu dibatalkan
karena tidak sesuai dengan peraturan perundanga-undangan yang ada,” pungkasnya. (GA. 211*).