Serah terima cenderamata dari Deputi Penempatan Tenaga Kerja BNP2TKI, Teguh Hendro Cahyono, kepada Wakil Ketua DPRD NTB, H Abdul Hadi, di Kantor BNP2TKI Jakarta, Jum'at 12 Oktober 2018.
Jakarta,
Garda Asakota.-
Sebagai salah satu Provinsi yang
melakukan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia
terbesar di Indonesia, bahkan berdasarkan data yang ada, hampir 10 persen warga
NTB berada di Luar Negeri, Provinsi NTB terus melakukan upaya perbaikan sistem
prosedur dan mekanisme pelayanan, penempatan, serta perlindungan terhadap
warganya. Upaya itu tercermin dari intensnya Pemerintah Provinsi NTB yang
disokong penuh oleh Lembaga DPRD nya melakukan studi-studi perbandingan dan
konsultatif ke Provinsi-provinsi lain seperti Jawa Timur termasuk upaya
melakukan pendalaman aspek regulasinya serta penyuaraan-penyuaraan aspek
perbaikannya di BNP2TKI Jakarta.
Bersama Wakil Ketua DPRD NTB, H
Abdul Hadi, dan Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB, HMNS Kasdiono, BNP3TKI Provinsi
NTB, serta pihak Disnakertrans Provinsi NTB, dan rombongan Forum Wartawan DPRD
NTB, Jum’at 12 Oktober 2018, dua politisi udayana yang berasal dari Partai
Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat Provinsi NTB ini menggelar audience
dengan pihak BNP2TKI Jakarta dan diterima oleh Deputi Penempatan TKI BNP2TKI Jakarta,
Teguh Hendro Cahyono, serta para Direktur BNP2TKI lainnya.
Wakil Ketua DPRD NTB, H Abdul Hadi.
“Kehadiran Balai Latihan Kerja
(BLK) yang pengelolaannya dilakukan dengan baik serta professional baik oleh
Pemerintah maupun oleh pihak Swasta menjadi suatu hal yang sangat penting dan
sangat diimpikan untuk segera dilakukan oleh Pemda dalam mengurai benang kusut
meningkatnya angka pengangguran di daerah. Meski di NTB sudah ada BLK, namun
hingga kini pengelolaannya belum maksimal. Padahal kunci sukses pekerja migran
ke Luar Negeri itu ada pada aspek pelatihan dan penggemblengan yang dilakukan,”
ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi NTB, H Abdul Hadi, dihadapan Deputi Penempatan
TKI BNP2TKI Jakarta saat mengawali pertemuannya dengan jajaran BNP2TKI Jakarta.
Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB, HMNS Kasdiono.
Wakil Ketua Komisi V Bidang
Ketenaga Kerjaan DPRD NTB, HMNS Kasdiono, lebih menitikberatkan pada aspek bagaimana
mengurai benang kusut permasalahan yang kerap terjadi di daerah pada saat pra
penempatan TKI seperti masih banyaknya PMI yang diberangkatkan secara illegal,
keberadaan para calo, tekong dan para sponsor lain yang memback up keberangkatan
TKI secara illegal ini. Menurutnya selama ini kelemahan terbesar yang harus
menjadi bahan introspeksi dari semua kalangan terutama Pemerintah adalah lemahnya
perangkulan atau sosialisasi dari Pemerintah.
“Disamping itu, bursa kerja kita
yang ada di Kabupaten dan Kota tidak bisa berfungsi secara baik sehingga celah
ini cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil untung dari
para Calon TKI ini. Setelah kami turun di 10 Kabupaten/Kota di NTB, tidak ada
satu pun petugas pengantar kerja yang berfungsi secara baik. Hal ini
terjadi karena status mereka yang kebanyakan fungsional tidak berada di satu
titik yakni di Disnakertrans tapi tersebar diberbagai SKPD. Oleh karenanya kami
menghimbau kepada Gubernur dan atau Kepala Daerah agar petugas pengantar kerja
ini dikembalikan ke Disnakertrans agar fungsinya bisa optimal kembali,” tegas
HMNS Kasdiono.
Pihaknya berharap agar kedepannya,
ada satu pilot project di salah satu desa, yang menempatkan petugas pengantar
kerja keliling yang melakukan sosialisasi peluang kerja ke masyarakat dan
mendaftarkan secara resmi ke pemerintah melalui Kantor Desanya. “Terbitkan
kartu pencari kerja atau Kartu Kuningnya itu di Kantor Desa sehingga masyarakat
tidak perlu menempuh jarak yang jauh sekedar hanya untuk mengurus kartu kuning
sehingga hal ini juga sekaligus bisa dimanfaatkan sebagai data bursa kerja bagi
pemerintah ketika membutuhkan tenaga kerja. Nuansa seperti ini tergambar di UU
18/2017, tapi soal Pengantar Kerja ini belum tergambar secara baik dan jelas,”
cetus politisi Partai Demokrat ini.
Pihaknya juga mengkritisi soal
tidak diperbolehkannya Pemerintah Daerah menganggarkan alokasi anggaran dari
APBD untuk pengadaan alat imigrasi yang dibutuhkan dalam LTSP atau Layanan Terpadu
Satu Atap (LTSA) di empat Kabupaten/Kota di NTB, padahal menurutnya Pemprov NTB
sudah siap menganggarkan anggaran sebesar Rp2,5 Milyar untuk kebutuhan
pengadaan alat tersebut. “Namun muncul regulasi tidak diperbolehkan dianggarkan
melalui APBD dan atau BNP2TKI akan tetapi harus dianggarkan dari anggaran Kementerian
terkait. Mau tidak mau terpaksa kami urungkan kembali niatan tersebut,”
sesalnya.
Padahal menurutnya sejak LTSA itu
terbentuk, Komisi V DPRD NTB menemukan perbedaan yang sangat jomplang antara
jumlah penempatan dengan jumlah rekomendasi passport dari Disnakertrans
Kabupaten/Kota menunjukkan angka perbedaan yang sangat timpang sekitar angka
puluhan ribu. “Jauh lebih besar jumlah penempatannya dibandingkan jumlah
rekomendasi passport nya. Artinya apa?, banyak warga masyarakat kita atau calon
tenaga kerja kita yang dipekerjakan ke luar negeri itu secara illegal. Dan itu
jelas melanggar undang-undang. Pertanyaannya, dari mana mereka memperoleh
passportnya?. Setelah kami selidiki ternyata mereka memperoleh passport dari
imigrasi tanpa melalui LTSA. Jika hal ini tidak segera disikapi, maka kita
tidak akan bisa menuntaskan permasalahan adanya TKI illegal ini,” ujar Kasdiono
dengan kritisnya.
Deputi Penempatan Tenaga Kerja BNP2TKI Jakarta, Teguh Hendro Cahyono.
Deputi Penempatan TKI BNP2TKI
Jakarta, Teguh Hendro Cahyono, menyatakan apresiasinya terhadap kehadiran Wakil
Ketua DPRD NTB, Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB beserta rombongan wartawan DPRD
NTB. Menurutnya, apa yang disampaikan oleh dua legislator asal NTB tersebut
juga merupakan suatu input yang bagus dalam perbaikan layanan penempatan
kedepannya. Berdasarkan data penempatan BNP3TKI yang diterimanya, khusus di
NTB, ada perbedaan data yang cukup menyolok yang mengundang munculnya
pertanyaan yang sama sebagaimana diungkapkan oleh HMNS Kasdiono.
“Data pelayanan yang kami terima
dari BP3TKI pada tahun 2018 saja ada sekitar 17 ribu-an. Sementara itu, data
yang masuk di Sisco kami itu ada sekitar 22 ribu-an. Jadi ada senjang sekitar 5
ribu-an dan untungnya yang 5 ribuan itu tidak diproses di NTB tapi di embarkasi
Jakarta untuk pengisian yang ke Timur Tengah. Senjang seperti itu, masih bisa
kami proses asal melewati proses yang formal. Tapi kami juga tetap membuka
kemungkinan adanya proses penempatan yang tidak prosedural, dengan bukti adanya
pemulangan dalam tahun ini, sekitar 600 sampai 700 orang yang bermasalah, dari
jumlah itu berdasarkan pendataan ada sekitar 20 % yang melewati jalur resmi
selebihnya melewati jalur yang tidak prosedural. Dan ini menjadi sangat
mengkhawatirkan jika kasusnya meninggal dunia, maka karena keberangkatannya
tidak resmi maka tidak akan bisa menerima kompensasi atau asuransi,” kata
Teguh.
Dari Januari sampai Oktober 2018
ini, ada sekitar 46 orang TKI asal NTB yang meninggal dunia di Luar Negeri (Malaysia)
yang dipulangkan ke daerah, dan rata-rata yang dipulangkan satu bulannya itu
sekitar 6 orang. “Hanya sekitar 13 atau 14 orang saja yang mempunyai asuransi
karena melalui proses resmi,” ujarnya.
Kenapa TKI non prosedural masih
banyak?, pihaknya mengakui jika kondisi pengetahuan dan pemahaman masyarakat
secara umum masih lemah terhadap jalur dan prosedur formal penempatan TKI secara
resmi. Akan tetapi, Teguh juga mengaku berterimakasih atas apa yang disampaikan
oleh HMNS Kasdiono soal Bursa Kerja di Desa sebagai sesuatu yang akan menjadi
bahan pertimbangannya kedepan dalam mengurai benang kusut masih banyaknya Calon
TKI yang ditempatkan secara illegal.
“Mestinya memang Petugas Pengantar Kerja
ini harus aktif dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan
soal ini. Dan di zaman yang sudah canggih seperti ini mestinya harus juga kita
pikirkan lagi untuk tidak lagi membuat kartu kuning dengan model yang lama tapi
mestinya harus sudah beranjak ke E-Kartu Kuning dengan sistem online,” imbuhnya.
Teguh berharap kedepannya sebagai
suatu upaya menekan munculnya permasalahan terhadap TKI, maka peran LTSA itu harus
lebih dioptimalkan lagi. Ada beberapa LTSA menurutnya yang belum dioptimalkan
fungsinya seperti di Sumbawa dan di Lombok Barat. “Perlu ada pengkajian
bersama. Kami juga tidak berdiam diri terhadap belum optimalnya LTSA di sana.
Sementara berkaitan dengan kesulitan daerah dalam memenuhi alat pencetakan
passport di LTSA, bukan menjadi kewenangan BNP2TKI, tapi menjadi kewenangan
pihak Imigrasi. Saran kami bicara dengan Bappenas agar bisa mengumpulkan semua
LTSA guna duduk bersama membahas terkait dengan hal ini dan berdasarkan
kesepakatan pembahasan itu, hasilnya akan disampaikan kepada pihak imigrasi
untuk melakukan pengadaan alat pencetakan passport yang dibutuhkan di LTSA,”
sarannya.
Pihaknya juga menyampaikan dengan
lahirnya UU 18/2017, maka ada banyakan peraturan-peraturan turunannya yang
sudah diterbitkan mengikuti UU yang baru. Disamping itu, tahun ini, juga ada
pilot project penempatan TK atau PMI ke Saudi Arabia dengan skema Lonceng, itu
akan dilakukan dengan skema pemberi kerja yang bukan individual atau pengusaha,
Outsourcing Company, yang bertanggungjawab kepada tenaga kerja-tenaga kerja
yang bekerja berdasarkan waktu tertentu kepada pengguna-pengguna tenaga kerja.
“Jadi tidak lagi pembantu-pembantu
rumah tangga yang menginap di rumah pengguna tenaga kerja. Tetapi pekerja
Indonesia yang dikelola oleh perusahaan outsourcing diantara dan dijemput oleh
perusahaan tersebut ke pengguna TKI dan setelah selesai bekerja selama 8 jam
akan dikembalikan lagi ke Asrama Pekerja Indonesia ya g dimiliki oleh
perusahaan outsourcing tersebut. Ini yang sedang dilakukan atau sedang dirintis
oleh Pemerintah saat sekarang. Dan NTB akan menjadi salah satu sumber TKI nya,”
pungkasnya. (GA. Ese*).