Mataram, Garda Asakota.-
Siapa yang tak kenal dengan
sosok Anton Medan. Pria yang kini menjadi seorang Mubaliq dan menjadi ketua
umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Islam Tionghoa. Pada era tahun 80-an,
namanya santer terdengar didunia kejahatan dan menjadi sala satu preman kelas
Kakap di Jakarta. Ia sering keluar masuk penjara, dan setelah ia
mendapatkan pintu hidayah ia tobat dan berprovesi
sebagai Da’i yang kerap
berceramah keberbagai pelosok, sala satu yang ia kunjungi adalah lembaga
pemasyarakatan (Lapas) Mataram untuk memberikan taujiah atau ceramah kepada
para nara pidana (Napi) yang berada Lapas.
Kepada ratusan Napi, ia
berharap agar setelah mereka bebas bisa berbuat yang jauh lebih baik dan
tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum yang bisa berakibat mereka
kembali merasakan dinginnya penjara.
“Cukup kali ini saja, jangan diulangi lagi,” ujar pemilik nama asli Tan
Hok Lian ini. Berkunjung ke Lapas dan memberikan ceramah serta berbagi pengalaman
dengan para Napi adalah kebahagian tersendiri baginya. Selama mengunjungi
sejumlah Lapas, Anton menjelaskan, masalah yang kerap ditemui yakni
overkapasitas. Persoalan tersebut sering memicu situasi tidak kondusif,
misalkan perkelahian. Sehingga, Lapas harus perbanyak kegiatan.
“Apalagi sekarang tidak
adaý biaya kesehatan bagi napi. Jadi
harus banyak-banyak kegiatan, terutama keagamaan,” ujarnya. Ia menceritakan,
saat dirinya masuk penjara tahun 1986 dulu jauh berbeda dengan sekarang.
Menurut, saat itu situasi lapas terkendali dan tidak overkapasitas.
Narkoba juga jarang masuk dan
menggerogoti napi. “Setelah reformasi, banyak bandar narkoba. Mereka
memasukan narkoba ke Lapas,” sebut Anton. Pihaknya berharap kericuhan tidak
hanya disebabkan overkapasitas, namun dipengaruhi pula oleh diskriminasi.
Salah satunya terkait diskrimasi PP Nomor 99 tentang penetapan remisi. “Supaya
tidak masalah, potongan remisi. Jangan adaý
diskriminasi kalau ingin Lapas aman,” katanya. Menurutnya, orang yang
masuk Lapas bukan menyelesaikan masalah namun menambah masalah. Jika dulunya
maling sepeda, keluarnya jadi maling motor. “Saya ini 18 tahun hidup di penjara
dan di 14 Lapas. Saya bicara seperti itu karena pengalaman. Dan napi
yang bebas saya kasih usaha saat ini,” ujar dia. Ditanya apa yang
membuatnya sadar? Anton menjawab dengan
lugas. “Karena agama dan Islam,serta pandai bersukur atas karunia tuhan,”
ujarnya kepada wartawan Selasa (25/2). (GA. Joni*)