-->
×

Iklan

Tata Kelola Keuangan 2020 Menjadi Alasan Munculnya Wacana Interpelasi di DPRD NTB

Thursday, January 28, 2021 | Thursday, January 28, 2021 WIB | 0 Views Last Updated 2021-03-13T10:26:55Z

 

Wakil Ketua DPRD NTB, H Mori Hanafi, SE., M.Comm.,

Mataram, Garda Asakota.-


Wakil Ketua DPRD NTB, H Mori Hanafi, SE., M.Comm., menegaskan pengajuan hak interpelasi yang diajukan oleh anggota Fraksi Partai Demokrat serta sejumlah anggota Dewan lainnya secara substansinya adalah meminta penjelasan pihak eksekutif Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB terkait dengan soal tata cara pengelolaan keuangan daerah yang dinilai kurang begitu baik pada tahun anggaran (TA) 2020.


“Substansi Interpelasi yang diminta oleh teman-teman Fraksi Demokrat itu adalah soal tata cara pengelolaan keuangan daerah. Bukan berkaitan dengan soal industrialisasi. Makanya pimpinan tidak pernah ada berbicara soal program industrialisasi,” tegasnya kepada sejumlah wartawan di ruangan kerjanya Kantor DPRD NTB, Kamis 28 Januari 2021.


Dikatakannya, ada dua substansi tata kelola keuangan daerah, yang pertama adalah soal pendapatan dan kedua soal belanja. “Tata kelola pendapatannya seperti apa? dan tata kelola belanjanya seperti apa?. Dua substansi ini dianggap kurang baik tata kelolanya pada TA 2020,” cetusnya.


Seperti apa persoalan tata kelola keuangan pada APBD 2020 itu?, Dijelaskannya, meski APBD 2020 sudah ditetapkan, tapi dalam pelaksanannya tidak harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.


“Misalnya, kita sudah tetapkan Pendapatan sebesar Rp5,4 Trilyun. Walaupun ditetapkan sebesar itu, tapi dalam pelaksanaannya tidak harus seperti apa yang ditetapkan. Antara target dengan realisasi pasti berbeda. Begitu juga halnya dengan Belanja. Belanjakan sudah ditetapkan, tapi tidak melulu semuanya harus dibelanjakan. Besaran belanja itu sama dengan besaran pendapatan, balance, meski ada perbedaan sedikit, karena ada devisit. Sebab kita mengambil sistem anggaran devisit,” terangnya.


Nah wacana ini kemudian mengemuka, sambungnya, dalam pelaksanaannya tersebut antara rilis pendapatan pada saat akhir tahun tidak matching, atau tidak terklarifikasi dengan baik antara Bappenda dengan BPKAD.


“Rilis belanjanya juga kita gak clear pada akhir tahun itu juga karena ada beberapa belanja-belanja strategis yang kemarin belum bisa diselesaikan dengan baik pada saat diakhir tahun. Contoh kongkrit tidak matching itu adalah bahwa menurut Bappenda, walaupun belum memenuhi target seratus persen, pendapatan itu sudah cukup tinggi sehingga menurut Bappenda itu sudah cukup anggaran Pemda untuk melaksanakan proses pembayaran-pembayaran di masing-masing Dinas. Tapi setelah dikonsolidasikan ternyata ini ada miss antara pendapatan dengan belanja. Jadi target pendapatan ini ternyata belum mencukupi untuk memenuhi semua utang belanja. Itu penjelasan TAPD yang diberikan secara resmi,” terangnya lebih lanjut.


Akan tetapi menurutnya, dalam perjalanannya, masalah itu sekarang sudah clear. Penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh TAPD kepada Lembaga Dewan, menurutnya, sudah konstruktif, dan sudah dianggap cukup jelas.


“Artinya miss ini terjadi pada kedua belah pihak. Bukan hanya di Bappenda saja tapi juga di BPKAD. Jadi ini terjadi karena BPKAD nya baru, Bappeda nya baru, kemudian Sekda nya juga baru. Kejadian yang terjadi pada APBD 2020 ini merupakan bahan pembelajaran bagi kita semua. Setelah dilakukan klarifikasi, akhirnya kita sudah mendapatkan klarifikasi dari TAPD. Dan dari hasil klarifikasi dengan TAPD, ini juga membuat sebagian anggota Dewan juga memahami situasinya. Bahwa tidak cukup uang untuk membiayai seluruh belanja pemerintah di tahun 2020. Tidak cukup uang, itu substansinya,” tegasnya lagi.


Berdasarkan informasi yang beredar biaya belanja yang tidak bisa dibayarkan ditahun 2020 itu beragam ada yang menyebut sekitat Rp86 Milyar ada juga yang menyebut sekitar Rp128 Milyar. Pihaknya enggan mengomentari berapa angka pastinya. “Yang jelas ada sekitar puluhan Milyar,” ungkapnya.


Utang belanja yang tidak bisa dibayar pada tahun 2020, menurutnya, merupakan utang Pemda Provinsi. “Tentunya harus dibayar pada tahun 2021. Sebab kita di Dewan melihatnya secara komprehensif terhadap utang belanja itu. Teknisnya kita serahkan pada pihak eksekutif. Dan itu sudah menjadi kesimpulan antara pihak Dewan dengan pihak Eksekutif,” ungkapnya lagi.


Berarti apakah perlu lagi interpelasi?. Dikatakannya, Interpelasi itu sebenarnya bukan barang yang menakutkan sebab substansi interpelasi itu meminta penjelasan terhadap kurang baiknya tata kelola keuangan daerah.


“Dan terkait soal itu pihak eksekutif sudah memberikan penjelasan didalam rapat-rapat. Sehingga secara substansinya seharusnya sudah cukup. Kalau pada saat rapat-rapat itu penjelasannya tidak cukup, maka bisa akan berlanjut pada interpelasi. Tapi sekali lagi, inikan hak politik anggota Dewan. Sikap Demokrat kita hargai ketika mereka mengatakan penjelasan tersebut masih belum cukup. Dan itu boleh-boleh saja karena itu merupakan hak politik mereka,” pungkasnya. (GA. Im*) 

×
Berita Terbaru Update