-->

Notification

×

Iklan

Demo di Mabes Polri, Forkobi Nilai Penetapan Tersangka Wakil Walikota Bima Cacat Prosedural

Saturday, November 28, 2020 | Saturday, November 28, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-11-28T08:40:37Z


Orator Forkobi Jakarta saat berorasi di depan Mabes Polri pada Jum'at 27 November 2020

Jakarta, Garda Asakota.-

Penetapan tersangka Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Bima yang juga merupakan Wakil Walikota Bima, Fery Sofian (FS), oleh penyidik Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bima dengan sangkaan pasal 109 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH pada tanggal 10 November 2020 lalu menuai reaksi dan tanggapan dari berbagai elemen masyarakat.

Salah satu elemen masyarakat seperti Forum Kota Bima atau Forkobi yang bermarkas di Jakarta menilai penetapan FS sebagai tersangka tersebut diduga cacat prosedural. 

“Kami mendesak Polres Kota Bima segera hentikan kasus Wawali Kota Bima karena cacat procedural. Dan kami juga mendesak Mabes Polri untuk segera panggil dan periksa Kapolres Kota Bima beserta jajaran penyidik karena diduga telah menyalahgunakan wewenang menetapkan FS sebagai tersangka tanpa berpedoman pada norma-norma hukum yang berlaku,” tegas Ketua Forkobi, M Fiqriawansyah, melalui siaran persnya yang diterima redaksi media ini, Jum’at 27 November 2020.

Saat diwawancarai wartawan media ini, Fiqri yang turut didampingi salah satu Dewan Pendiri Forkobi, Mubaddin, mengatakan pada Jum’at 27 November 2020, puluhan aktivis Forkobi Jakarta menggelar orasi di depan Mabes Polri berkaitan dengan isu penetapan Wakil Walikota Bima yang dinilai mereka cacat prosedural.

“Senin, Insha Alloh, kami juga akan mendatangi Komisi III DPR RI dan isntitusi lainnya seperti Kompolnas, Komnas HAM dan Kejagung RI untuk mengadukan persoalan ini,” cetus Mubaddin, Sabtu 28 November 2020.

Menurut  Forkobi Jakarta, menyangkut penetapan Pak Feri Sofiyan/Wawali Kota Bima karena diduga melanggar Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH merupakan tindakan yang cacat secara hukum bila di jerat dengan UU PPLH.

Diungkapkannya, mengikuti informasi yang berkembang bahwa FS diduga belum mengantongi izin usaha atas pembangunan jetty atau apapun namanya diluar kawasan miliknya pribadi. Sehingga dianggap melanggar Pasal 109, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang menyatakan "setiap orang  yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit 1  Milyar dan paling banyak 3 Milyar.

Forkobi menyatakan bahwa Dermaga yang dibangun oleh Wawali itu bukan merupakan tempat usaha yang memerlukan adanya izin usaha. Tetapi jika betul bahwa yang dibangun itu merupakan tempat usaha, maka memang kewajiban lain yang mesti dipenuhi dan harus ada yaitu izin lingkungan yang diterbitkan boleh pejabat berwenang. Izin lingkungan sendiri adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UPL/UKL dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

Pejabat pemberi izin usaha dan atau kegiatan yang menerbitkan usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi izin lingkungan. Juga dapat kenai sanksi berdasarkan Pasal 111 ayat (1) UU PPLH dengan ancaman pidana dan denda yang sama dengan setiap orang yang tidak mengantongi izin usaha/atau kegiatan.

Jadi, pemenuhan atas izin-izin itu, menurut Forkobi, merupakan hal yang mesti ada, manakala seseorang hendak melakukan kegiatan khususnya membuka usaha berkaitan dengan lingkungan hidup. Pentingnya izin-izin itu tentu dimaksudkan dalam kerangka dapat diawasinya potensi terganggunya baku mutu gangguan dan baku mutu lingkungan, sebagai akibat dari usaha/kegiatan yang dilakukan.

Pertanyaan kami bersama adalah Apakah telah ada baku mutu gangguan dan baku mutu lingkungan sebagai akibat dari usaha yang dibangun oleh Wawali Bima?. Sejauh ini bahwa belum ada akibat yang ditimbulkan oleh adanya usaha itu, kami berpendapat bahwa FS belum dapat di tersangka-kan dengan delik materiil dari UU PPLH,” tegas Fiqri.

Lalu pengenaan Pasal 109 sebagai delik formiil yang kepada yang bersangkutan?. Forkobi pun berpandangan pengenaan Psl 109 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH kepada FS dinilainya masih terlalu prematur mengingat dokumen perizinannya yang terkait dengan usaha/kegiatannya itu masih on process dan belum ada jawaban resmi akan kepastian bahwa pengajuan izin dimaksud diterima atau ditolak, sehingga Wawali Bima dalam konteks itu tidak dapat dikatakan telah melanggar Psl 109 UU PPLH.

“Patut disayangkan kasus ini kemudian naik hingga penetapan tersangka sementara antara Kepolisian dalam hal ini Kapolres Bima dengan Fery Sofyan (Wawali Bima) sama-sama merupakan unsur pimpinan Muspida yang seyogyanya mampu berkomunikasi baik terhadap kendala administrasi terkait usaha dan/atau kegiatannya Wawali Bima yg diduga belum mengantongi izin usaha,” cetusnya.

Wawali Bima menurut Forkobi hanya dapat di kenai sanksi administratif sesuai dengan UU mengenai diperolehnya izin mendirikan bangunan gedung sesuai dengan (Pasal 115 ayat [1] PP 36/2005).

Selain sanksi administratif, pemilik bangunan juga dapat dikenakan sanksi berupa denda paling banyak 10% dari nilai bangunan yang sedang atau telah dibangun (Pasal 45 ayat [2] UUBG).

Mengingat UU omnibus law telah disahkan, dalam UU ciptaker dipermudahkan juga Masalah perijinan, dan sudah berlaku Secara otomatis menggantikan UU yang lama, maka dalam pasal 1 ayat 2 KUHP merumuskan, Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya,” pungkasnya. (red*)

×
Berita Terbaru Update