-->

Notification

×

Iklan

Mental Miskin dan Pupuk Bersubsidi

Thursday, January 16, 2020 | Thursday, January 16, 2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-01-16T08:14:42Z
Oleh: Abdul Mufakhir, S.Psi, M.Ak


Miskin dan kaya adalah dua sisi mata uang yang akan selalu ada pada setiap zaman, baik sejak jaman digunakan metode statistik pada masa Kaisar Agustinus-Romawi sampai jaman modern saat sekarang. Meskipun perubahan sosial dan ekonomi masyarakat terus berganti namun miskin dan kaya selalu  beriringan akan tetap ada, maka untuk memisahkan dua sisi tersebut perlu sebuah  standart untuk menentukan miskin dan kaya dalam struktur social masyarakat.

Badan Pusat Statisktik (BPS)  yang telah diberi mandate konstitusional sebagai penyelenggara perstatistik nasional telah menghitung angka kemiskinan di Indonesia sejak 1976 sampai saat ini melalui suatu metodologi yang sama dari jaman Soekarno sampai era Jokowi saat sekarang.

Metode perhitungan angka kemiskinan menggunakan pendekatan basic needs approach atau berdasarkan kebutuhan dasar yang mengacu pada handsbooks poverty inequality yang diterbitkan oleh Bank Dunia.
Indikator kemiskinan dapat dilihat dari pengeluaran perkapita masyarakat.

Dikategorikan miskin apabila pengeluaran konsumsi rumah tangga diibawah  2.100 kilo kalori perhari dengan merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional atau bila dirupiahkan kurang lebih 327.602 ribu/bulan dengan pembanding angka dolar AS pada Purchasing Power Parity (PPP) yang setara dengan 1 dolar di Amerika Serikat (konversi 1 US$ PPP = Rp 5.341,5).

Angka ini adalah baseline Bank Dunia tahun 2011 yang masih dipakai pemerintah saat ini. Satuan US$ PPP atau Purchasing Power Parity (paritas daya beli) merupakan standar Bank Dunia untuk mengukur batas kemiskinan. Bank Dunia menggunakan batas 1,9 US$ PPP untuk extreme poverty dan 3,2 US$ PPP sebagai batas poverty. Satuan ini berbeda dengan kurs dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot.

Bank Dunia sendiri merekomendasikan standar kemiskinan yang baru, untuk negara berkembang Bank Dunia merekomendasikan standar kemiskinan 3,20 dolar PPP. Untuk negara berpendapatan menengah 5.50 dolar PPP dan untuk negara berpendapatan tinggi 21.7 dolar PPP.

Indonesia sendiri meskipun tergabung dalam negara G-20 masih menggunakan extreme poverty  sebagai batas kemiskinan, sementara India dan Brazil menggunakan indikator kemiskinan 3,20 dolar PPP dan Afrika Selatan menggunakan Indikator 5.50 dolar PPP. Bahkan Malaysia yang bukan anggota G20 menggunakan indikator 5.50 dolar PPP, Sementara Amerika Serikat menggukan indikator 21.7 dolar PPP.

Bila merujuk data 5 tahun terakhir yang dirilis Kantor BPS Kab Bima, penduduk miskin pada tahun 2015 berjumlah 73.710 penduduk (15,78%) turun tahun 2019 menjadi 71.950 penduduk (14,76%). Angka batas garis kemiskinan tahun 2019 adalah 327.602 rupiah perbulan perkapita artinya dikatakan miskin apabila penduduk tersebut pengeluarannya dibawah angka tersebut perkapita perbulan.

Bila satu keluarga berjumlah 4 orang maka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya bertahan hidup perlu 1,3 juta penghasilan perbulannya.  Pergerakan data kemiskinanan ini merupakan cerminan kondisi ekonomi masyarakat bima dari tahun ke tahun menunjukan angka yang menggembirakan.

Perubahan ekonomi secara kasat mata dapat dilihat dari perubahan pola hidup, dulu masyarakat bima menggunakan dokar dan sepeda ontel untuk kebutuhan transportasi masyarakat, namun sekarang dijalan-jalan di bima sudah penuh dengan motor keluaran terbaru dan mobil dengan tampilan mewah.

Perubahan social masyarakat tersebut merupakan cerminan perbaikan ekonomi masyarakat bima. Demikain pula dengan petani, yang dulunya menggarap sawah dengan kerbau sekarang petani telah menggunakan tekhnologi traktor modern.

Pergerakan angka kemiskinan tersebut tidak diikuti oleh mental berpikir masyarakatnya, keserakahan dan ketakutan akan kelaparan membuat masyarakat lupa akan hakekat budaya ‘maja labo dahu’ sebagai cara pandang hidup orang Bima.

Mental miskin tetap melekat meski ekonomi keluarga telah meningkat. Pupuk bersubsidi yang diperuntukkan bagi petani yang tidak mampu secara ekonomi, menjadi rebutan para tuan tanah yang berkecukupan harta.

Padahal secara aturan pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani  memiliki lahan dibawah 2 hektar dan petani harus tergabung terlebih dahulu dengan kelompok tani serta memiliki kartu tani yang terintergrasi dalam rencana definitive kebutuhan kelompok (RDKK). 

Setiap petani telah memberikan data kuota angka kebutuhan pupuk tiap tahunnya sesuai luas lahannya yang selanjutnya direkap dan dientry dalam elektronik-RDKK dengan bantuan penyuluh pendamping masing-masing kecamatan. Sehingga kelangkaan pupuk mugkin suatu yang amat kecil kemungkinan terjadi bila penggunaannya sesuai kuota yang ada.

Dibalik harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi 90 ribu rupiah masih banyak yang bermain untuk mencari keuntungan dengan menaikkan harga diatas harga yang ditentukan. Distribusi yang tidak tepat sasaran menyebabkan pupuk bersubsidi jatuh ke tempat yang salah.

Bahkan diperjualkan belikan oleh pedagang yang tidak memiliki ijin sebagai distributor atau pengecer. Seharusnya pupuk dari distributor ke pengecer-pengecer pupuk harus masuk ke kelompok-kelopok tani dan membagikan ke anggotanya sesuai dengan jumlah kuota pupuk yang ditentukan. 

Kesemerawutan distribusi tersebut menyebabkan kekacauan di lokasi titik pembagian pupuk, tidak mengeherankan bila terjadi penjarahan di tingkat petani seperti yang terjadi di donggobolo. 

Sadar tidak sadar petani yang berekonomi mampu ikut serta dalam memperburuk peruntukan pupuk bersubsidi bagi petani ekonomi rendah. Mental miskin tetap melekat meski secara ekonomi dikategorikan mampu bila dibandingkan dengan kondisi ekonomi setempat. Ada nilai moral yang belum tuntas diajarkan sehingga rasa malu untuk mengambil jatah orang miskinpun menjadi hal biasa.

Mengajarkan kembali nilai-nilai moral sedini mungkin menjadi hal mendesak untuk melestarikan budaya maja labo dahu yang mulai memudar bagi generasi saat sekarang.
Disisi lain pemerintah daerah harus peka melihat kondisi yang berulang-ulang terjadi tanpa membuat antisipasi.

Rutinatas penjarahan pupuk dan kelangkaan pupuk yang tidak seharusnya terjadi menjadi tontonan tahunan. Pemerintah seharusnya memiliki data akurat untuk mengantisipasi puncak kebutuhan pupuk dengan berbagai sumber data dari pertanian. Umumnya kelangkaan pupuk adalah pada saat musim tanam jagung dimulai.

Pemerintah harus tegas untuk melarang para perambah hutan yang mamanfaatkan hutan sebagai lahan pertanian jagung yang menyerap kebutuhan pupuk bersubsidi yang banyak. Bila pemerintah tegas menghentikan suplai pupuk subsidi bisa jadi keinginan petani untuk membuka lahan akan berkurang. 

Ada 2/3 anggaran Negara yang digelontorkan dari total harga pupuk bersubsdi sehingga harganya bisa murah dan terjanggkau oleh petani tidak mampu. Penggunaan pupuk subsidi dan nonsubsidi ibarat mengkonsumsi beras raskin dan beras premium, tentu ada untung ruginya.

Jangan sampai niat baik pemerintah ternoda oleh eksekusi penyaluran dilapangan yang tidak sesuai peruntukkan akibat mental-mental miskin yang mengganggp diri miskin tapi memiliki ekonomi mampu secara struktur social dimasyarakat.*
×
Berita Terbaru Update