-->

Notification

×

Iklan

Bawaslu NTB Petakan Potensi Kerawanan Pemilukada 2020

Sunday, December 8, 2019 | Sunday, December 08, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2019-12-08T06:46:29Z
Kordinator Divisi (kordiv) Hukum Data dan Informasi Bawaslu Provinsi NTB, Suhardi, SH., saat menyampaikan materi Potensi Kerawanan Pemilukada 2020 di Hotel Lombok Plaza, Jum'at 06 Desember 2019.

Mataram, Garda Asakota.-

Sejak dimulainya tahapan Pemilukada serentak 23 September 2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi NTB sudah mulai melakukan pemetaan terhadap apa saja tahapan-tahapan yang akan berpotensi menimbulkan kerawanan dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Kenapa hal itu penting untuk dilakukan?, sebab hampir semua tahapan dalam pemilu, dinilai memiliki potensi kerawanan terjadi pelanggaran.

"Karena itu, pengawasan terhadap pelaksanaan setiap tahapan yang berlangsung perlu mendapat pengawasan untuk memastikan bahwa proses penyelenggaraan pemilu berlangsung dengan jujur adil dan demokratis," ujar Kordinator Divisi (kordiv) Hukum Data dan Informasi Bawaslu Provinsi NTB, Suhardi, SH., saat menyampaikan materi Potensi Kerawanan Pemilukada 2020 di Hotel Lombok Plaza, Jum'at 06 Desember 2019.

Tahapan Pilkada serentak 2020 saat ini sudah memasuki tahapan persiapan, perencanaan dan penganggaran. Disebutkan potensi kerawanan pada tahapan ini adalah tidak semua pemerintah daerah yang akan melaksanakan Pilkada memberikan alokasi anggaran pilkada kepada KPU dan Bawaslu sebagai institusi penyelenggara. 

"Hampir seluruh tahapan Pilkada itu rawan. Contohnya dalam tahapan penganggaran, tidak semua Pemda mangamini Permendagri nomor 54 tahun 2019 yang mengatur kewajiban Pemda untuk memberikan hibah Pilkada. Karena banyak kepala daerah yang sudah dua periode, merasa tidak punya kepentingan, mereka sengaja menghambat penganggaran. Tapi di NTB semua sudah klir," ungkapnya.  

Potensi kerawanan juga terjadi pada tahapan berikutnya yakni tahapan proses seleksi pendaftaran penyelenggara badah adhoc, seperti PPK, Panwascam dan KPPS dan Pengawas TPS. Dalam proses itu menurut Suhardi, sering kali terjadi tekanan dari bakal calon dan tim terntentu untuk memasukkan orang-orangnya dalam struktur penyelenggara Adhoc.

"Itu sering kali terjadi, calon yang mau maju mau menitip orangnya, sehingga ketika mau melakukan pelanggaran tidak ditindak. Didekati Bawaslu kabupaten/kota," ujarnya. 

Begitu juga dalam tahap penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sering kali ditemukan DPT yang tidak singkron dengan data lapangan. Disebutkan salah satunya yang kerap kali muncul yakni persoalan adalah tidak singkron antara data kependudukan dari pemerintah atau DP4 dengan DPT. 

"Tahapan penyelenggaraan terkait dengan pencalonan, calon perseorangan, rawannya adalah manipulasi dukungan KTP, sehingga banyak sekali masalah yang muncul. Kemudian partisipasi pemilih yang minim, karena masyarakat merasa tidak ada hubungan dan kepentingannya dengan pemilu ini, realistisnya akhirnya pemilu menjadi transaksional," papar Suhardi. 

Dengan memotret potensi kerawanan dalam setiap tahapan itu, maka Bawaslu mengajak semua komponen masyarakat untuk turut serta melakukan pengawasan. Pasal Bawaslu sendiri selaku institusi yang melakukan fungsi pengawasan memiliki keterbatasan. Sehingga partisipasi aktif masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya tahapan pemilu sangat penting. 

Memasuki tahapan masa kampanye, potensi kerawanan pelanggaran makin tinggi. Kerawan pelanggaran pada masa kampanye ini terjadi seperti pelibatan ASN, kemudian potensi terjadinya konflik sosial antar pendukung dan sejumlah pelanggaran ketentuan aturan main kampanye lainnya. 

"Kejadi pelanggaran yang sering terjadi seperti pengerusakan alat praga dan bahan kampanye, serta kampanye hitam. Selain itu, pengeluaran dana kampanye tidak dilaporkan oleh pelaksana kampanye. Masa tenang pun tidak luput dari pelanggaran, terutama politik uang. Intimidasi terhadap pemilih juga berkemungkinan untuk terjadi pada tahapan ini," katanya. 

Puncak tahapan pemilu yakni pemungutan suara juga menjadi salah satu atensi pengawasan Bawaslu. Karena potensi pelanggaran dalam tahapan ini paling rawan, salah satunya yakni terkait dengan manipulasi hasil perhitungannya perolehan suara pasangan calon. 

"Kerawan masih terjadi sampai pada penetapan calon terpilih dan penyelesaian sengketa hasil pemilihan. Disan masih rawan terjadi konflik. Pada momen ini, pihak yang kalah sering kali mencari celah untuk menggugat. Bahkan penyelenggara bisa menjadi sasaran," pungkasnya. (GA. Im*)
×
Berita Terbaru Update