-->

Notification

×

Iklan

Kanker Payudara Stadium 3, Ibu Mulyati Tak Lagi Mampu Berobat

Saturday, January 19, 2019 | Saturday, January 19, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2019-01-19T12:51:07Z

Kota Bima, Garda Asakota.-

Seorang ibu rumah tangga, Mulyati (55), warga Rt 12 RWlw 04 Kelurahan Tanjung Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima saat ini sedang terbaring lemah di tempat tidurnya.  Pasalnya, ibu tiga orang anak ini tak henti-hentinya mengerang kesakitan saat sejumlah awak media berkunjung, di kediamannya Jumat (18/1) pagi. Mulyati di diagnosa dokter menderita penyakit kanker Payudara sejak tahun 2017 silam. Lantaran tak mendapatkan pengobatan yang maksimal, penyakit yang di deritanya kini semakin menjalar menggerogoti bagian tubuh lainnya.

Bahkan, hasil analisa medis saat terakhir berobat di RSU Provinsi NTB beberapa bulan lalu, kanker Ibu Mulyati sudah memasuki stadium 3B. Artinya semakin parah dan butuh ditangani medis secara serius. Dengan kondisi ekonomi kurang mampu, apalah daya seorang Mulyati penjual jamu keliling ini bukanlah keluarga berada sehingga tak mampu lagi berobat. Sementara suaminya Saminu (60) sehari-hari hanya penjual bakso. Bahkan saat ini, Saminu juga sudah tidak punya pemasukan lagi karena berhenti berjualan akibat sakit yang dialami sejak 2 tahun lalu.

Menurut pengakuan Abdul Rahman (31), yang merupakan putra pertama Mulyati, sejak ibunya menderita penyakit Kanker hampir dua tahun lamanya, sama sekali belum ada perhatian Pemerintah Kota Bima. Bahkan pihak RT, RW dan Kelurahan setempat terkesan tutup mata. "Puskesmas hanya sekali pernah turun meninjau. Begitu pula Dinas Kesehatan belum ada penanganan apa-apa," akunya.

Selama berobat, ibu Mulyati menggunakan Kartu BPJS Kesehatan. Hanya saja, kata dia, kartu layanan kelas 3 untuk warga tidak mampu, tentu dengan kondisi penyakit yang di deritanya  tidaklah cukup sakti karena banyak kebutuhan obat dan biaya lainnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Abdul Rahman juga mengaku selama proses pengobatan Ibunya telah menghabiskan biaya sekitar Rp20 juta. Diantaranya, untuk kemoterapi, kebutuhan darah dan biaya hidup selama pendampingan ibunya saat dirujuk di Mataram. “Dengan kondisi keuangan kian menipis, saya dan ibu terpaksa pulang dari Mataram dan tidak melanjutkan berobat karena tidak punya biaya lagi. Sehari-hari ibu hanya di rumah, berobat seadanya,” ujar Abdul Rahman.

Abdul Rahman juga bercerita, awal ibundanya menderita Kanker pada tahun 2017 usai musibah banjir bandang yang melanda Kota Bima. Mulanya hanya benjolan di bagian dada. Saat itu dikira sakit biasa, sang ibupun hanya minum obat tradisional saja. Ceritanya, benjolan itu sempat mengecil, tetapi berselang beberapa minggu kemudian benjolan itu kembali membesar disertai rasa nyeri tak tertahan. Ibu Mulyati sempat diperiksa ke dokter dan dirawat di rumah sakit. Setelah melalui tindakan medis biopsi dan benjolan diambil sampel untuk tes, baru diketahui Ibu Mulyati menderita kanker payudara. “Saat itulah ibu direkomendasi untuk dirujuk ke Mataram. Selain diharuskan kemoterapi rutin, dibagian luka ibu harus ganti perban rutin dan selalu membutuhkan 3 kantong darah untuk transfusi,” jelasnya.

Pengobatan lanjutan Ibu Mulyati kini terkendala besarnya biaya. Dul dan keluarga hanya bisa pasrah dan tak tahu harus berbuat apalagi untuk kesembuhan ibunda tercinta. “Sebenarnya kami ingin ibu dilakukan operasi pengangkatan kanker, tapi biayanya mungkin mahal dan kami tak sanggup membiayai,” ujarnya. (GA. 355*)
×
Berita Terbaru Update