Pimpinan DPRD NTB yang diwakili Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB, HMNS Kasdiono, saat menerima cinderamata dari Kabiro Umum
dan Protokol Setda DIY, Haryanta SH., didampingi Kabag Humas Biro Humas Setda Provinsi NTB, L Ismunandar dan Ketua Forum Wartawan DPRD NTB, Fahrul Mustofa, saat menggelar studi banding penanganan pemulihan pasca gempa di Pemprov DIY, di
Gedhong Pracimosono, Kepatihan, Selasa 27 November 2018.
Jogjakarta, Garda Asakota.-
Kebijakan Pemerintah Daerah yang
dilandasi oleh nilai kearifan lokal harus menjadi landasan utama dalam proses
pelaksanaan program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Kebijakan
inilah yang kemudian mengikat atau mengatur pelaksanaan tahapan rehabilitasi
dan rekonstruksi pasca bencana yang pernah diterapkan oleh Pemerintah Provinsi
Daerah Istimewa Jogjakarta (DIY) saat dilanda musibah bencana pada tahun 2006
silam.
Menurut Plt Kepala Dinas Pekerjaan
Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY, Muhammad
Mansyur, pembangunan infrastruktur strategis seperti hunian sementara (Huntara)
harus dilakukan berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah.
“Bantuan pembangunan Huntara dari
Lembaga Donor pun harus mengikuti apa yang menjadi Kebijakan Pemerintah Daerah,
tanpa terkecuali. Kebijakan Pemerintah Daerah itu harus berlandaskan pada Kearifan
Lokal sebagai modal utama bagi Pemerintah DIY. Kearifan Lokal itu sebenarnya
lebih pada sistem kegotongroyongan kita. Meski pun dari Pemerintah Pusat
mengharuskan Pemerintah DIY untuk menerapkan aturan yang berasal dari Pusat.
Namun Pemerintah DIY, tetap melaksanakan Kebijakan Pemerintah Daerah yang
dilandasi oleh nilai kearifan lokal tadi,” jelas Muhammad Mansyur kepada Pimpinan DPRD NTB yang diwakili Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB, HMNS Kasdiono, Humas dan Protokol Provinsi NTB, serta Forum
Wartawan DPRD NTB, di Gedhong Pracimosono, Kepatihan DIY, Selasa 27 November
2018, yang menggelar studi banding penanganan pemulihan pasca gempa.
Intensitas Pemerintah dalam membangun
komunikasi dengan warga masyarakat terdampak gempa juga menjadi sangat penting
pada saat Pemerintah mendapatkan bantuan dana dari Lembaga Donor maupun dari
Pemerintah Pusat, atau ketika Pemerintah ingin mengetahui model rumah seperti
apa yang diinginkan oleh masyarakat.
“Sehingga pembangunan kembali rumah
warga masyarakat yang roboh akibat bencana gempa itu tidak dilakukan dengan
model yang seragam. Tapi justeru berbeda-beda seperti sedia kala. Hanya saja rumahnya
diperkuat dengan menggunakan material tahan gempa. Jadi tidak ada peruntukan
rumah-rumah khusus yang memiliki model yang sama. Hanya saja memang ada salah
satu lembaga donor yang membangun rumah khusus tersendiri seperti model rumah ‘Doom’,
tapi jumlahnya tidak terlalu banyak hanya sekitar 50 unit rumah saja yang ada
di Prambanan,” ujarnya.
Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang
terdiri dari 15 KK per satu Pokmas harus melandaskan dirinya dengan nilai
kearifan lokal. Kearifan lokal itu menurutnya seperti mengedepankan terlebih
dahulu membangun rumah warga miskin dari warga masyarakat yang tergolong kaya.
“Pada saat itu kebijakan Pemerintah
Pusat untuk rumah warga yang roboh mendapatkan bantuan sebesar Rp15 juta.
Sementara berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah, untuk rumah dengan kerusakan
sedang diberikan bantuan sebesar Rp5 juta dan kerusakan ringan sebesar Rp1
juta,” ungkapnya.
Di tingkat Kabupaten dan Kota, ada
masing-masing konsultan yang melakukan inventarisir dan validasi setiap saat
kondisi kerusakan di tingkat masyarakat.
Puing-puing bangunan juga diolah
kembali menjadi material yang bisa digunakan untuk melakukan rekonstruksi rumah
yang rusak. “Yang terpenting dalam pembangunan rumah saat itu adalah struktur
rumah itu harus menggunakan material yang baru. Sementara untuk bagian-bagian
rumah yang lain seperti atap, genteng, dan atau dinding, tidak mesti harus
pakai material yang baru. Tapi dengan satu prinsip utama adalah mengadopsi apa
yang menjadi kemauan masyarakat,” timpalnya.
Walaupun dalam kondisi darurat,
menurutnya pemenuhan terhadap aspek regulasi seperti dalam aspek tata ruang,
IMB, dan rencana tata bangunan dan lain
sebagainya tetap dipatuhi meski prosedur pelaksanaan regulasinya dimudahkan
atau dispensasi.
Dari 400 ribu lebih rumah warga
korban gempa yang terdampak gempa, menurutnya, 175 ribunya dengan tingkat
kerusakan parah, 80 % nya sudah aman atau tahan terhadap gempa, sementara 20 %
nya belum memenuhi syarat berdasarkan hasil survey dari Universitas Gajah Mada
(UGM).
“Sementara kecepatan dalam membangun
rumah itu berdasarkan perhitungan yang kami lakukan itu, sehari sekitar 250
ribu unit rumah yang berhasil dibangun sendiri oleh masyarakat. Pemerintah
dalam hal ini hanya memfasilitasi, mendampingi baik dari aspek teknis,
ekonomis, sosialnya. Sehingga dalam jangka waktu 2 tahun, pelaksanaan rehabilitasi
dan rekonstruksi dapat selesai dilakukan di DIY,” pungkasnya. (GA. Ese*).
Baca Juga Berita Terkait :