Sumber Foto: Google.com
Mataram, Garda Asakota.-
Pembubaran
PT Daerah Maju Bersaing (DMB) saat sekarang berujung polemik. Perusahaan yang dahulu
memiliki saham di PT NNT, salah satu perusahaan tambang emas di Sumbawa ini,
yakni 40 % saham milik Pemprov NTB, 20 % milik Pemkab Sumbawa, dan 40 % milik
Pemkab KSB, kabarnya telah dibubarkan melalui momentum Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa (RUPS LB) pada tanggal 21 Agustus 2018 lalu. Formalitas
pembubaran ini pun dipertanyakan oleh sejumlah kalangan anggota DPRD NTB,
karena kabarnya pasca permintaan surat pembubaran oleh Pemprov NTB melalui
Sekda ke Kemenkumham RI, pihak Kemenkumham RI menolak membubarkan karena atas
rekomendasi Kemenkumham RI, pembubaran PT DMB ini harus disertai dengan
rekomendasi persetujuan DPRD NTB sesuai dengan Perda Nomor 04 Tahun 2010
tentang PT DMB, khususnya klausul pasal 34 ayat 1 yang menegaskan “Penggabungan,
pemisahan, pengambilalihan, dan pembubaran ditetapkan oleh RUPS/RUPS LB setelah
mendapatkan persetujuan dari DPRD NTB dan ditetapkan dengan Perda.
“Tapi
ini terbalik, mereka melakukan RUPS Pembubaran terlebih dahulu baru menyurati
lembaga Dewan untuk meminta persetujuan. Semestinya ajukan dulu surat persetujuan
permintaan pembubaran terlebih dahulu ke lembaga dewan baru setelah dewan
setujui, maka bisa dilaksanakan RUPS,” kritik anggota DPRD NTB dari Fraksi PPP,
H Nurdin Ranggabarani, kepada sejumlah wartawan beberapa waktu lalu.
Hal
aneh lainnya yang dilihat oleh Nurdin, Pemprov sepertinya ingin mengibuli
lembaga Dewan dengan mencantumkan surat permintaan persetujuan pembubaran ke
lembaga Dewan tertanggal 23 Juli 2018, sehingga seolah-olah lembaga Dewan berkewajiban
membalas surat itu tertanggal 25 Juli 2018, sehingga RUPS LB bisa berlangsung
27 Juli 2018. Padahal, surat permintaan persetujuan lembaga dewan dari Pemprov
tersebut, terregistrasi tanggal 03 Oktober 2018. Dan anehnya lagi, status PT
DMB saat sekarang ini sudah dibubarkan oleh ketiga pemegang saham tersebut,
bahkan mereka juga ditengarai telah melakukan pembagian bagian dari hasil usaha
PT DMB.
Hal
itu diketahui Nurdin pada saat meneliti laporannya pada saat pembahasan APBD
Perubahan beberapa waktu lalu, tercatat ada pendapatan atau pemasukan daerah
dari bagi hasil usaha pembagian penjualan saham PT DMB berjumlah
Rp168.840.000.000, dari total penjualan saham sebanyak Rp469 Milyar.
“Kalau
memang surat itu masuk sejak Juli, tidak mungkin ibu Ketua DPRD NTB, menyimpan
surat tersebut sampai sekarang,” cetusnya.
Sampai
sekarang, kata Nurdin, pembubaran PT DMB tersebut dilakukan diluar ketentuan
Perda Nomor 4 tahun 2010 karena tidak melewati persetujuan lembaga Dewan. “RUPS
LB juga dilakukan diluar ketentuan Perda, sehingga pelaksanaan RUPS LB juga
tidak sah. Harusnya DPRD melaksanakan paripurna persetujuan terlebih dahulu,
baru kemudian bisa dilaksanakan RUPS LB,” tegasnya.
Sementara
itu, Pemprov NTB melalui Sekretaris Daerah, H Rosiyadi Sayuti, yang
dikonfirmasi wartawan mengatakan berdasarkan UU, persetujuan lembaga Dewan itu
akan dilakukan setelah adanya persetujuan pembubaran dari Kemenkumham RI. “Baru
dilakukan permintaan persetujuan dan permintaan pencabutan Perda ke DPRD,” kata
Rosiyadi kepada sejumlah wartawan, Rabu 17 Oktober 2018.
Pihaknya
mengatakan, kedepan akan dilakukan RUPS LB kembali yang akan menugaskan
Likuidator termasuk bertugas membangun komunikasi dengan lembaga Dewan, pihak-pihak
terkait, penghitungan asset termasuk penghitungan hutang piutang, serta mengurus
pencabutan badan hukum PT DMB ke Menkumham. “Nanti terakhirnya akan dilakukan
pencabutan Perda melalui lembaga DPRD,” timpalnya.
Dalam
Perda Nomor 4 tahun 2010 tentang PT DMB pada pasal 34 ayat 1 nya mengatur “Penggabungan,
pemisahan, pengambilalihan, dan pembubaran ditetapkan oleh RUPS/RUPS LB setelah
mendapatkan persetujuan dari DPRD NTB dan ditetapkan dengan Perda. Sementara
pada ayat 2 nya diatur “Perseoran dapat dibubarkan, berdasarkan Keputusan
RUPS/RUPS LB dan atau Penetapan Pengadilan,”.
Menyikapi
hal ini, Pengamat Hukum dari Universitas Mataram Provinsi NTB, Dr HM Natsir, M
Hum., yang dihubungi wartawan, Rabu 17 Oktober 2018, mengatakan persetujuan
lembaga Dewan itu dalam Perda Nomor 4 tahun 2010 itu sifatnya menjadi mutlak
untuk dilaksanakan mengingat Perda itu merupakan hasil penyusunan kesepakatan
antara Pemerintah dengan Lembaga Dewan. Pelaksanaan dua klausul ayat tersebut
harusnya dilaksanakan melalui prosedur sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Anggaran
Dasarnya.
“Mana
yang benar antara kedua klausul itu maka pengujiannya harus diuji lewat
Pengadilan, apakah bertentangan atau tidak. Kalau lewat penafsiran, maka akan
banyak pendapat terkait hal itu karena dua klausul ini sifatnya multi tafsir
akibat penyusunannya tidak mengikuti kaidah penyusunan yang baik. Sebab dua klausul
ayat tersebut jika digunakan kedua-duanya baik ayat 1 maupun ayat 2 nya bisa
sama-sama benar. Namun, harus diperjelas apakah klausul dari ayat 1 dan 2 Perda
tersebut sifatnya adalah pilihan ataukah sifatnya terpisah. Nah kalau antara
ayat 1 dan 2 ini sifatnya bertentangan baru hal ini masuk kategori konflik
norma,” pungkasnya. (GA. Imam*).