-->

Notification

×

Iklan

Pimpinan Komisi V DPRD NTB Belajar Kiat Sukses Pemda Jatim Menangani TKI

Thursday, October 11, 2018 | Thursday, October 11, 2018 WIB | 0 Views Last Updated 2018-10-11T02:25:40Z


Surabaya, Garda Asakota.-

Sebagai salah satu daerah yang paling banyak mengirimkan tenaga kerja ke Luar Negeri, Pemerintah Provinsi NTB terus melakukan upaya pembenahan dan perbaikan terhadap sistem dan prosedur penempatan tenaga kerja ke Luar Negeri. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mempelajari dan mendalami sistem serta prosedur pelayanan yang dilakukan didaerah maju seperti Jawa Timur sebagai Provinsi terbesar yang dianggap sukses dalam menempatkan dan memberikan proteksi terhadap warganya yang bekerja di Luar Negeri.

“Jawa Timur disamping sebagai provinsi terbesar dalam menempatkan TKI ke Luar Negeri, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Pemrov Jatim yang patut mendapatkan apresiasi dan dijadikan contoh dalam mengembangkan sistem dan prosedur penempatan serta pemberian proteksi terhadap warganya yang bekerja di Luar Negeri,” ujar Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB, HMNS Kasdiono, saat melakukan studi banding bersama rombongan forum wartawan DPRD NTB, Kepala BP3TKI Provinsi NTB, Joko Purwanto, Disnakertrans NTB, tentang sistem dan prosedur penempatan TKI di Disnakertrans Provinsi Jatim pada Rabu 10 Oktober 2018.

Salah satu contoh yang patut mendapatkan apresiasi tersebut, menurut Kasdiono, adalah ketika munculnya polemik terhadap munculnya PP Nomor 92 Tahun 2000 tentang Pendapatan Negara Non Pajak dan satu-satunya Provinsi yang menolak terhadap lahirnya regulasi tersebut adalah Jatim. Dan salah satu regulasi yang tertuang didalam Perda Penempatan TKI yang diterbitkan di Jatim ini adalah yang menyangkut kewajiban Perusahaan Jasa TKI ketika membuka kantor perwakilannya adalah wajib menyetor dana sebesar Rp100 juta atas nama Gubernur. Kewajiban ini menurutnya dalam rangka pemberian proteksi ketika terjadi masalah dengan TKI di Luar Negeri dan suatu waktu PJTKI nya tesebut menolak bertanggungjawab atas nasib TKI nya.

“Dan kewajiban itu juga kita adopsi untuk dilaksanakan di Provinsi NTB,” ujar pria yang dikenal sebagai salah satu pencetus Perda Penempatan TKI di NTB ini.

Aspek lainnya yang patut diapresiasi adalah keberanian Provinsi Jatim dalam menolak pembentukan BP3TKI di Jatim dan membentuk badan lain yang memiliki fungsi yang sama.

Dari beberapa aspek yang diungkapkannya tersebut, satu hal yang menarik menurut Kasdiono, adalah ide membentuk Perusahaan Daerah (Perusda) dalam kerangka pemberian proteksi dalam penempatan TKI ke Luar Negeri yang bernama Jatim Krida Utama. 

“Terobosan-terobosan seperti ini yang ingin kami pelajari dalam rangka pengembangan sistem serta prosedur dalam penempatan serta pemberian proteksi terhadap TKI yang akan bekerja ke Luar Negeri di Provinsi NTB. Dan satu hal yang paling penting adalah bagaimana menghidupkan sistem pelatihan tenaga kerja melalui Balai Latihan Kerja (BLK)," katanya.

Dan Alhamdulillah, lanjutnya,  BLK di Provinsi NTB saat sekarang ini sudah menjadi salah satu BLK yang dijadikan sebagai tempat uji kompetensi menyambut hadirnya KEK Mandalika. Akan tetapi hingga saat sekarang ini Provinsi NTB belum memiliki LSP, yang mana sifatnya masih terkoneksi dengan jejaring Jatim. 

"Sehingga kedepannya, ada keinginan dari kami agar bagaimana kedepannya ada suatu rumusan sistem kerjasama antara Provinsi NTB dengan Provinsi Jatim dalam hal pengembangan sistem serta prosedur penempatan serta pemberian proteksi terhadap TKI kita baik penempatan dalam Negeri maupun penempatan di Luar Negeri, khususnya ketika terjadinya kasus TKI. Apalagi banyak perusahaan tenaga kerja yang berkantor Pusat di Jatim dan membuka rekruitmennya di Provinsi NTB,” cetus Kasdiono.



Sementara itu, pihak Disnakertrans Provinsi Jatim yang diwakili oleh Sekretaris Disnakertrans Provinsi Jatim, Umar Hasan SH., dan Kabid Penempatan Tenaga Kerja Disnakertrans Provinsi Jatim, Sunarya, menyambut baik dan memberikan apresiasinya terhadap kunjungan Pimpinan Komisi V DPRD NTB bersama rombongan Forum Wartawan DPRD NTB.

Sunarya mengatakan setiap minggu sejak tahun 2014 hingga tahun 2017, selalu ada tenaga kerja asal Jatim yang di Deportasi dari Negara Malaysia. “Tahun 2017, ada sekitar 4.200 orang, tahun 2016 ada sekitar 5.117 orang dan tahun 2015 jumlahnya sekitar 6.121 orang. Tapi Alhamdulillah di tahun 2018 ini, jumlah tenaga kerja yang dideportasi dari Malaysia itu menurun drastis sampai dengan awal Oktober 2018 ini jumlahnya hanya sekitar 568 orang,” ungkap Sunarya.

Sunarya mengatakan penurunan secara drastis angka tenaga kerja yang dideportasi dari Negara Malaysia itu didasari oleh kuatnya koordinasi Pemda Jatim dengan RPTC Tanjung Pinang sebagai pintu masuk utama tenaga kerja yang berasal dari Indonesia Timur yang ingin bekerja ke Malaysia baik yang berasal dari Jatim, NTB, NTT dan Indonesia Timur lainnya. Tenaga kerja yang tidak prosedural itu, menurutnya, berdasarkan regulasi terbaru tidak lagi dideportasi oleh Pemerintah, akan tetapi disuruh pulang sendiri jika memiliki uang.  

“Makanya dengan adanya kebijakan itu, angkanya menurun drastis tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya,” kata Sunarya.

Dikatakannya, berdasarkan data sampai dengan Februari 2018, tingkat pengangguran terbuka di Jatim adalah sekitar 3,85 % atau sekitar 810.000 orang, turun dibandingkan bulan Agustus 2017 yang berada pada kisaran 4 % atau sekitar 840.000 orang. Sementara untuk penempatan TKI asal Jatim berdasarkan data yang ada tahun 2017 adalah sekitar 63.496 orang dengan dominasi paling banyak di sektor informal perseorangan atau rumah tangga. “Dan kedepan kita akan genjot untuk meningkatkan pengiriman TKI pada sektor formal,” tegasnya.

Menurutnya, maraknya tenaga kerja non prosedural ini, meski telah dilakukan sosialisasi secara maksimal oleh pihak-pihak terkait terhadap resiko dan bahaya bekerja secara non prosedural, namun hal itu tetap tidak menyurutkan jumlah angka pekerja non prosedural, hal ini juga penyebabnya bisa jadi karena adanya persepsi regulasi UU khususnya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak memilih pekerjaan baik di dalam Negeri maupun di Luar Negeri.

“Dengan adanya kebebasan memilih pekerjaan berdasarkan UU tersebut, kita juga tidak bisa mencegah terjadinya hal itu terjadi. Akan tetapi upaya untuk membuat masyarakat agar lebih memilih jalur prosedural dan tidak tergiur dengan bujuk rayu calo tenaga kerja itu tetap maksimal dilakukan. Apalagi dalam UU Nomor 18/2017, ancaman hukuman bagi calo tenaga kerja ini cukup berat yakni akan dikenakan denda sebesar Rp10 Milyar jika ada PJTKI yang menempatkan TKI tidak sesuai dengan dasar penempatannya,” ujarnya.

Dalam aspek regulasi Peraturan Daerah, kata Sunarya, sebelum UU Nomor 18/2017, Pemda Jatim telah berhasil membentuk suatu Perda Nomor 04 tahun 2016, dan akan disesuaikan lagi dengan telah lahirnya UU Nomor 18/2017. Dalam regulasi Perda itu, menurutnya, ada suatu regulasi yang dikhususkan bagi PJTKI yang ingin membentuk Kantor Cabang di Jatim, hanya boleh membentuk satu Kantor Cabang saja, tetapi wilayah kerjanya bisa melingkupi seluruh Jatim. 

“Tetapi PJTKI yang berkantor pusat di Jatim, tidak boleh membuka kantor cabangnya karena domisi kantor pusatnya sudah di Jatim. Fungsi kantor cabang adalah membantu kantor pusat. Dan sebelum PJTKI membuka kantor caband di Jatim, untuk Kepala Kantor Cabangnya, akan kita minta untuk mempresentasikan terlebih dahulu visi, misi, serta tujuanya di hadapan Tim yang dibentuk Dinaskertrans yang terdiri dari UPTD TKI Bidang Pengawasan. Kalau dia nantinya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi Kepala Kantor Cabang, maka kita akan meminta untuk menundanya terlebih dahulu. Dan kalau berkompeten serta dianggap memenuhi syarat maka bisa dilanjutkan dengan syarat PJTKI itu harus menyetor deposito sebesar Rp100 juta atas nama Gubernur sebagai suatu jaminan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh kantor cabang PJTKI tersebut sehingga jelas pertanggungjawabannya,” jelasnya.

Menurutnya, salah satu temuan modus pengiriman TKI ke Timur Tengah yang telah dinyatakan dengan Moratorium melalui Kepmen, adalah dengan modus pelaksanaan ibadah umrah. “Dalam catatan awalnya, jumlah jamaah umrah itu sekitar 50 orang, kemudian balik kedaerah jumlahnya berkurang menjadi 40 orang. Ini salah satu modus yang kita cium sebagai salah satu modus pengiriman TKI non prosedural,” ungkapnya.

Pembentukan LTSA di Jatim juga menurutnya bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena harus menyatukan berbagai instansi yang ada khususnya menyatukan Imigrasi karena butuh ketersediaan Sarana dan Prasarana keimigrasian yang memadai sertai ketersediaan personil yang cukup untuk membentuk LTSA seperti di Jatim. “Namun karena ada komitmen yang tinggi dari Kepala Dinas, maka LTSA itu akhirnya bisa dibentuk, malah sekarang LP3TKI kantornya juga sudah menjadi satu dengan LTSA sehingga koordinasinya menjadi gampang,” imbuhnya.

Pengiriman tenaga kerja indonesia ke luar negeri memang menjadi salah satu alternatif bagi orang Indonesia saat sekarang ini, disaat minimnya peluang bekerja didalam negeri, Provinsi Jatim saja di tahun 2017, mendapatkan remiten dari para TKI ini totalnya mencapai angka Rp7,7 Trilyun. Mengingat besarnya remiten yang didapatkan itu, maka Pemda Jatim betul-betul memperhatikan aspek perlindungan TKI ini dengan membentuk Satgas TKI. Bahkan di pintu keluar masuk Bandar Udara Juanda Surabaya, telah dibentuk yang namanya Konter TKI, yang bertugas selama 24 jam dan bertugas mendata arus keluar masuknya TKI. (GA. Ese*). 
×
Berita Terbaru Update