-->

Notification

×

Iklan

Ketua Umum PBNU: Dominasi Ideologi Fundamentalisme Pasar, Produksi Ketimpangan dan Frustasi Sosial

Thursday, November 23, 2017 | Thursday, November 23, 2017 WIB | 0 Views Last Updated 2017-11-23T11:19:26Z
Prof Dr KH Said Aqil Siroj MA.,

Mataram, Garda Asakota.-
            Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Prof Dr KH Said Aqil Siroj MA., mengungkapkan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama Tahun 2017 (Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2017) yang digelar di Masjid Hubbul Wathan Islamic Center Kota Mataram Provinsi NTB, Kamis 23 November 2017, kali ini mengambil tema “Menguatkan Nilai-Nilai Kebangsaan Melalui Gerakan Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Warga.” Pemilihan tema diungkapkannya dilandasi oleh situasi kebangsaan kita yang diwarnai gejala erosi nasionalisme akibat berseminya ideologi fundamentalisme agama yang memupuk radikalisme serta dominasi ideologi fundamentalisme pasar yang memproduksi ketimpangan dan frsutrasi sosial.
            “Dalam situasi ekonomi di mana yang kuat memangsa yang lemah, sindrom kalah dan tersingkir akan memicu radikalisme dan amuk sosial yang bisa dibungkus dengan jargon-jargon agama. Selain faktor paham keagamaan, deprivasi sosial-ekonomi jelas berperan penting di dalam tumbuhnya radikalisme,” ujar Said Aqil Siroj saat menyampaikan sambutannya dihadapan Presiden RI, Joko Widodo, yang hadir beserta jajaran menteri kabinetnya, serta jajaran Rais ‘Aam Pengurus Syuriyah, Pengurus Tanfidziyah PBNU, Ketua Lembaga, Badan Otonom dan Badan Khusus di lingkungan NU, para Pengurus Wilayah NU seluruhIndonesia, serta para Pengasuh Pondok Pesantren seluruh Indonesia.
Dalam kaitan ini, lanjutnya, PBNU mengapresiasi dan mendukung pengesahan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai ikhtiar mengatasi radikalisme. “Tetapi upaya deradikalisasi harus berjalan seiring dengan ikhtiar Pemerintah meningkatkan kesejahteraan sosial melalui penyediaan lapangan kerja yang luas, menekan kesenjangan dan mendorong pemerataan, memperbanyak pelayanan dan fungsi jaminan sosial, serta menggalakkan program pembangunan ekonomi inklusif,” timpalnya.
PBNU, menurutnya, mendukung upaya-upaya Pemerintah menekan ketimpangan dengan pembangunan infrastruktur yang massif di berbagai daerah, menjalankan restrukturisasi agraria melalui program legalisasi aset (sertifikasi) dan redistribusi lahan, serta meningkatkan basis penerimaan pajak dari kalangan kaya dan pemilik uang. “Upaya deradikalisasi melalui jalur politik kekuasaan dengan mencegah radikalisme dan menindak para pelaku teror harus simultan dengan jalur redistribusi kesejahteraan melalui program-program pembangunan ekonomi inklusif. Hal ini agar NKRI berdasarkan Pancasila semakin bersatu dan terhubung bukan hanya raganya tetapi juga jiwanya, bukan hanya politiknya tetapi juga ekonominya, bukan hanya teritorinya tetapi juga pembangunannnya. Dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Islam menjadi kekuatan integratif bukan disintegratif. Islam bersenyawa dengan nasionalisme, bukan Islam yang subversif terhadap NKRI dan ingin menggantikannya dengan Khilâfah. Inilah pokok gagasan Islam Nusantara menuju Indonesia bersatu, adil, dan makmur,” ungkap Said Aqil Siroj.
Selain itu, PBNU mengapresiasi Presiden Jokowi yang mengakui jasa dan saham santri dalam berdiri dan tegaknya NKRI dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Santri dan pesantren menurutnya, telah terbukti dan teruji dalam perjuangan nasional dengan mengusung slogan حبالوطنمنالإيمان (nasionalisme bagian dari iman). “Sebelum menggelorakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, kaum santri telah menetapkan Nusantara sebagai Dârus Salâmpada tahun 1936, yang mendasari legitimasi fikih bagi berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila pada 1945. Pada 1953, kaum santri menggelari Presiden Indonesia sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati, karena itu pemberontakan DI/TII berarti bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme. Tahun 1983/84, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan NKRI final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah),” ujarnya.
PBNU juga mengapresiasi Presiden Jokowi yang membatalkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23 Tahun 2017 yang mengatur waktu sekolah 5 hari dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari dengan Peraturan Presiden (Perpres)No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. “Ini menunjukkan Presiden Jokowi dan Pemerintah peduli terhadap nasib serta masa depan Pesantren dan Madrasah Diniyah yang telah terbukti mencetak kader-kader santri nasionalis. Alangkah berbahaginya jika Presiden berkenan mengangkat Menteri urusan pesantren dan bersama Dewan Perwakilam Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan RancanganUndang-Undang (RUU) Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan,” harapnya.
Menurutnya, Munas Alim Ulam dan Konbes NU 2017 di NTB kali ini akan membahas sejumlah masalah penting yang diklasifikasi dalam 3 (tiga) bagian: Masâil Wâ qi’iyah (mencakup masalah penggunaan frekuensi publik, investasi dana haji, izin usaha bepotensi mafsadah, melontar jumrah ayyamut tasyriq qablal fajri, status anak dan hak anak lahir di luar perkawinan); Masâil Maudlûiyah (mencakup konsep fiqh penyandang disabilitas, konsep taqrîr jamâ’i, konsep ilhâqul masâil bi nazhâirihâ, ujaran kebencian (hate speech), konsep amil dalam negara modern menurut pandangan fiqh, dan konsep distribusi lahan/aset;sertaMasûil DîniyahQanûniyah(mencakup RUULembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren, Regulasi Penggunaan Frekuensi, RUU Komunikasi Publik, RUUKUHP, RUUEtika Penyelenggara Negara, Regulasi tentang Penguasaan Lahan, RUULarangan Minuman Beralkohol, dan RUUAnti Terorisme). (GA. Imam*).
×
Berita Terbaru Update