Oleh: Diana Dahlan
           Melongok di google, suhu di Rato, Bima-West Nusa Tenggara tanggal 29 Oktober 2017, pukul 16:31 adalah 32•C dengan keterangan partly cloudy (berawan sebagian). Walaupun berawan sebagian, suhu memang panas belakangan ini. Tapi, sekalinya hujan datang, warga Bima khususnya di area kota tidak bisa tidur dengan nyenyak karena mengantisipasi banjir yang sebelum hari ini telah membuat mereka kehilangan rumah, ternak dan tani. Tidak sedikit yang masih hidup dalam trauma.
      Satu pertanyaan yang mungkin terdengar klise adalah, “kenapa banjir terjadi?” Tidak mungkin kan tanpa penyebab? Berbicara banjir tentu akan melibatkan kondisi hutan, sistim irigasi dan perilaku hidup masyarakat. Konon, kehidupan ini merupakan saling keterkaitan. Contoh, kebakaran hutan di Kalimantan tapi Malaisya yang terganggu. Climate change yang terjadi di internal Indonesia tapi mampu melelehkan es di kutub yang dengan demikian telah mengancam kehidupan di seantero jagat. “Wuihh! Jangan-jangan duel maut tetangga perihal got yang tidak berfungsi dengan baik adalah ulah kita yang membuang sampah sembarangan?”
      By the way, climate change atau dalam bahasa Indonesia berarti perubahan iklim adalah perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata. Contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrim yang semakin banyak atau sedikit (id.wikipedia.org). Kembali ke jaman putih biru di pelajaran Geografi bahwa terdapat tiga iklim di Indonesia yaitu iklim Musim, iklim Tropika dan iklim laut. Perubahan iklim-iklim tersebut terjadi dalam kurun waktu tertentu dan mempunyai dampaknya tersendiri. Adapun beberapa dampaknya adalah produksi bahan pangan terhambat (ikan, jagung, padi dan kebutuhan pokok lain), resiko banjir di daerah pantai, laut dan daerah dataran rendah, pengiriman barang distribusi via laut tidak lancar dan objek wisata akan mengalami kerusakan (www.ilmuGeografi.com).
      Indonesia adalah salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Dampak yang cenderung negatif sudah terpampang nyata di depan mata. Semisal kenaikan air laut, gangguan di sektor pertanian dan ketahanan pangan serta kebakaran hutan. “Apakah masyarakat tahu bahwa suhu sangat panas akhir-akhir ini adalah perubahan cuaca ekstrim yang berimbas pada pemanasan global?” Saya cenderung mendengar kekehan, semacam ejekan ketika menyebut “perubahan iklim” atau “pemanasan global”. Hal tersebut bagi sebagian kecil mereka adalah hal yang tidak masuk akal, mengada-ada dan hanya bahan omongan orang luar negeri. “Kita ini hanya orang “kampung tertentu.” Biarlah orang luar negeri, orang pintar sana yang tahu dan menyelesaikannya.“
       Dengan jawaban semacam itu tidak mengherankan mengapa negara ini menjadi jajahan asing selama 3.500 tahun! Saya pikir, sebelum bergerak untuk menyelamatkan Bima, Indonesia dan planet ini dari iklim panas yang merugikan adalah terlebih dahulu dengan merubah cara pandang terhadap diri sendiri. Kita perlu mind-set baru bahwa setiap kita mempunyai nilai unik masing-masing, mengasah kebaikan dengan berkontribusi pada lingkungan sekitar dan percaya diri bahwa tidak harus berkulit putih untuk memiliki kepribadian yang cantik. Tidakkah tahu? hanya dengan menghemat listrik, kita mampu menabung energi tersebut untuk masa depan generasi penerus sekaligus menyelamatkan dunia. Ya! Anda tidak salah dengar. “DENGAN HEMAT LISTRIK, KITA BISA MENYELAMATKAN DUNIA.”

      Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai pembangkit energi listrik dan menurut www.kompasiana.com hasil pembakarannya menjadi penyumbang terbesar penyebab pemanasan global. So, dengan tindakan hemat listrik, masyarakat bisa meredam perubahan iklim, menyetop pemanasan global dan menyelamatkan dunia. “Tidak perlu orang asing kan untuk mencambuk punggung kita agar bisa hemat listrik?” Sebelum lebih jauh, saya ingin menggaris bawahi bahwa perubahan iklim adalah sesuatu yang natural. Hujan, angin bahkan badai adalah peristiwa alam yang alami. Tapi, pola hidup masyarakat baik yang positif atau negatif seperti membuang sampah, menebang hutan, mengembang-biakkan ternak dan pembukaan area pemukiman baru memberi dampak terhadap efek yang ditimbulkannya. Perubahan iklim yang ditambah dengan perilaku hidup yang tidak sehat seperti boros listrik akan membentuk pemanasan global. Satu efek dari pemanasan global adalah mencairnya es di kutub yang membuat permukaan air laut meninggi sehingga menimbulkan abrasi dan bencana lain.
             Dua hal yang ingin saya sampaikan sejauh ini adalah: 1. Saya dan anda adalah individu unik dan berharga yang mampu berkontribusi pada kelangsungan hidup di planet ini. 2. Mari Kita hemat listrik. “Apakah tanah tempat kita berpijak sekarang, Bima juga terkena dampak perubahan iklim?” www.gardaasakota.com menulis judul berita yang panjang bahwa kecamatan Sape adalah daerah kabupaten Bima yang rawan akibat perubahan iklim. Hutan telah gundul. Jadi, ya! Bima juga terkena dampak perubahan iklim tersebut. Informasi dari situs id.meteocast.net bahwa kerusakan sebagian besar hutan di kabupaten Bima disebabkan oleh tindakan eksploitasi seperti perladangan liar, pencurian kayu dan pengusahaan hutan yang tidak sesuai dengan peraturan dan pelestarian hutan.
           Dalam sebuah forum yang dihelat di Mataram, Jum'at 30 Desember 2016, kepala dinas kehutanan NTB, Husnandiaty Nurdin mengatakan bahwa kabupaten Bima mempunyai kawasan hutan kritis terparah dibandingkan dengan kabupaten lain. Dan, hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya banjir di kabupaten dan kota Bima. Berikut laporan beliau mengenai luas kawasan hutan kritis kabupaten di NTB. Terluas pertama adalah kabupaten Bima mencapai 57.599,56 Ha. Lalu, Sumbawa dengan 37.848,71 Ha. Disusul Sumbawa Barat 12.393,64 Ha, Lombok Timur 9.460,20 Ha, Lombok Utara 8.219 Ha, Dompu 6.822 Ha, Lombok Barat 6.740 Ha. Kemudian, Lombok Tengah seluas 1.262,34 Ha. Terakhir kota Bima yang sebesar 1.028,82 Ha. Total hutan kritis adalah 578.645,97 Ha. Sungguh luas sekali! Oknum yang melakukan pengerusakan hutan mungkin meraup keuntungan yang mencengangkan. Tapi, coba baca di media, “berapa kerugian yang ditimbulkan oleh banjir besar Bima Desember 2016?“
  
           www.kompas.com menulis kerugian adalah lebih dari 1 Triliun. Ya! angka satu yang diikuti oleh dua belas buah Nol dibelakangnya. Dalam kehidupan real, saya bisa menyimpulkan kerugian yang dialami adalah rasa trauma yang entah akan berakhir atau tidak, rumah roboh yang untuk membangunnya kembali tidak segampang air yang mengalir, barang-barang kebutuhan rumah tangga yang dicicil lagi, lahan pertanian rusak, ternak mati, kendaraan tidak berfungsi karena terendam air dan mental yang drop karena harus memulai hidup dari nol lagi. Hal ini tentu tidak mudah. Belum lagi beban mereka yang sedang menyekolahkan/ mengkuliahkan anak. “Ini tentu tidak semudah bernapas.“

            Konon, hidup adalah saling keterkaitan. Bima yang terkena bencana, ya itu! TNI didatangkan dari luar daerah untuk tindakan penyelamatan, Jakarta turun tangan dan kepala dinas yang berdomisili di Mataram pun ikut resah. Itu contoh keterkaitan yang saya maksud. Tuhan pasti Maha Baik karena menciptakan manusia untuk saling terkait dan membutuhkan. “So, Hal apa yang perlu dilakukan agar tidak dilanda banjir bandang lagi?” Tindakan yang perlu disegerakan adalah membuang sampah pada tempatnya, hemat listrik, tegakkan peraturan berkenaan dengan hutan, hukum pelaku pengerusakan hutan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan memilih pemimpin yang peduli, enerjik dalam bekerja dan yang menepati janji kampanye-nya sendiri. “Bukankah begitu?”
“Let’s save the earth”