Bima, Garda Asakota,-
Tanah adalah salah satu harta
yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah peradaban
umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema-problema rumit. Indonesia,
yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan
tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya.
Maka tak heran, pasca
Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu
adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
selanjutnya disingkat UUPA.
Selanjutnya UUPA beserta
ketentuan-ketentuan pelaksanaannya menjadi acuan bagi pengelolaan administrasi
pertanahan di Indonesia, termasuk dalam kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum memerlukan tanah
sebagai wadahnya. pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah
apabila persediaan tanah masih luas.
Namun, yang menjadi
permasalahan adalah tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas,
dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia saat ini telah banyak
dilekati dengan hak (tanah hak), sementara tanah negara sudah sangat terbatas
persediaannya.
Pada masa sekarang ini adalah
sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara,
oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah
hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.
UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan
ketentuan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan
Undang-Undang. Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini
kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak
pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan
prinsip-prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Pembebasan lahan bagi
pembangunan untuk kepentingan umum di era otonomi daerah saat ini, selain untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga menimbulkan resistensi warga
masyarakat. Ada banyak persoalan yang muncul ketika melakukan pengadaan tanah
untuk pembangunan jalan umum, irigasi, saluran pembuangan air dan sanitasi,
pelabuhan, bandar udara, terminal, tempat pembuangan dan pembuangan sampah,
rumah sakit pemerintah daerah, kantor pemerintah daerah/desa, prasarana
pendidikan dan olahraga, pasar umum, lapangan parkir, fasilitas sosial dan
fasilitas umum lainnya, ujar Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Setda Kab.
Bima Drs. H. Rusydi.,M. Si.
Sebagian besar kendala
pengadaan lahan adalah pada aspek harga ganti rugi, sehingga tidak
mengherankan mencul penolakan dan keberatan dari pemilik lahan, karena harga
tidak cocok. Hadirnya undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan peraturan presiden nomor 7 tahun
2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum. Menjadi landasan dan acuan untuk membebaskan lahan bagi kepentingan
publik terutama kepastian penyelesaian sengketa. Kata kuncinya adalah
musyawarah dan mufakat dengan para pihak melalui kesepakatan penetapan ganti
kerugian. Dan pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah
pengganti atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
“Pengalaman saya selama
menjabat Kepala Bagian Administarsi Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten
Bima sekaligus sebagai Panitia Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Publik,
bahwa luas tanah yang telah dibebaskan selama 3 (tiga) tahun terakhir adalah
331.250 m2 untuk tanah Pembangunan fasilitas Pemerintahan Ibukota Kabupaten
Bima yang berlokasi di Desa Dadibou Kecamatan Woha dan 84.175 m2 untuk
perluasan landasan pacu Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima serta 45.221 m2
untuk kepentingan umum lainnya khusus di tahun 2013.
Keberhasilan ini tidak
terlepas dari adanya hasil kesepakatan dalam musyawarah yang menjadi dasar
pemberian ganti kerugian kepada pemilik lahan, yang dimuat dalam berita acara
kesepakatan.
Pemberian ganti kerugian
langsung diberikan kepada pihak yang berhak melalui transfer buku tabungan atau
rekening, ujar mantan Camat Wera ini”.
Pria Alumni S2 Magister
Manajemen Pemerintahan UGM ini mengakui memang ada pihak yang berhak menolak
besarnya ganti kerugian sesuai hasil musyawarah, tetapi upaya diplomasi terus
dilakukan.
Bagi pemilik lahan tidak
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri maka pihak yang berhak (pemilik
lahan) dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian tersebut, tetapi
bila ada keputusan Pengadilan Negeri yang mempunyai kekuatan hukum tetap
menjadi dasar pembayaran ganti rugi terhadap pihak yang mengajukan keberatan
dan uang dititipkan ke Pengadilan. Untuk menjamin pengakuan hak oleh
Pemerintah Daerah maka pada saat ganti rugi, pihak penerima ganti kerugian
wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan
obyek pengadaan tanah kepada Pemerintah Daerah. Meskipun ada banyak resistensi dari warga masyarakat, antara lain
tanah yang disengketakan pemiliknya, tanah yang menjadi obyek perkara di
Pengadilan, tanah menjadi jaminan di Bank dan tanah yang tidak diketahui
keberadaan pemiliknya sangat membutuhkan waktu dan upaya penyelesaian yang
intens. Yang jelas pengadaan tanah tetap mengedepankan prinsip keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, kesejahteraan dan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat serta
melibatkan semua pemangku kepentingan. (GA. eLsha*)
Bagaimana pembebasan lahan warga yg ada di So Tato, dgn potong seluas 17% oleh BPPN?,..
ReplyDeletePost a Comment