-->

Notification

×

Iklan

Kuingin Segalanya “Berarti”

Thursday, October 4, 2012 | Thursday, October 04, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-10-04T02:11:30Z
Oleh: Rafika, S.Pd  
Adakah semuanya menjadi lebih berarti ketika segalanya kita lakoni dengan bringas ? Ketika sega¬lanya kita sikapi dengan amuk, Ketika Segala-galanya menjadi tak berarti bila dilakukan dengan setengah hati, kejar tayang dan reward. Detik menjadi bermakna bila dilakukan dengan bertujuan, kolaboratif,dan menjunjung kepentingan bersama. Harus dengan Hati yang ihklas, jiwa yang damai … yah segalanya akan menjadi damai bila semuanya berarti bagi diri, ling¬kungan, bangsa dan orang lain.Sebaliknya ketika semuanya meresahkan, merugikan, anarkis,mencaci dan menghujat ?
Tak beda dengan “Neraka Dunia” katanya HB.Jassin. Yang kita cari di dunia ini adalah kesejatian, Jangan terlalu Berambisi akan Kedudukan dan Jangan Hancur akan Kezaliman ! Monoton, jengkel, sinis selalu bergandeng dengan hari-hari penuh penindasan. Pikiran dan naluri tidak bisa berekspresi dan berapresiasi dengan merdeka karena diikat dan dililit oleh titah. Adakah keluh yang acap didendangkan kian bisa disimak dan diterima oleh lingkungan ? Keluh dan peluh yang terurai terkuras dan terkikis karena dijajah oleh rutinitas yang nonsens. Pencarian yang dicari tidak pernah bertemu dengan jawaban praktis, karena yang ada malah tuntutan skenario dan sutradara yang harus disenandungkan. Sebagai abdi yang berkepentingan, “nrimo” menjadi pilihan terakhir untuk menenangkan kegalauan yang gundah dan mendera.Tiap saat titah berubah seiring perubahan yang tak berarti sama sekali. Hari ini dititahkan untuk A, besok untuk B, lusa untuk C sampai Z, dan pada akhirnya akan kembali kepada ‘pencarian awal’. Mana yang falid ?Mana yang salah ? Mana yang benar ? yang benar dan salah tergantung tingkatan kefeodalan ala jajahan. Mau mbangkang dan gencatan senjata? Silakan siap -siap untuk menerima resiko dengan segala bentuk kebermaknaan. Apabila terpelihara lidah,Niscaya dapat daripada faedah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, Di situlah banyak orang yang tergelincir, Raja Ali Haji (Tokoh Gurindam) Renungkanlah beberapa poin retoris pada alur pikiran kita, berapa persentase kerasionalan materi yang disodorkan ketika kita dalam jalur yang sama?Kita harus bijak memilah dan menyimak dengan seksama apa sebenarnya yang dipentaskan dan diagendakan.Jangan sampai kita memvonis dan memberikan nilai “minus” dan tidak KKM (kriteria ketuntasan minimal)sebelum melaksanakan evaluasi yang akurat. Kalau sampai terjadi penilaian versi seperti itu, maka kita telah memberikan nilai “palsu”.Setiap derap dan tuturan harus bertujuan, setiap nafas harus berarti, setiap jiwa harus menjiwai .Karena kita pada klimaksnya ingin merenda cita-cita dan hari-hari untuk menggapai pembersihan diri. Kita berada dalam masyarakat, lingkungan yang terikat oleh aturan dan norma. Sedikit saja kita lecet semuanya akan ikut terpeleset.Sedikit saja yang disentil, semuanya turut tersentil, sidikit saja kedukaan semuanya berduka cita. Kultural komunitas yang ragam akan memberikan imbas yang berbeda terhadap opini yang diperdebatkan. Mengapa harus ada kedinamikaan ketika semuanya telah terkomunitas ? Sikap idealis dan tanggung jawab menjadi tameng untuk merehab dan memperbaiki bangunan yang hampir retak oleh musim dan cuaca. Keretakan itu bisa roboh bila campurannya tidak “kalis”.Ego harus memiliki muatan, kompetensi, wawasan yang berarti, tidak asal “ngoceh” dan adu otot saja.Apapun wujud yang kita sodorkan, audien lebih bisa mendeteksi dan objektif. Ketika diselisik lebih jauh, indah nian memang, sistematis, terdeskripsikan, tetapi sungguh sangat tidak baku, alias pepesan kosong yang sudah gosong. Keegoisan menjadi pihak yang terposisikan. Adakah semuanya menjadi bermakna dan berarti ? karena apa yang kita lakukan diluar batas kewajaran, di¬luar tataran, dan malah menimbul¬kan kere¬sahan yang berkepanjangan. Alur, antagonis dan settingnya harus jelas, sehingga tidak hanya menyuburkan dan menuntaskan keserakahan sementara. Keserakahan itu laksana kobaran api, bila disulut dan dikipas akan semakin murka dan melalap kita semua. Yah…api yang kecil itu malah akan menggeret kipasan yang berkobar. Setelah semuanya lalap, barulah semuanya menjadi rayap. Yang jelas tidak akan ada tahun ini kalau tidak ada tahun kemarin. Tidak akan ada bulan ini kalau tidak ada bulan kemarin, dan tidak akan nada minggu ini kalau tidak ada minggu kemarin, hari ini, jam, menit dan detik ini. Tidak akan ada pen¬jajahan kalau tidak ada wilayah jaja¬han.Tidak akan ada lawan, kalau tidak ada kawan, dan tidak akan berasap kalau tidak ada api. Semuanya telah kita lewati bersama dengan catatan dan moment yang spektrum dan sarat makna. Catatan itu akan menjadi bukti dan sejarah bagi hari-hari kita selanjutnya. Akan menjadi lembar yang menentukan bagi masa depan, kedamaian, kemurkaan, dan kenesta¬paan.Yang kita petik dan kita baca hari ini adalah kumpulan dari wacana yang terlewati. Tak akan terkubur rapat-rapat malah akan sangat berarti dan fenomenal sesuai dengan porsinya. Adakah kesuksesan didapat semudah membalikan telapak tangan ? Adakah ketenaran diperoleh dengan bergantung kepada fortuna ? Adakah pengetahuan didapat tanpa dipelajari ? Adakah penelitian diperoleh tanpa peneliti. Adakah pesakitan tanpa pedakwa, adakah orang kaya tanpa adanya si miskin, ada minoritas dan mayoritas, Ada duka dan ada suka, ada yang bertepuk tangan dan ada yang terbelenggu. Disinilah urgennya kita dituntut cerdas mengatur kebermaknaan itu. Kita harus pandai melihat dan memaknai eksistensi lingkungan sekitar. Lingkungan akan mencintai kita ketika kita mau memahami, mengerti, tanggung-jawab dan toleransi. Jangan doyan amuk, kalau tidak suka ngamuk, karena bangsa kita adalah bangsa amuk, prof Sarlito Wirawan. Tetapi bukan berarti kita melegalkan budaya”ngamuk”. Sisi kelemahan yang nyaris dan hampir tidak diperhatikan ketika semuanya telah mengurai.Tetapi Masih ada seribu jalan di antara seratus cara, dan masih ada seribu kedamaian di antara satu kekacauan. Amuk itu bukan efek terbaik, malah akan menteror kita sendiri. Ketika semuanya terevaluasi, kebermaknaan itu akan muncul dan menjadi kunci jawaban terhadap pertanyaan yang terbeberkan.Kita Jangan sekali-kali mencari musuh, kecuali memusuhi setan dan iblis. Tak perlu memelintir masalah karena bisa jadi kita yang dipelintir oleh masalah. Bentuk aksi yang keluar dari rol dan tidak pada putarannya adalah langkah yang perlu diberi “efek”, seperti siswa yang bukan lagi siswa ! Semua ada aturannya, dan aturan itu harus ditaati. Tiada lagi keterikatan antara siswa dan siswa, antara manusia dengan manusia. Celah dan benang tipis itu harus dirawat dan dijaga agar tidak kececeran dan terinjak. Karena hakikat hidup itu adanya ketergantungan, saling menghormati, dan beradab hingga terwujud estetika dalam kebersamaan.Kita harus mempertimbangkan segala sesuatunya dengan tenang dan meminta bukti dari apa yang dikatakan agar tak masuk perangkap orang lain. Dalam kebersamaan, naluri dan perasaan itu sudah terikat. Satu bagian yang tergigit semuanya kesakitan hingga timbul peradangan dan memar.Peradangan itu harus ‘diinjeksi’, sehingga tidak mewadah ke anggota badan yang lain dan bisa lekas sembuh. Mari kita lebih mawas, dan berhati-hati dalam meneruskan perjuangan. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang senantiasa dilindungi olehNya, Amin. Penulis: Pemerhati Pendidikan dan Budaya Aktif di SMA Negeri I Bolo*
×
Berita Terbaru Update