-->

Notification

×

Iklan

MEMBANGUN PEMIMPIN YANG MEMILIKI SUARA DAN MATA HATI UNTUK RAKYAT

Tuesday, April 24, 2012 | Tuesday, April 24, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-04-24T01:57:32Z
Oleh: Dr. Mariani 
Sebuah realitas demokrasi tampa suara hati. Dia cen¬derung memanipulasi pen¬dapat rakyat demi kepen¬tingan pribadi, golongan dan kepentingan. Realitas ini membuat wajah bangsa ini mengalami ke kejenu¬han. Kejenuhan inilah yang melahirkan sikap cuek masyarakat terhadap politik (mungkin apolitis?). Jeritan manusi-manusia yang merasa dirinya menjadi korban dari kekuatan politik dan ekonomi yang buta, yang tidak bisa mereka kontrol. Rakyat kecil ditinggalkan oleh elit politik yang dulu
berjanji akan membela kepentingan mereka. Realitasnya, mereka hanya dijadikan tumbal. Realitas tumbal adalah bagian dari situs politik nasional yang selalu berulang lima tahunan. Inilah wilayah republik, di mana para elit politik dan pemimpinnya sudah tak lagi memiliki suaru dan mata hati. Suara dan mata hati sebagai pusat kedalaman hidup yang mencerminkan perasaan dan pikiran, telah mati di kalbu para pemimpin kita. Perasaan mereka sudah kehilangan empati terhadap rakyat. Rakyat hanya dijadikan sebagai sarana untuk mencapai sebuah kekuasaan yang ditargetkan. Jika kekuasaan sudah diraih dan kursi sudah diduduki, maka selamat tinggal rakyat!. Nasib mereka tak pernah menjadi perhatian yang serius di negeri ini, karena harga nyawa begitu murah. Nasib mereka terkuburkan oleh berbaga peristiwa mengelikan dan mengerikan. Semua serba saling lempar dan saling sem¬bunyi tangan dan sebagainya. Apakah tidak ada elit yang merasa pilu ketika rakyatnya di negeri tetangga di cambuki babak belur, bahkan mati lantaran mengejar sesuap nasi? Dimana¬kah prasaan para pemimpin negeri yang penuh dengan sopan santun dan keramahan ini?. Bangsa ini kerap melupakan sejarah. Bung Karno mengatakan agar bangsa ini jangan sekali-kali melupakan sejarah, (JASMERAH). Sejarah kerap dimanipulasi oleh kepentingan kekuasaan. Sejarah yang termanipulasi membawa konsekwensi luka di hati masyarakat. Artinya, kultur sadar sejarah belum menjadi bagian proses pembelajaran bangsa. Harus disadari, berdirinya republik ini karena adanya kesadaran bersama bahwa kita berbeda. Tetapi kita ingin bersatu, karena dalam diri melekat cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab yang menjadikan cara hidup bersama. Memang rakyat dibuat seolah-olah berdaulat, tetapi sebenarnya rakyat tidak memiliki akses untuk membangun kedaulatan. Kedaulatan dimaknai sekedar upacara rakyat guna meniup landasan kekuasaan pada penguasa. Dengan demikian kekuasaan selalu menghegemoni kedaulatan. Kedau-latan yang semula merupakan hak dasar setiap individu telah direbut paksa oleh kekuasaan. Kekuasaan cenderung memuliakan dirinya. Dia telah memproduk dirinya sebagai lem¬baga superbody dan antikritik. Seolah-olah ke¬kuasaan itu tak bisa disentuh siapapun. Dan, logika dibalik semua itu adalah logika kesatria. Bahwa pemilik pedang tak bisa dikalahkan, heroisme lantas menjadi kultur untuk mem¬bangun sejarah para kesatria. AKAL SEHAT TIDAK LAGI MENJADI PILIHAN. Kita khawatir, demokrasi Indonesia hanya akan melahirkan kesombongan para pemimpin. Kita juga lelah dan bosan jika atas nama demokrasi mereka bertingkah egois dan serakah. Mereka hanya mementingkan dirinya tampa memikirkan apa yang sedang menimpa rakyat sesungguhnya. Hari demi hari, wajah masa depan ibu pertiwi kita ini semakin suram. Tanda-tanda kehidupan yang sehat sulit kita dapati. Semuanya serba ruwet, bingung karena orientasi kedepan yang sangat lemah. Semuanya dilakukan hanya dalam rangka pencapaian orientasi jangka pendek dan untuk kepentingan elit tertentu saja. Bahkan seolah-olah pengharapan telah padam di hati sanubari bangsa ini, yang ada adalah letupan emosi dan egoisme yang dimuntahkan terus menerus bagaikan lahar dan hawa panas gunung berapi yang mengintari medan perpolitikan Indonesia. Benar bahwa konflik nyata-nyata dibutuhkan oleh partai agar partai makin survival di mata publik. Konflik juga menunjukkan dinamika tertentu dari sebuah partai, namun di negeri/republik ini terlihat sangat ironis, sebab konflik yang terjadi bersifat destruktif. Mereka tidak berdebat bagaimana menata Indonesia ke depan, melainkan hanya sibuk mengurus perpecahan ditingkat internal sendiri. Tidak malu-kah mereka kepada Korea, Jepang, bahkan Vietnam dan bangsa/negara lain, yang semakin dan sedang giat-giatnya membangun perekonomian dan menyelesaikan krisis?. Demi itu semua, nilai-nilai untuk berjuang secara tulus dan luhur lenyap. Ketaatan mereka bukan pada etika dan moralitas demokrasi, tetapi kepada ’dewa uang’ (dinar dan dirham). Demi ini semua, mereka rela kehilangan nama baik. Mereka menganggap bahwa dengan uang, nama baik bisa dibeli. Padahal ketika uang dijadikan dewa dalam ranah politik, maka jangan harap muncul pemimpin yang berkarakter. Mereka adalah “pemimpin lalim” Mereka memang berjuang hanya untuk uang? Dan bukan rakyat!. Mengutip dikatakan L. Moody,” Saya memelihara karakter dengan berusaha memelihara reputasi saya sendiri”. Akibatnya, pemimpin yang demikian (membeli nama dengan uang/mendewakan uang) akan sulit dipercaya oleh publik karena kata-katanya tidak dapat dipegang (berdusta/berbohong) sebab hanya retorika demi retorika. Mereka hanya mengubar janji sekaligus mengingkarinya. Konsistensi, kejujuran dan amanah sulit dipegang karena mereka banyak agenda yang tersembunyi (hidde agenda). Agenda inilah yang membuat di antara mereka tidak ada lagi saling percaya satu dengan lainnya. Melihat cermin elit politik sekarang ini, kita sangat layak mempertanyakan iman mereka. Seorang yang beriman terhadap yang adikodrat, tentu percaya bahwa kelicikan terhadap masyarakat akan menimbulkan kecelakaan pada dirinya kelak. Tuhan akan membalas semua akal bulus, busuk para pemimpin yang lalim dan licik dan sebaginya. Semua janji di masa lalu sirna karena ambisi pribadi yang lebih kuat daripada ketulusan. Sisi kemanusiannya jelas-jelas dipertanya¬kan oleh publik. Sebab pemimpin yang manusiawi tentu memiliki hati besar, benar, memiliki perasaan terhadap rakyat, dan tidak hanya sekedar mencari keuntungan pribadi. Rakyat membutuhkan pemimpin yang berkarakter, yang bisa dipercaya, yaitu mereka yang memiliki iman, dan dalam iman itu mereka akan melahirkan karakter kemanusiawian, ketulusan, keterbukaan, kepedulian dan keteguhan. Masih adakah di negeri ini pemimpin yang berkarakter seperti itu? Dalam hal ini, kita perlu bersikap mawas diri, melakukan evaluasi dan refleksi. Kita perlu mendorong penguasa agar mereka berbuat adil, jujur dan amana, sebab cerita Kong-hu Chu, “Harimau yang paling buas sekalipun masih kalah dengan penguasa yang tidak adil”. Artinya, diperlukan sikap benar-benar bijak, berani, tegas, konsisten, dan menggunakan cara pandang pluralistik. Dengan kata lain, cara pandang yang otoriter dan sentralistik sangat perlu dihindarkan dan diberantas. Pemimpin yang dibutuhkan, tidak, tak mudah mengeluh, dan segala yang terbaik diberikan kepada bangsanya. Membangun sebuah bangsa dengan karakteristik masayarakat yang beragam memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi itu bukan alasan agar sebuah keluhan seorang pemimpin bisa dibenarkan. Pemimpin sejati harus memiliki, ketegaran dalam prinsip, wealas asih terhadap kaum lemah dan hina-dina. Kita harus jujur menyatakan bahawa itulah harga sebuah republik, ketika uang menjadi panentu segala keputusan. Partai politik sudah mengalami kematian. Maksudnya partai politik hanya sekedar menjadi simbol yang tak mampu lagi meralisasikan kebutuhan rakyat. Tujuan politik untuk kemaslahatan hidup rakyat yang seharusnya dipancarkan, sedikit demi sedikit padam. Dewa Mamon itulah yang merusak moralitas politik saat ini. Akibatnya kebohongan menjadi hal wajar dan bahkan ’norma politik’. Keputusan itu lahir karena mata hati selama ini tidak dijadikan pijakan. Ketika mata hati digantikan pola kekuasaan yang hanya mengejar hal-hal material belaka, maka kekua¬saan hanya dijadikan alat untuk kepentingan “saya”. Realitas inilah yang seharusnya terbaca oleh mata hati ibu yang sejak awal merindukan agar moralitas publik dijadikan acuan terhadap para pejabat negara. Namun, realitas yang telah lama dirindukan oleh kawula alit ini lama-kelamaan menjadi pudar di dalam sanubari ibu. Kawula alit berharap agar ibu kembali menjadi “bunga rakyat” yang telah menjadikan ibu sebagai simbol perlawanan. Simbol itu akan sirna bila ibu mengambil jarak terhadap mereka. Ibu hanya dijadikan simbol di luar kesadaran mereka, bukan dalam kesadaran yang sesung¬guhnya. Bahwa kesadaran yang sesungguhnya itu dirumuskan dalam realitas obyektif antara, “Pengada” dan “Yang diadakan”. Pengada adalah absolut, karena dia sumber kebenaran. Sumber kebenaran itu diadakan demi pengada yang bersumber legitimasinya. Artinya, ketika kekuasaan telah kehilangan sumber “pengada” maka dia tak lagi menjadi kalbu rakyat. Dengan demikian hidup yang berani menghadapi tantangan, dan bukan dengan sikap relatif apalagi menyalahkan pihak lain. Adanya kritik adalah untuk memperbarui sistim politik yang tidak lagi menggunakan nurani dan mata hati. Jadilah pemimpin yang berani yang mengambil resiko tidak populer karena penegakan hukum sebagai panglima. Rakyat butuh pemimpin yang berani dan bertindak tegas dan didasari oleh nilai-nilai moralitas. Menjadi proaktif berarti hidup dalam nilai-nilai keadilan, kemanusian, kejujuran dan ketulusan. Yaitu zaman yang mengembalikan fungsi pemimpin sebagai pelayan publik untuk mengatur sistim hidup bernegara dengan prioritas pemeliharaan nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. Maka saat ini benar-benar kita ingin bertanya, “Bisakah ibu menjadi “ Bunda Rakyat?” Mari membuka mata hati Indonesia, dengan berpolitik untuk kepentingan bangsa, dengan berkata jujur dan berorientasi pada rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau lainnya. Bangsa ini harus dikembalikan kepada cita-cita pendiri bangsa, yaitu mewujudkan masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Cita-cita ini bisa tercapai bila ada kemauan dari elit politik untuk melayani dan mengambdi kepada masyarakat bukan kepada partai atau pemilik modal. Akibatnya penegakan hukum korupsi, kolusi, nepotisme dan sebaginya tertatih-tatih. Tidak bisa berjalan karena kaki-kaki yang dimiliki semua busuk. Mandat mereka harus dicabut dan kontrak mereka diakhiri. Caranya adalah bila kesadaran masyarakat untuk memilih mere¬ka kembali tumbuh untuk mewujudkan cita-cita reformasi maka kegagalan mereka juga diper¬panjang lagi. Artinya, rakyat bersatu dan kritis membuat daftar mereka yang selama ini tercela, dari daerah hingga pusat. Daftar hitam caleg bermasalah adalah simbol perlawanan terhadap mereka yang selama ini turut andil memperburuk situasi bangsa menjadi tidak karuan. Masyarakat harus bersatu padu untuk tidak mereka lagi, yang sudah terbukti tidak benar memperjuangkan masyarakat kecil tapi hanya menjual retorika belaka. Mari kita bersatu menghadapi politikus busuk yang selama ini gagal menciptakan sistim pemerintahan yang memelihara nilai-nilai kemanusiaan. Dari tulisan ini diharapkan bisa mengem¬balikan masa lalu yang telah hilang. Inilah yang dikatakan bahwa keyakinan tampak lebih dominan daripada pengetahuan. Perubahan ini diharapkan pemilih, yakni dengan cara menggunakan rasionalitas dan bukan lagi segi emosional belaka. Bila moralitas sudah tidak dianggap penting, kepatuhan bersama terhadap hukum sudah tidak ada; sanksi-sanksi sosial dan hukum yang mesti diberikan kepada pelanggarnya sudah tidak ada; maka bangsa Indonesia sudah jauh dari sebutan bangsa yang beradab. Karena bangsa yang beradab adalah bangsa yang para pemimpin dan rakyatnya, orang-orang yang bermoral; orang-orang yang menjalankan hukum secara konsisten; orang yang taat pada apa yang digariskan oleh hukum. Inkonsisten dalam menjalankan hukum menandakan adanya moralitas yang absurd (kosong). Padahal, moralitas bukanlah sebuah sesuatu yang absurd tetapi sebuah acuan untuk membangun realitas Indonesia baru sebagai negara hukum (rechtstaat). Inilah sebenarnya yang ingin dikatakan bahwa gerakkan nasional semua masyarakat Indonesia perlu kembali memfungsikan suara hati. Sedangkan tanda penguasa yang memiliki suara hati yang lurus dan tulus adalah dia tidak setengah-setengah dalam menyelesaikan persoalan korupsi, manipulasi, serta sejenisnya (yang telah mendarah daging dan sepertinya sulit untuk dilawan dan di berantas) Kembalikan hukum pada fungsi semestinya agar aparat penegak hukum berani bertindak atas nama moral untuk menyelamatkan negeri ini. “HARGA SEBUAH REPUBLIK” “BAGAIKAN LAHAR HAWA GUNUNG BERAPI DALAM NILAI-NILAI KEADILAN, KEMANUSIAAN, KEJUJURAN DAN KETULUSAN” Dr.Mariani MHSaw Rabu, 18 April 2012
×
Berita Terbaru Update