-->

Notification

×

Iklan

MEMBANGUN KOTA YANG SEJUK

Thursday, March 8, 2012 | Thursday, March 08, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-03-08T02:23:57Z
(Sebagai Wacana Perencanaan RTH Kota Bima)
Oleh: Zulharman. S.Hut
Pembangunan kota sering banyak dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota yang lebih banyak ditentukan oleh sarana dan prasarana yang ada. Gejala pembangunan kota pada masa yang lalu mempunyai kecenderungan untuk meminimalkan ruang terbuka hijau (RTH) dan juga menghilangkan wajah alam.
Lahan-lahan bertumbuhan, banyak di alih fungsikan menjadi perkotaan, pemukiman, tempat rekreasi, industri dan lain-lain. Ternyata dengan semakin tidak harmonisnya hubungan manusia dengan alam tetumbuhan mengaki¬batkan keadaan
lingkungan di perkotaan menjadi hanya maju secara ekonomi namun mundur secara ekologi. Padahal kestabilan kota secara ekologi sangat penting, sama pentingnya dengan nilai kestabilan secara ekonomi.
Oleh karena kestabilan ekosistem perkotaan terganggu, maka alam menunjukkan perubahan seperti : meningkatnya suhu udara diperkotaan, penurunan air tanah, banjir, penurunan permukaan tanah, instrusi air laut, pencemaran air minum berubah bau, mengandung logam berat, pencemaran udara seperti meningkatnya kadar CO, ozon, CO2, debu, suasana gersang, bising dan kotor. Saat ini, pergeseran orientasi kebijakan pengelolaan lingkungan telah mengarah pada intervensi di tingkat makro dan pada tingkat hulu dari proses pengambilan keputusan pembangunan.
Esensinya adalah bahwa kerjasama antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan ekologi lingkungan akan lebih efektif apabila lebih fokus pada upaya pencapaian pembangu¬nan berkelanjutan yang berwawasan ekologi lingkungan pada tingkat makro (daerah secara keseluruhan) dari pada terbatas pada pende¬katan di tingkat proyek, sehingga saling ber¬integ¬rasi. Pembangunan perkotaan sudah saat¬nya memiliki grand design rencana tata ruang dan wilayah yang mengarah pada keseim¬bangan pembangunan fisik, ekonomi dan ekologi. Dengan demikian masalah yang timbul sebagai akibat dari kerusakan lingkungan seperti yang diutarakan di atas sebisa mungkin bisa dihindari. Contoh langkah kecil yang dilakukan untuk mewujudkan grand design rencana tata ruang dan wilayah antara lain adalah mengukur daya serap (sink) tanaman terhadap karbon atau karbon dioksida (CO2) di daerah tersebut, serta dengan mengukur emisi karbon yang dikeluarkan oleh berbagai aktifitas kehidupan yang ada di daerah tersebut.
Sehingga dengan hasil tersebut kita akan dapat membandingkan antara karbon yang terserap dengan emisi yang dikeluarkan. Apabila nilai emisi lebih besar dari pada daya serap tanaman kota terhadap karbon, maka daerah tersebut perlu dilakukan penambahan ruang terbuka hijau untuk meningkatkan daya serap karbonnya, sehingga emisi karbon menjadi nol atau berkurang secara signifikan.
Beberapa waktu yang lalu penulis pernah meneliti tingkat daya serap karbon dan emisi karbon di Kota Malang Jawa timur, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa luas dan isi ruang terbuka hijau di Kota Malang belum seimbang dengan emisi CO2 yang dilepas oleh seluruh aktifitas masyarakat, baik dari kendaraan, pabrik, sampah serta aktifitas yang menyebabkan polutan yang lain.
Dari hasil pengukuran karbon dan emisi tersebut dapat dijadikan acuan untuk merenca¬nakan tata ruang dan wilayah serta besarnya luasan ruang terbuka hijau dalam pembangunan daerah perkotaan, sehingga ke depan pem¬bangunan kota akan menyeimbangkan antara pembangunan fisik, ekonomi serta ekologi. Dengan demikian kota akan menjadi kota yang sejuk, hijau dan bersahabat.

Penulis putra asli Bima dan Dosen Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian-Peternakan Univ. Muhammadiyah Malang
×
Berita Terbaru Update