-->

Notification

×

Iklan

“Andai SK 188 Steriil dari Skandal”

Tuesday, February 7, 2012 | Tuesday, February 07, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-02-07T13:25:04Z
Oleh: Arifuddin, SH

Aksi penolakan terhadap SK 188 yang diterbitkan oleh Bupati Bima (Ferry Zulkar¬nain) mendapatkan perla¬wa¬nan serius dari masya¬rakat Lambu dan Sape Bima NTB. Pasca insiden pembubaran dan penembakan warga di Pela-buhan Sape beberapa waktu lalu, bukannya menciutkan nyali warga di dua Kecamatan di ujung Timur Pulau Sumbawa itu. Terbukti Kamis 26 Januari 2012, puluhan ribu warga melakukan aksi massa menolak kebijakan Bupati Bima dengan melakukan long march menuju kantor Bupati Bima, setelah puas berorasi massa melem¬par dan membakar kantor Bupati Bima serta kantor KPU Kabupaten Bima.
Pengerahan massa besar-besaran itu adalah puncak dari kemarahan warga atas keengganan Bupati untuk mencabut SK. 188 yang dinilai tidak populis bagi warga yang tercakup area / lokasi eksplorasi pertambangan yang dilakukan oleh PT. Sumber Mineral Nusantara. Aksi warga itu seolah memberikan pesan keras kepada peme¬rintah daerah khususnya Bupati Bima bahwa warga kedua Kecamatan tersebut tidak lagi membuka ruang dialogis bagi siapapun untuk bernegosiasi sepanjang SK 188 tidak dicabut.
Desakan pencabutan SK. 188 tersebut sesungguhnya telah diminta oleh berbagai pihak, 2 (dua) fraksi di DPRD Kabupaten Bima sendiri dalam pandangan akhir fraksinya mendesak untuk dicabut. Alasannya jelas, selain mendapat perlawanan warga setempat, juga kalangan anggota dewan pun tidak pernah mengetahui terbitnya SK. 188. Sikap warga Sape dan Lambu tentu saja sangat beralasan, karena sedari awal mulai berlaku efektifnya SK. 188 atau dengan kata lain dimulainya kegiatan eksplorasi Tambang Mineral / Emas oleh PT. SMN di wilayah Lambu, warga setempat tidak pernah diajak bicara atau kompromi oleh jajaran pimpinan daerah. Upaya sosialisasi sendiri baru dilakukan setelah mendapat perlawanan/keberatan warga, itupun hanya dilakukan terbatas pada tingkat Camat dan Kepala Desa. Sementara sosialisasi menyeluruh dengan warga Lambu dan Sape tidak pernah dilakukan. Kondisi itu mengesankan adanya tidak transparansi Pimpinan Daerah sehingga terjadi miss komunikasi dan informasi terkait hadirnya PT. SMN yang dilegitimasi dengan dikan¬tonginya SK. 188 dengan melakukan eksplo¬rasi. Gayung bersambut resistensi warga yang terus meluas tidak diimbangi dengan upaya Pimpinan Daerah dengan melakukan konsoli¬dasi dan komunikasi yang terbuka dan dapat dipahami warga, dalam kerangka menjelaskan urgensi kenapa pertambangan itu penting bagi daerah dan masyarakat, sisi positif dan negatif¬nya pertambangan. Sehingga harapannya dengan penjelasan terbuka dan komprehensif itu paling tidak warga akan memahami untung ruginya keberadaan tambang dimaksud, baik bagi mereka maupun bagi daerah.
Hal ini tidak terjadi selama ini, sehingga efek dari ketidaktransparanannya Pimpinan Daerah itulah yang memotivasi warga untuk menolak kehadiran tambang tersebut. Selain itu, pema¬haman warga dengan adanya rencana penam¬bangan oleh perusahan, akan mengancam kehidupan warga terutama di desa-desa yang tercakup area sebagaimana yang tertuang dalam SK.188 Pro kontra tambang emas di Lambu lebih disebabkan oleh terbitnya SK. 188, atensi publik pasca insiden penembakan di Pelabuhan Sape justru tidak saja bicara pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri. Namun, diskursus mengenai eksistensi SK 188 ada apa dibalik SK. 188 terutama menyangkut keengganan Bupati Bima mencabut SK tersebut. Publik tentu menduga mengapa Bupati Bima selalu beralasan bahwa SK dimaksud tidak bisa dicabut. Jika alasan Bupati Bima SK. 188 baru dapat dicabut apabila salah-satunya telah terjadi pelanggaran hukum oleh perusahan. Mengapa ada pembiaran terhadap kegiatan PT. SMN yang telah melanggar ketentuan Pasal 50 UU No. 40 Tahun 2009 tentang kehutanan mengenai pinjam pakai lahan yang semestinya wajib mengantongi ijin dari Kementerian Kehutanan??? Ada hal apa Bupati Bima mengajukan prasyarat agar tidak diproses hukum serta mengapa pula Bupati Bima meminta jaminan tertulis dari pemerintah Pusat manakala SK. 188 dicabut ?
Sederet permintaan ini bukankah ada korelasinya dengan gelontoran dana puluhan milyar sebagaimana keterangan jajaran Manajer PT. SMN dihadapan forum Senator DPD RI. Satu hal yang mustahil permintaan perlindungan itu karena khawatir disalahkan oleh rakyat sebagaimana statemennya dihadapan publik. Spekulasi publik Bima saat ini kekhawatiran itu sesungguhnya bukan kepada masyarakat Bima. Namun lebih disebabkan oleh kekuatan PT. SMN yang akan memperkarakan Bupati Bima terkait dengan ijin yang dikeluarkan dan dana puluhan milyar yang digunakan selama kegiatan eksplorasi berlangsung. Menurut hemat penulis aliran dana dimaksud bukanlah masalah jika status dana puluhan milyar yang diakui telah dikeluarkan oleh PT. SMN itu sebagai jaminan kesungguhan PT. SMN pasca dikantonginya SK-eksplorasi oleh perusahan itu.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan atau UU Minerba, yang mewajibkan perusahan untuk memberikan uang jaminan kesungguhan atau dengan kata lain uang itu merupakan kewajiban undang-undang bagi setiap perusahan pasca mendapatkan IUP/Eksplorasi. Akan menjadi persoalan apabila dana-dana yang dikeluarkan oleh PT. SMN sebagaimana pengakuannya, tidak terkait dengan kewajiban undang-undang yang seyogyanya harus dipenuhi oleh PT. SMN kemudian tidak dimasukan/disetorkan dalam KAS PEMDA Kabupaten Bima.???
Tetapi, perkara itu akan bergulir jika Pertama PT. SMN merasa sebagai pihak yang dirugikan dengan dicabutnya SK 188. Kedua, menyangkut aliran dana SMN itu, aparat hukum terutama PPATK, BPK dan KPK dapat menelusurinya, apa¬kah dana dimaksud terkait kewajiban undang-undang atau peruntukkannya dalam rangka memuluskan terbitnya SK. 188 ???. Andai SK.188 steril dari skandal hukum/politik atau SK. 188 tidak mengancam sumber kehidupan subsistensi warga Sape dan Lambu tidak akan sampai Bupati Bima meminta perlin¬dungan hukum kepada pemerintah Pusat, tidak akan terjadi pendudukan pelabuhan Sape Bima berikut pembubaran/penembakan terhadap demo massa sekaligus tidak akan terjadi pembakaran kantor Bupati Bima.
Mengapa, karena proses penerbitan SK.188 diduga terindikasi ada persoalan hukum yang tersangkut di dalamnya. Terutama menyalahi peraturan perundang-undangan baik pra maupun pasca terbitnya SK 188. Lebih penting dari itu yang harus digaris-bawahi bahwa mayoritas warga kedua Kecamatan itu merupa¬kan pendukungnya Bupati Bima. Di Lambu misalnya, pada Pemilukada 2010 Pasangan Ferry Zulkarnain-Syafruddin Nur unggul dengan suara mayoritas. Faktanya saat ini mayoritas warga Sape dan Lambu juga yang menuntut dicabutnya SK. 188. Fakta yang sama ketika massa melakukan aksi demo yang berujung pada pembakaran Kantor Bupati Bima baru-baru ini adalah pendukung-pendukung Bupati Bima pula. Oleh karena demikian dalam kerang¬ka menemukan solusi komprehensif penyele¬saian tambang emas di Lambu konsolidasi dan komunikasi yang efektif oleh Bupati Bima dengan konstituennya itu sangatlah penting.
Ketegasan pemimpin dalam merespons dan melindungi kepentingan masyarakat yang dipimpinnya adalah jauh lebih penting ketimbang melayani hasrat orang-orang yang mengge¬rogoti potensi alam yang menjadi aset masa depan bagi daerah ini. Terlebih kepentingan bangsa Asing yang memiliki karakter utama sebagai penjajah. Terkecuali, pemimpin daerah telah dengan sengaja menjual potensi strategis di daerah ini dengan cara berkonspirasi dengan pihak Asing yang berkedok PT. SMN untuk satu tujuan yakni mengeruk seluruh kekayaan daerah untuk dibawa keluar pulau / negara meski harus melanggar hukum, menindas, menembaki warganya sendiri dengan memperalat tangan-tangan kekuasaan.
Urgensi wajib adanya Bupati Bima ditengah polemik ini ialah untuk menjawab desakan dan tudingan publik terhadap kebijakan Bupati Bima yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat khususnya warga Lambu dan Sape, yang pada saat Pemilukada beberapa waktu silam telah mendukung all out kepentingan politiknya Ferry Zulkarnain dengan meraih kemenangan 60 persen suara.
Adalah sangat ditunggu-tunggu, tentu saja alasannya karena Bupati Bima adalah Pimpinan Daerah, sudah semestinya bertanggungjawab dengan situasi daerah yang dipimpinnya. Tidak pada tempatnya Bupati Bima berada diluar Kabupaten Bima ditengah situasi yang membu¬tuhkan kehadirannya sebagai Kepala Daerah/penanggungjawab tertinggi keamanan/stabilitas daerah Bima. Konsolidasi tingkat stakeholders di daerah sangatlah penting untuk menunjukkan tanggungjawab sebagai Kepala Daerah meski disitu ada aparat keamanan. Namun, tidak akan maksimal konsolidasi dimaksud tanpa adanya Bupati sebagai Pimpinan Daerah. Hal yang sangat memalukan jika Bupati memilih diam dan menghilangkan diri dari masalah yang dihadapi daerahnya. Wallahu’alam.

Penulis: Praktisi Hukum Bima-NTB.
×
Berita Terbaru Update