-->

Notification

×

Iklan

M. Tahir: Kuat Dugaan Ada Kebohongan Publik

Monday, January 2, 2012 | Monday, January 02, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-02T01:56:51Z
Bima, Garda Asakota.-
Lima hari aksi boikot kawasan Pelabu¬han Sape oleh ribuan masyarakat Lambu guna menuntut Bupati Bima segera menca¬but SK 188 tentang pertambangan yang berujung insiden pembubaran paksa oleh aparat Kepolisian hingga mengakibatkan tiga warga Lambu tewas, direaksi oleh sejumlah akademisi Bima.
Selain Dosen STISIP Mbojo-Bima, Drs. Arif Sukirman, MH,
yang menuntut pertanggung-jawaban pihak Kepolisian, Bupati Bima dan pihak DPRD atas insiden yang sudah menjadi perhatian Nasional tersebut. Akademisi lainnya, M. Tahir Irhas, S. Ag, menduga adanya administrasi yang tidak beres terkait dengan keluarnya SK Nomor: 188 oleh Bupati Bima. “Kuat dugaan ada kebohongan publik dibalik keluarnya SK 188 dan melanggar sumpah jabatan,” duga alumnus IAIN Alauddin Makassar ini kepada wartawan. Dirinya menduga adanya manipulasi dokumen yang diajukan pada Kementerian ESDM untuk mengurus ijin pertambangan. Tindakan ini dianggapnya telah menyalahi aturan yang ada. “Tindakan Bupati sebagai pejabat publik melanggar UU dan sumpah jabatan. Makanya, saya meminta pertang¬gung-jawaban Bupati Bima,” tegas pria yang berprofesi sebagai dosen STKIP Bima ini.
Sementara itu, Dosen STISIP Mbojo-Bima, Drs. Arif Sukirman, MH, menegas¬kan bahwa, semestinya seorang Bupati harus melihat dan memperhatikan aspirasi dari masyarakat bawah sehingga bisa dijadikan acuan dalam mengambil kebija¬kan. Menurutnya, insiden Sape merupakan kelalaian para pengambil kebijakan dalam menyikapi aspirasi rakyat yang harus dipi¬kul dan diemban. “Insiden Sape membuk¬tikan ketidak-aspirasian Dewan dan Bupati yang pada puncaknya terjadi pembantaian masyarakat Lambu. Selain itu, kita per¬tanya¬kan sikap reprensif aparat dalam mengatasi aksi demo, jawabannya selalu sesuai protap dan mengacu pada aturan undang-undang. Lalu kita pertanyakan, apa¬kah ada undang-undang yang mengharuskan adanya pembantaian masyarakat, dan setelah kita buka, tidak ada undang-undang pembantaian tersebut,” cetusnya.
Menurutnya, penyelesaian embrio konflik sosial di tengah masyarakat harus dilaksanakan bukan hanya dalam waktu yang begitu singkat, akan tetapi harus bisa dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak yaitu tokoh masyarakat dan para figur yang berada di lokasi sentral tersebut. Dalam hal ini, kata dia, harusnya menatap secara objektif, haruskah kita mencari siapa yang salah dan siapa yang benar setelah kejadian?, haruskah si pelanggar dibebaskan dari tuduhan?. “Seharusnya penegakan aturan yang sebenarnya jangan pandang oknum kepolisian maupun pejabat, tapi lihatlah hukum tidak boleh diintervensi dan dimanipulasi,” tegasnya
Pihaknya berharap kepada pengambil kebijakan di daerah untuk berbesar hati, melihat kondisi masyarakat sebenarnya, apakah tambang ini merupakan salah satu prioritas untuk mensejahterakan rakyat?. “Bagi saya bukan, karena masyarakat sejak dulu hingga kini sudah bekerja dengan cara bercocok tanam, dan dari bercocok tanam tersebut, mereka bisa menyekolahkan anak dan naik haji. Untuk itu jangan paksakan masyarakat untuk memulai hidup kedepan dengan kebiasaan baru yang mereka rasakan, jadi diharapkan kepada Bupati Bima Ferry Zulkarnain ST beserta jajarannya untuk dapat berpikir bijak, hentikan pertambangan ini, selama masyarakat tidak menghendaki adanya tambang,” pintanya. (GA. 334/212*)
×
Berita Terbaru Update