-->

Notification

×

Iklan

Komnas HAM Duga Ada Pelanggaran, SK 188 Dinilai Sumber Masalah

Monday, January 2, 2012 | Monday, January 02, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-02T02:08:19Z
Ridhal Saleh: Tiga keganjilan itu adalah, pertama, warga tak melawan saat terjadi pembubaram aksi, kedua, polisi melakukan penembakan, dan ketiga, dua korban meninggal berada di luar tempat kejadian perkara di Pelabuhan Sape. Selain itu, Komnas HAM juga menyayangkan perlakuan polisi yang hingga detik ini masih memperlakukan warga secara tak manusiawi. “Pun, meski mereka sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.

Bima, Garda Asakota.-
Kuat dugaan terjadi pelanggaran HAM saat pembubaran paksa massa aksi Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) yang memboikot kawasan Pelabuhan Sape,
Sabtu pagi lalu (24/12) oleh ratusan aparat gabungan hingga menewaskan tiga orang warga, Arif Rahman (19) dan Mahfud (bukan Saiful seperti diberitakan sebelumnya, red). Keduanya masing-masing warga Desa Sumi Kecamatan Lambu, dan satunya lagi Safrudin yang meninggal pasca bentrok pelabuhan diduga akibat shock.
Dua anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Kom¬nas HAM) yang meninjau langsung TKP dan menghimpun kesaksian 47 warga Lambu yang ditahan aparat dan dijadikan tersangka, menemukan sedikitnya tiga kejanggalan pada kasus kekerasan tersebut. Tiga keganjilan itu adalah, pertama, warga tak melawan saat terjadi pembubaram aksi, kedua, polisi melakukan penembakan, dan ketiga, dua korban meninggal berada di luar tempat kejadian perkara di Pelabuhan Sape. Selain itu, Komnas HAM juga menyayangkan perlakuan polisi yang hingga detik ini masih memperlakukan warga secara tak manusiawi. “Pun, meski mereka sudah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap anggota Komnas HAM, Ridhal Saleh, kepada sejumlah Rabu (28/12).
Ridhal Saleh didampingi anggota Komnas HAM lainnya, Sriyana, mengungkapkan bahwa, saat pembubaran massa yang menduduki Pelabuhan Sape, tidak ada perlawanan apapun dari warga Lambu. Bahkan kata Ridhal, Koordinator Lapangan (Korlap) aksi, telah meminta untuk mundur. ‘’Persoalan ini masih kita dalami. Dan kita menemukan ada penembakan terhadap warga yang berada di luar TKP (di luar pelabuhan). Dengan sejumlah kejanggalan itu, kita menemukan ada pelanggaran HAM yang terjadi saat pembubaran paksa warga Lambu,” tegasnya. Kepada sejumlah wartawan pihaknya mengaku telah menemui Kapolda NTB dan Kapolres Bima Kota untuk menindak hukum oknum anggota polisi yang bertindak di luar prosedur. “Hasil penelusuran kami di lapangan, menemukan ada oknum anggota polisi yang menembak warga. Padahal mereka berada sekitar jarak 700 meter dari Pelabuhan Sape,” bebernya.
Pihaknya berharap warga Lambu yang kini ditahan dan dijadikan tersangka kasus pemblokiran Pelabuhan Sape diproses secara adil, tidak ada unsur balas dendam. Sehingga warga yang tidak bersalah, dapat dibebaskan. Bahkan pihaknya meminta pada Kapolda, agar kalau bisa warga Lambu yang ditahan, bisa ditangguhkan. Terhadap beberapa persoalan yang disampaikan pada Kapolda dan Kapolres Bima Kota, Ridhal mengaku, Kapolres bersikap kooperatif dan cukup terbuka. ‘’Terhadap warga Lambu yang saat ini luka-luka dan saat ini dirawat di rumah masing-masing, agar diobati dan dibawa ke rumah sakit. Dengan jaminan, mereka tidak ditahan dan dijadikan tersangka,’’ imbuhnya.
Sementara itu, menyinggung ijin usaha Pertambangan eksplorasi emas oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), wilayah Kecamatan Lambu, Sape, dan Langgudu Kabu¬paten Bima, NTB, Ridhal Saleh mene¬gaskan agar segera dicabut untuk memper¬cepat pemulihan keadaan pasca tragedi di Pelabuhan Sape. Wakil Ketua Komnas HAM ini mengatakan, bahwa ijin tambang yang dikeluarkan oleh Bupati Bima pada tahun 2010 itu yang menjadi sumber konflik di masyarakat. Ijin yang dimaksud Surat Keputusan (SK) Nomor 188.45/357/004/2010. Dinilainya, SK itu angka setan yang menjadi pemicu konflik di Sape. “Dan mesti dicabut untuk menenangkan masyarakat dan menciptakan suasana menjadi kondusif kembali,” pintanya Kamis (29/12).
Secara terpisah, Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, mengaku, akan mempertim¬bang¬kan pencabutan SK No 188 itu sesuai saran Komnas HAM. Diakuinya, peluang itu ada namun dirinya perlu jaminan dari peme¬rintah Pusat, sebab dalam hal ini dilaku¬kan diskresi, ini kembali ke undang-undang. Ditegaskannya bahwa, pencabutan ijin tambang harus memperhatikan keten¬tuan undang-undang, yakni apabila perusa¬haan melakukan tindak pidana, perusahaan melanggar kewajibannya, atau perusahaan menyatakan diri pailit. (GA. 212*)
×
Berita Terbaru Update