-->

Notification

×

Iklan

Kapolri: Perintah Penggunaan Senjata Ada di Tangan Komandan Lapangan

Tuesday, January 10, 2012 | Tuesday, January 10, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-10T00:14:40Z
Jakarta, Garda Asakota.-
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengungkapkan sejumlah fakta, hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM dalam bentrokan di pelabuhan Sape Bima. Aparat keamanan dinilai telah menya¬lahi prosedur tetap (Protap) pengamanan. Terkait hal itu, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo mengatakan, akan melakukan komu¬nikasi dengan Komnas HAM untuk mengusut masalah tersebut.

“Sekali lagi, nanti kita akan samakan dan ketua komnas HAM akan menyampaikan hasilnya kepada saya,” kata Timur di Kom¬pleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (3/1/2012). Timur mengatakan, Polri siap bekerja sama dengan Komnas HAM. “Tentunya selanjutnya saya akan bekerja sesuai dengan apa yang menjadi langkah-langkah yang sudah dilakukan. Saya kira itu,” ujarnya.
Ketika ditanya soal perintah penggunaan senjata api, Timur mengatakan semua perin¬tah ada di tangan komandan di lapangan. “Semua komandan-komandan di lapangan yang memutuskan dan itulah yang harus kita pertanggungjawabkan melalui evaluasi yang dipimpin oleh irwasum,” katanya. Lebih jauh Timur menegaskan, Polri masih akan menguji lagi semua temuan di lapangan.
Sementara itu, Komnas HAM, juga dalam laporannya di Jakarta, Selasa (3/1) menyebutkan jumlah korban tewas dalam insiden pembubaran paksa di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), ada tiga orang, sementara sebelumnya pihak kepolisian mengumumkan hanya ada dua korban tewas dalam insiden berdarah tersebut. Komnas HAM juga menyatakan, kepolisian tidak mengikuti prosedur tetap (protap) yang seharusnya. Ada empat protap yang dilewati kepolisian. Pertama, tidak ada pengendalian massa dengan tangan kosong lunak, pengendalian massa dengan tangan kosong keras, penggunaan senjata tumpul dan penggunaan senjata kimia seperti pakai air cabai. “Polisi justru langsung mengguna¬kan senjata tajam,” ungkap Ridha Saleh.
Dari video yang dirilis Komnas HAM terlihat masyarakat sangat kooperatif. Tapi polisi tetap juga memukuli warga. Ada juga gambar anak belasan tahun yang dibawa ke pinggir pantai dan ditendangi petugas kepo¬lisian. Terlihat juga polisi menembak warga dari jarak jauh. Dalam rekaman video itu pihak kepolisian juga terlihat mengum¬pulkan selongsong peluru, seperti hendak menghilangkan barang bukti. Korban tewas adalah Arief Rahman (18 tahun) dan Syaiful (17). Keduanya ditemukan tewas 600 meter dari Pelabuhan Sape. Korban Syaiful justru tewas saat hendak menyelamatkan rekannya Arief Rahman. Satu lagi korban tewas ada¬lah Syarifuddin (46). Sementara seorang lagi, Nasrullah (30) dinyatakan masih hilang. Komnas HAM juga akan memanggil Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk merekomendasikan pencabutan SK 188 tentang eksplorasi emas di Bima yang menjadi pemicu masalah. Bupati Bima baru akan mencabut SK tersebut jika ada persetujuan dari Menteri ESDM.
Komnas HAM mendesak Polri untuk se¬ge¬ra melakukan pemulihan, tidak mela¬kukan sweeping, intimidasi, maupun penang¬¬kapan. “Kami juga minta polisi meminimalisir ter¬sangka dan melakukan pendekatan persua¬sif,” kata Ridha. Untuk Pemerintah Kabupa¬ten Bima, Komnas HAM meminta segera membiayai korban-korban luka yang masih dirawat, dan utamanya mencabut SK terse¬but. “Kalau tidak, ketegangan masih akan terjadi di sana,” ungkap Ridha Saleh. Bagi para kor¬ban luka, Komnas HAM meminta selu¬ruh korban segera merujuk ke RS.
Salah satu korban tertembak, Ismail, kini juga dirawat di Rumah Sakit Muhamma¬diyah Bima. “Ismail itu sudah angkat tangan, namun saat berbalik ditembak dua kali di bagian dada, satu di pinggang dan satu lagi di tangan.” Dari 52 anggota dan dua perwira polisi yang bertugas saat insiden pembubaran paksa, lima di antaranya sudah ditetapkan menjadi tersangka.

Komnas HAM Curigai Polisi Pungut Selongsong Peluru
Sementara itu, seperti dirilis Koran Tempo.Com, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menduga polisi langsung me¬mungut selongsong peluru setelah melum¬puhkan massa di Pelabuhan Sape, Bima. Dalam peristiwa pada 24 Desember itu, polisi menggunakan senjata tajam ketika membubarkan massa yang memblokade pelabuhan. Akibatnya, dua orang tewas tertembak. “Setelah penembakan, polisi langsung mengumpulkan selongsong peluru,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh. Akibatnya, kata dia, tak satu pun proyektil ditemukan tim Komnas di lokasi kejadian. Temuan itu, kata Ridha, se¬lain mencurigakan, memperkuat bukti reka¬man video tentang suasana pascapenem¬bakan. Beberapa polisi terlihat memegang senjata, berkeliling Pelabuhan Sape, dan me¬munguti selongsong peluru yang berserakan.
Komnas, menurut Ridha, belum menyim¬pulkan jenis peluru yang menerjang tubuh Arif Rahman, 18 tahun, dan Syaiful, 17 tahun. Alasannya, Komnas belum mem¬peroleh akses untuk mencermati hasil otopsi dan analisis proyektil yang menembus tubuh dua korban tewas itu. “Kami menunggu karena pemeriksaan forensik otoritas Polri.” Wakil ketua Komnas lainnya, Nur Kholis, menambahkan, tindakan polisi memungut proyektil sangat mencurigakan. Dengan adanya cara itu, kata dia, bisa dianggap bahwa tindakan penembakan direncanakan. “Ini patut dicurigai ada apa-apanya.” Kom¬nas, kata dia, juga mengumpulkan cerita dari beberapa saksi yang menyebutkan ada yang mencongkel peluru yang bersarang di tubuh korban sebelum mayat korban dilarikan ke rumah sakit. Informasi ini masih akan didalami.Pada temuan awal Komnas dise¬butkan, ada pelanggaran hak asasi dalam pembubaran massa di Pelabuhan Sape. Temuan Komnas lainnya adalah korban tewas tiga orang, bukan dua orang seperti dilansir polisi. Satu korban tersebut bernama Syarifudin, 46 tahun. Sedangkan korban luka tembak 30 orang. “Itu belum termasuk korban luka tembak yang kini ditahan.”
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal H.M. Taufik menyatakan segera membahas te¬muan Komnas HAM tersebut. “Temuan Komnas HAM perlu ada sinkronisasi dengan temuan internal kami,” kata Taufik. Sejauh ini, kata dia, penyidik telah menetap¬kan lima anggota kepolisian sebagai ter¬sangka. Mereka akan dihadapkan pada sidang pelanggaran disiplin dan tidak tertutup kemungkinan mereka akan dilimpahkan ke pengadilan umum.

DPD Desak Pemerintah Dukungan Temuan Komnas HAM
Pemerintah diminta mendukung hasil pemantauan dan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang peristiwa kekerasan di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal itu dikatakan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di Jakarta, Selasa (3/1).
Menurut Akil, sebagai institusi negara, Komnas HAM diberi kewenangan dan tugas untuk melindungi, memajukan, menegakan, dan memenuhi HAM sesuai dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Namun pada kenya¬taannya, cukup sering terjadi temuan-te¬muan awal Komnas HAM terkait suatu peristiwa kekerasan diabaikan pemerintah. “Masak temuan Komnas HAM dianggap angin lalu seperti temuan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) saja. Padahal mereka kan institusi negara. Temuan Komnas HAM seharusnya didukung pemerintah,” tegas¬nya. Konflik agraria yang terjadi belakangan menunjukkan ada yang salah dengan peraturan investasi di daerah.
Akil mengatakan, perlu ada perubahan aturan mengenai investasi agar tidak timbul konflik agraria lagi di masa mendatang. “Ada yang salah dari kebijakan pemerintah dalam hal investasi. Pemerintah mengang¬gap investasi bisa menyelesaikan segala masalah. Ini harus ada yang diubah,” ucap¬nya. Menurut Akil, semua yang berkaitan dengan sumber daya alam (SDA) selalu berpotensi menimbulkan konflik besar, terutama rakyat dengan pemerintah pusat. “Konflik dalam cara yang lebih halus, yakni antara pemerintah daerah dengan pemerin¬tah pusat. Itu juga konflik,” imbuhnya.
Investasi sendiri dilihat sebagai hal yang sangat menguntungkan bagi rakyat. Namun, pemerintah perlu memikirkan aturan agar bagaimana perusahaan yang menanamkan investasi di suatu daerah bisa dan selalu ber¬ke¬adilan bagi masyarakat sekitarnya. Akil menjelaskan, dirinya tidak menolak inves¬tasi. Namun, dipikirkan bagaimana mendu¬kung investasi yang selalu berkeadilan. “Jangan sampai ketika timbul konflik, polisi yang yang terus-menerus jadi pemadam ke¬ba¬karan. Ini kan sulit juga,” tukasnya. “Kalau polisi jadi pemadam kebakaran dalam menegakkan hukum, seharusnya equality. Tapi, kalau polisi jadi pemadam kebarakan dalam menegakkan wibawa pemerintah, maka timbul tindakan represif,” pungkas Akil.(seruu.com/tmpc/mtrtv.co*)
×
Berita Terbaru Update