-->

Notification

×

Iklan

Ferry Tuding Aksi Tambang Kental Politik

Tuesday, January 17, 2012 | Tuesday, January 17, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-17T00:53:44Z
Bima, Garda Asakota.-
Kuatnya gem¬puran masyarakat Lambu Kabupaten Bima yang secara tegas menolak ha¬dirnya pertam¬ban¬gan emas di wilayah mereka, rupanya ma¬ sih diragukan oleh Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, sebagai gerakan yang lahir atas dorongan hati nurani masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari setiap pernyataan yang dilontarkannya pada bebeberapa kesempatan. Setelah mengung¬kap-kannya di hadapan rombongan Gubernur NTB Jumat 6 Januari lalu, Bupati Ferry kembali mencurigai kentalnya nuansa politik dibalik insiden penolakan pertambangan di Kecamatan Lambu. Saat menghadiri acara penyerahan
SK PNS kepada 511 orang CPNSD formasi tahun 2009 di gedung Paruga Nae Woha, Rabu (11/1), justru pria yang juga Jenateke Kesultanan Bima ini mengkalkulasikan prosentase antara gerakan murni dan nuansa politis dibalik aksi penolakan tambang yang telah merenggut tiga warganya itu. “Muatan aksi penolakan pertambangan hanya 10 persen saja, selebihnya 90 persen paling banyak akibat efek Pilkada. Orang-orang yang tidak puas, tapi jalan dan pintu masuk¬nya tambang. Kita tahulah siapa-siapa yang bermain di dalamnya,” ungkapnya meyakin¬kan tanpa menyebut secara jelas siapa saja pihak yang dimaksudkannya itu.
Bahkan di hadapan ratusan PNS baru itu, Bupati secara lugas mengungkap kebe¬ra¬daan Korlap Aksi Anti Pertambangan, Hasanuddin, sebagai seorang residivis yang masuk DPO Polda NTB. “Dulu, dia itu pegawainya H. Najib waktu mengelola Sarang Burung Walet (SBW), (maksudnya, Drs. HM. Najib HM. Ali, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima sekarang, yang juga calon Bupati Bima dalam ajang Pilkada 2010, red). Dia (Hasanuddin) seorang residivis, ke Timur di Kabupaten Lembata melakukan pencurian hingga menjadi DPO Polda NTB,” akunya.
Pada kesempatan tersebut, juga dirinya sempat menjelaskan kronologis keluarnya ijin pertambangan kepada PT. SMN.
Diakuinya ijin tambang emas dikeluar¬kannya tahun 2008 silam awalnya dalam bentuk KP (Kuasa Pertambangan) sesuai Undang-undang lama. “Tingkatannya baru tahapan eksplorasi yakni mencakup penyelidikan umum, pengambilan sample, analisa, dan tidak ada satupun lingkungan yang dirusak. Jadi tidak ada pencemaran dan tidak menggunakan alat berat, karena tahapannya baru eksplorasi,” jelasnya.
Dalam perkembangannya, kata dia, SK dalam bentuk KP itu, di tahun 2009 menga¬lami penyesuaian menyusul lahirnya UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba. “Oleh pemerintah Pusat diperintahkannlah kita di daerah untuk menyesuaikan KP menjadi IUP, sehingga lahirlah SK Nomor 357 dengan nomor surat 188 yang diribut¬kan itu. Jadi bukan SK baru, tapi SK penye¬suaian karena ada perubahan UU,” tegasnya.
Menyikapi desakan masyarakat Lambu yang menghendaki SK yang lazim disebut SK 188 itu, Bupati mengaku, pihaknya sudah mempelajari keberadaan UU No 4 tentang Minerba, dan tidak ada celah bagi¬nya untuk memenuhi tuntutan masyarakat Lambu untuk mencabutnya. “Karena saya sudah pelajari UU Minerba, tidak ada celah cabut SK karena perusahaan tidak pernah bermasalah seperti melakukan tindak pida¬na, melanggar kewajibannya, dan dinyata¬kan pailit. Hanya yang bisa dilakukan menghentikan sementara apabila kondisi darurat seperti gempa bumi, kebakaran, dan kalau terjadi kerusuhan sosial. Nah, dasar kerusuhan sosial itu menjadi dasar bagi saya sebagai kepala daerah untuk menghentikan sementara. Saya ambil langkah diskresi demi kepentingan publik,” akunya.
Sementara itu, dalam aksi yang digelar perwakilan organisasi mahasiswa seperti LMND, SMI, IMI, HMI MPO, KAR, IMAWI, dan KMLB, di depan kantor Bupati Bima, Jumat (13/1), mereka secara tegas membantah adanya politisasi dibalik aksi penolakan pertambangan oleh masyarakat maupun elemen pergerakan mahasiswa. Para mahasiswa menegaskan bahwa insiden yang terjadi di Lambu bukan karena propaganda politik oknum tapi murni karena dipicu SK 188 yang dikeluarkan oleh Ferry Zulkarnain. “Pengaitan propaganda politik dengan SK 188 sengaja dimainkan oleh Ferry dalam rangka memecahkan kekuatan masyarakat dalam melawan kebijakan pertambangan hari ini,” tegas perwakilan massa aksi, Khairuddin.
Pernyataan Ferry yang menuding adanya oknum politik dibalik gerakan pertam¬bangan dinilainya bukti dari kediktatoran Ferry. Padahal yang sebenarnya reaksi dan keresahan masyarakat murni dipicu SK 188 yang dikeluarkan oleh Bupati Ferry. “Sekali lagi kami tegaskan bahwa insiden di Sape-Lambu bukan karena propaganda politik, tapi karena dipicu SK 188. Makanya SK 188 harus segera dicabut, dan ini harga mati,” tandasnya.
Penegasan Khairuddin ini juga senada dengan pernyataan mantan Korlap Aksi FRAT yang menduduki pelabuhan Sape akhir Desember 2011 lalu, Hasanudin. Kepada Garda Asakota, pria yang terkena luka tembak pada bagian paha kanannya ini, menegaskan bahwa gerakan masyarakat Lambu murni gerakan masyarakat. “Yang jelas, sebelum SK 188 dicabut, maka aksi demo ini akan tetap dilakukan, karena apa yang kami perjuangkan adalah benar,” tegasnya di RSUD Bima akhir Desember lalu. Diakuinya, tanpa tambang masyarakat Lambu bisa hidup sejahtera, meskipun kenyataannya sejak dulu kala nenek moyang mereka bermata pencaharian petani. “Dan hasilnya bisa kita lihat sekarang, putra dan putri kelahiran tanah Sape-Lambu, sudah menjadi orang, bahkan banyak yang menjadi anggota Kepolisan. Berkat bercocok tanam pula, orang tua dan kerabat kami bisa menu¬naikan ibadah haji,” ucap warga Lambu ini, seraya berpesan kepada komponen masyara-kat Lambu, Sape, dan Langgudu, agar sebelum SK 188 dicabut oleh Bupati Bima, tetap memperjuangkannya sampai SK itu dicabut. (GA. 212/234*)
×
Berita Terbaru Update