-->

Notification

×

Iklan

Kejati NTB Teliti Berkas Korupsi Dana DAK 2007 Kota Bima

Monday, November 14, 2011 | Monday, November 14, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-11-14T03:14:41Z
Mataram, Garda Asakota.-
Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB saat sekarang ini telah menerima dan tengah melakukan penelitian terhadap berkas perkara dugaan korupsi dana DAK Kota Bima Tahun Anggaran (TA) 2007 yang melibatkan tersangka Drs. H. Syahruman.

“Berkas pemeriksaannya telah kami terima pada Senin lalu dan saat sekarang tengah diteliti dan dipelajari oleh jaksa peneliti,” jelas Humas dan Penkum Kejati NTB, Sugiyanta, SH., kepada Garda Asakota diruang Humas dan Penkum Kejati NTB, Kamis (10/11).
Dari penelitian berkas yang dilakukan oleh pihak Jaksa Peneliti Kejati NTB, kata Sugiyanta, sesungguhnya ada tersangka lain yang dimunculkan dalam kasus ini sebab kalau dilihat dari kronologis kejadiannya, dana DAK 2007 untuk bidang pendidikan pada tahun 2007 bersumber dari dua angga¬ran yakni dari anggaran APBN sebesar Rp9, sekian Milyar dari hasil penyelidikan sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.
“Kemudian yang kedua adalah anggaran pendamping sebesar Rp1, sekian milyar terindikasi ada dugaan penyimpangan yakni yang seharusnya ditransfer langsung kepada masing-masing rekening Kepala Sekolah dalam ketentuannya itu tidak dilakukan. Akan tetapi dicairkan oleh tersangka itu (H. Syahruman, red.) yang saat itu bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggara (KPA) di Dikpora Kota Bima dan dititipkan oleh tersangka kepada Bendahara Umum Daerah (BUD) atas nama Y. Titi Handoyo, dikelola oleh mereka dan ada indikasi kerjasama dengan Assisten II Setda Kota Bima atas nama, Drs. H. Sulaeman Hamzah.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi pada saat itu, dikatakan bahwa Sulaeman Hamzah selaku assisten II punya power atau kewenangan untuk memerintahkan baik itu tersangka atau BUD itu untuk mencairkan dan menitipkan serta dikelola oleh Benda¬hara. Tapi kemudian, anggaran itu kemudian tidak tersalurkan pada para kepala sekolah yang dialokasikan anggaran tersebut.
Ada yang tersalur, tapi jumlahnya sedi¬kit. Akhirnya ditemukan kerugian berda¬sarkan perhitungan BPKP yakni sebesar Rp766 juta yang diduga disalahgunakan,” jelas Sugiyanta.
Menurut Humas dan Penkum Kejati, meski tersangka mengaku berdasarkan Juklak dan Juknis pengelolaan dana DAK 2007, anggaran tersebut harus ditransfer ke rekening Kepala Sekolah penerima dana DAK. Namun, oleh karena adanya perintah Asissten II pada saat itu, maka tersangka pun urung melaksanakan ketentuan yang diperintahkan didalam Juklak dan Juknis¬nya. Hanya saja, pihak penyidik Polda NTB saat sekarang ini belum melakukan peme¬riksaan terhadap Assisten II Setda Kota Bima karena statusnya sebagai anggota DPRD NTB mewajibkan penyidik untuk meminta ijin kepada Mendagri guna mengkross-check kebenaran pengakuan saksi-saksi ini. Aspek lain yang tengah diteliti oleh pihak Jaksa Peneliti adalah menyangkut seberapa besar dari total kerugian dana sebesar Rp766 juta tersebut diselewengkan dan dinikmati oleh tersangka dan oknum lainnya. “Berapa besar yang dinikmati oleh tersangka dan pihak lainnya itu nanti akan bermuara juga ketika berkasnya ini didalami dan diteliti. Nanti kalau hal ini belum dite¬mukan, maka pasti berkas ini akan dikem¬balikan lagi ke pihak penyidik Kepolisian. Begitu pun dengan keberadaan petunjuk misalnya adanya keterkaitan fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang juga harus dilengkapi berdasarkan kronologis kejadian yang saya utarakan tadi,” paparnya.
Adanya pengakuan tersangka dan saksi BUD berkaitan dengan munculnya instruksi atau perintah dari Assiten II Pemkot Bima saat itu yang memerintahkan untuk mencairkan dan menitipkan dana DAK 2007 tersebut ke BUD serta mengelolanya akan menjadi tidak lengkap ketika kesaksian mantan Assisten II Setda Kota Bima belum diambil. Menyikapi akan kurang lengkapnya berkas kesaksian ini, pihak Kejati pun meng¬akuinya. Menurutnya, secara normative anggota Dewan itu kalau diperiksa yang berkaitan dengan sebuah tindak pidana ha¬rus menggunakan ijin. Tetapi sesuai dengan Susduk Dewan, diperiksa itu kalau perbua¬tannya itu mengarah pada tindak pidana dalam artian statusnya sebagai tersangka.
“Akan tetapi kalau sebagai saksi sesungguhnya tidak ada kewajiban untuk mendapatkan ijin. Hanya karena Negara ini sangat berhati-hati terhadap pelanggaran HAM dan keabsahan berkas, akhirnya sela¬ma ini kalau lembaga hukum ingin memerik¬sa anggota Dewan atau pejabat politis lainnya sebagai saksi pun harus mengajukan ijin. Tapi sesungguhnya ijin itu hanya diper¬lukan ketika dia berstatus sebagai terdakwa atau sebagai tersangka. Nah nanti perkem¬bangannya kita lihat, penyidiknya bagai¬mana dalam hal ini,” kata Sugiyanta.
Nah dalam hal ini, pengakuan tersangka dan kesaksian BUD bahwa ada perintah dari mantan Assisten II saat itu, mengindikasikan adanya sesuatu yang sangat urgen yang berkaitan dengan munculnya perbuatan pidana ini. “Ada indikasi awal yang sangat kuat adanya perbuatan yang melanggara ketentuan. Dan pihak Kejaksaan melihat adanya indikasi itu. Tapi nanti terserah penyidik, namun dalam hal ini akan kami berikan catatan-catatan tertentu yang berkaitan dengan indikasi ini,” cetusnya.
Nah bagaimana kalau dalihnya diguna¬kan bahwa seseorang tidak akan dipidana ketika melaksanakan sebuah perintah jabatan?. Dalam hal ini ditafsirkan apabila kalau seseorang itu tidak mengetahui kalau perintah itu salah. Tapi kalau dia tahu bahwa perintah itu salah, akan tetapi tetap melaksa¬nakannya, maka ia tetap akan dijerat hukum dengan jeratan pasal turut serta, Pasal 55 KUHP. “Dalam ketentuan pasal itu, siapa yang melakukan baik itu yang menyuruh melakukan atau yang disuruh melakukan perintah yang diketahui menyimpang dan tetap dilakukan, maka dia tetap bertang¬gungjawab. Tapi kalau level pejabat dise¬buah institusi birokrasi tidak mengetahui bahwa itu menyimpang itu sesuatu hal yang sangat aneh,” terangnya.
Meski tersangka telah disangkakan merugikan keuangan Negara sebesar Rp766 juta. Namun hingga saat sekarang pihak penyidik Polda NTB belum menganggap bahwa kasus korupsi ini merupakan sebuah extra ordinary crime karena hingga saat seka¬rang pihak Polda NTB belum melaku¬kan penahanan terhadap tersangka. Meski sebelumnya pihak Polda NTB menyatakan tidak akan memberikan toleransi terhadap pelaku korupsi. (GA. 211*).
×
Berita Terbaru Update