-->

Notification

×

Iklan

Kasus Djalil Dinilai Sarat Politis, Dugaan Korupsi Sulit Dibuktikan

Monday, November 14, 2011 | Monday, November 14, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-11-14T03:41:39Z
Dari Sidang Pengadilan Tipikor Mataram NTB
Untuk mendukung tidak adanya unsur kerugian Negara dalam kasus H. Djalil, Al-Imran, juga menunjukan beberapa bukti surat/data kepada tiga orang majelis hakim pengadilan Tipikor Mataram NTB, antara lain hasil pemeriksaan keuangan/hasil audit APBD Kota Bima tahun 2005 dan 2006 yang dilakukan oleh BPK RI Wilayah Denpasar.

Mataram, Garda Asakota.-
Awal mula kasus yang menimpa, Drs. H. Djalil, AR. BAF. MM, terlihat sangat kental dengan permasalahan politik lokal Bima. Proses hukum atas kasus itu telah
dilewati mulai dari KPK, Kejati NTB hingga berakhir di tangan Kejaksaan Negeri Bima dan telah beberapa kali digelar di Kejati NTB tidak ditemukan dugaan kerugian Negara. Bahkan, hingga digelarnya beberapa kali persidangan di Pengadilan Tipikor Mataram, belum bisa diungkap/dibuktikan adanya indikasi kerugian Negara sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebesar Rp2.077.276.552,-., walau kasus tersebut sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram NTB pada tanggal 3 Oktober 2011, kemudian mulai disidangkan secara perdana tanggal 12 Oktober 2011. “Namun hasilnya sejauh ini, belum terungkap adanya kerugian Negara sesuai dakwaan JPU Kejaksaan Negeri Bima.” Demikian antara lain hasil kesaksian Koordinantor Institut Transparansi Kebijakan (ITK) Rayon Bima NTB, Al-Imran, di hadapan majelis hakim Pengadilan tindak pidana korupsi Mataram NTB, pada persidangan hari Senin lalu (31/10).
Kesaksian dari lembaga ITK Rayon Bima NTB di Pengadilan Tipikor saat itu, selaku Lembaga Investigasi dan Pelaporan dugaan Korupsi yang diajukan oleh terdakwa untuk saksi meringankan. Untuk mendukung tidak adanya unsur kerugian Negara dalam kasus H. Djalil, Al-Imran, juga menunjukan beberapa bukti surat/data kepada tiga orang majelis hakim pengadilan Tipikor Mataram NTB, antara lain hasil pemeriksaan keuangan/hasil audit APBD Kota Bima tahun 2005 dan 2006 yang dilakukan oleh BPK RI Wilayah Denpasar. Dalam hasil audit tersebut, kata dia, tidak ada yang menyebutkan keterlibatan H. Djalil selaku Kepala BPKD saat itu tahun 2005 dan 2006, atas temuan BPK RI tahun 2005 dan 2006 dalam audit APBD Kota Bima. Pihaknya membeberkan bahwa dana Rp2.077.276.552,- yang dituduh digunakan oleh terdakwa, justru sudah digunakan oleh Pemerintah Kota Bima dan sudah di SPJ-kan.
“Hal tersebut didukung oleh keterangan saksi-saksi lain yang sudah diungkap depan majelis hakim Pengadilan Tipikor Mataram NTB semua keterangan saksi diberikan tentunya dibawah sumpah didepan majelis hakim Tipikor, termasuk kesaksian ITK Rayon Bima NTB sebagai saksi meringankan atas permintaan terdakwa H. Djalil. Karena Lembaga Institut Transparansi Kebijakan Rayon Bima NTB yang pernah melakukan investigasi selama empat tahun terkait kasus ini, Institut Transparansi Kebijakan intinya memberikan keterangan apa yang diketahui selama mulai proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut di Kejaksaan Negeri Bima,” bebernya.
Pihaknya bahkan menilai adanya ketidakferan oknum penyidik Kejaksaan Negeri Bima pada saat mulai melakukan penyelidikan misalnya, pemblokiran rekening sebelum turunnya ijin dari Gubernur BI, yang dinilainya sangat bertentangan dengan undang-undang Perbankan, pemblokiran sebelum seseorang ditetapkan sebagi tersangka, penyitaan harta benda milik tersangka pada saat penyidikan tanpa mengedepankan azas-azas hukum dan tanpa surat ijin dari Pengadilan Negeri Bima yang ditandatangani oleh ketua Pengadilan Negeri Bima, penyitaan sertifikat deposito dengan saldo Rp350 juta dari Pemkot Bima tanpa disertai berita acara penyitaan.
Hal lain yang diungkap di hadapan majelis hakim Tipikor adalah terkait dengan eksposes kasus H. Djalil yang sudah beberapa kali dilakukan di Kejaksaan Tinggi NTB namun tidak ditemukan kerugian Negara, sehingga penyidik Kejari Bima pernah dilaporkan kepada Komisi Kejak¬saan Republik Indonesia, Kejaksaan Agung RI, Komnas HAM RI dan Kejati NTB oleh terdakwa dan didampingi oleh Al-Imran pada sekitar Juni 2009, dan penyidik Kejak¬saan Negeri Bima sebagai terlapor telah dilakukan porses secara internal lewat Jaksa Pengawasan Kejati NTB, atas perintah Keja¬gung RI yang menindaklanjuti Rekomendasi atas Hasil Pleno Komisi Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam persidangan selanjutnya, sambung Al-Imran, bukti-bukti surat yaitu hasil audit oleh BPK RI untuk APBD tahun 2005 dan 2006 Kota Bima akan dijadikan bukti oleh terdakwa untuk diajukan lewat berkas pembelaan terdakwa sebagai bahan untuk pertimbangan majelis hakim Penga¬dilan Tipikor Mataram NTB, bahwa kasus tersebut tidak ada merugikan Negara justru menguntungkan negara sebesar Rp77.276.¬552,- dari jasa giro deposito di Bank BNI 46 Cabang Bima untuk PAD Pemerintah Kota Bima. Kembali ditegaskannya bahwa kasus tersebut sudah beberapa kali digelar di Kejaksaan Tinggi NTB tidak ditemukan Kerugian Negara, dan banyak bukti-bukti surat yang akan dilampirkan dalam berkas pembelaan terdakwa antara lain, nota-nota Wali Kota Bima saat itu yang meminta dicaikan dana di Bank BNI Cabang Bima sejumlah Rp1.100.000.000,- kepada Kepala BPKD Kota Bima (H. Djalil, red) pada tahun 2005 dan surat pencabutan laporan secara tertulis tertanggal Januari 2011 oleh pelapor, hal ini semua akan menjadi bahan pertimbangan majelis hakim tentunya untuk memutuskan suatu perkara dugaan tindak pidana korupsi sesuai keadilan hukum di Negara Republik Indonesia yang diharapkan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dengan adanya surat pencabutan laporan dugaan korupsi yang dicabut oleh pihak pelapor, walaupun hal tersebut tidak akan bisa menghentikan proses hukum indikasi dugaan tindak pidana korupsi. “Hal ini menujukan bahwa kasus dengan ter¬dak¬wa H. Djalil, terlihat sangat kental dengan nuansa kepetingan politik pra Pemilukada Kota Bima tahun 2008,” cetusnya lagi.
Masalah factual lainnya yang terjadi di pemerintahan Kota Bima mulai tahun 2005 sampai tahun 2007 terkait pembukaan rekening di Bank NTB Cabang Bima, Bank BRI Cabang Bima dan Bank BNI Cabang Bima yang tidak melampirkan SK Wali Kota Bima bukan hanya dilakukan oleh H. Djalil saja namun dilakukan juga oleh pejabat-pejabat Pemkot lain misalnya pembukaan rekening sebanyak 36 rekening Pemkot tanpa SK Wali Kota pada tahun 2006 dan 2007 dengan saldo akhir per 31 Desember 2007 sebesar Rp30.028.086.151,- (tiga puluh miliar dua puluh delapan juta delapan puluh enam ribu seratus lima puluh satu rupiah ). Wali Kota Bima saat itu dapat menjelaskan bahwa sejak pemerintahan Kota Bima terbentuk telah dilakukan pembukaan rekening pada 3 (tiga) Bank yaitu, Bank NTB Cabang Bima, Bank BRI Cabang Bima dan Bank BNI Cabang Bima telah dilengkapi dengan surat Keputusan Wali Kota Bima sehingga pihak Bank menerima pembukaan rekening tersebut dengan dilengkapi specimen tanda tangan pejabat yang berwenang menandatangani cek setiap tahunnya.
Pertanyaan muncul kemudian kenapa terhadap ke-36 rekening tidak dilakukan pemeriksaan oleh pihak Bawaskot Bima atau Penyidik Kejaksaan Negeri Bima? dan kenapa hanya dilakukan pemeriksaan kepada hanya saudara Drs. H. Djalil AR. BAF. MM mantan Kepala BPKD Kota Bima? Fakta juga telah terungkap di Persi¬dangan pengadilan Tipikor Mataram NTB telah terjadi pemeriksaan secara sepihak oleh Tim Pemeriksa yang di Rekomen¬dasikan oleh Bawaskot Bima yang di ketuai oleh H. Idris H. Idrus saat itu yang tanpa klarifikasi dengan H. Djalil, selaku mantan kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Bima.
“Ini semua menunjukan adanya politisasi yang dilakukan oleh para oknum pejabat Pemerintah Kota Bima saat itu semenjak laporan kasus tersebut masuk di Kejaksaan Negeri Bima, begitu juga yang dilakukan oleh Penyidik Kejaksaan Negeri Bima saat itu, yang kami menilai telah melakukan diskriminatif terhadap proses hukum kasus H. Djalil yang mulai penyelidikan pada tahun 2006 yang silam,” duganya.
Seperti dilansir Garda Asakota edisi sebelumnya, JPU telah mendakwa H. Djalil, telah melakukan dugaan pengalihan reke¬ning Pemerintah Kota Bima ke Rekening Pribadi dengan total Keuangan Rp2.000.¬000.000,- (dua miliar rupiah) tertanggal 08 Agustus 2005 dan 29 Agustus 2005 di Bank BNI 46 Cabang Bima dengan 2 nomor reke¬ning deposito masing-masing Rp1.000.-000.000,- (satu miliar) 1 miliar rekening untuk penampung jasa giro di Bank BNI 46 Cabang Bima dengan Jumlah uang Rp 77.276.552,- dengan nomor rekening yaitu, 0073378329, 0074354986 dan 0120¬61¬9525. Perbuatan terdakwa diduga merugi¬kan keuangan Negara sebesar Rp2.077.¬276.-552,- (dua miliar tujuh puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus lima puluh dua rupiah), terdakwa diduga melanggar Pasal : 2, 3 dan 8, Undang-un¬dang nomor : 31 tahun 1999 jo UU: 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam persidangan, JPU mengaju¬kan bukti-bukti surat, keterangan ahli, keterangan saksi dan bukti harta benda milik terdakwa berikut buku rekening dan reke¬ning Koran dari Bank BNI 46 Cabang Bima.
Padahal fakta-fakta lain yang muncul dalam persidangan pengadilan tindak pidana korupsi Mataram NTB yang dipantau ITK sejak hari Senin tanggal 17 Oktober tahun 2011 hingga 4 November 2011 antara lain, ke¬uangan Pemkot Bima sebesar Rp2.077.¬276.552,- (dua miliar tujuh puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus lima puluh dua rupiah) telah digunakan oleh Pemerintah Kota Bima me¬lalui BPKD, pada bulan Januari 2006 den¬gan rincian yaitu Rp550.000.000,- diguna¬kan pembayaran utang pemerintah Kota Bima kepada Peru¬sahaan yang mengadakan barang/jasa beru¬pa, mobil, lampu cantik untuk Kota Bima, dan Rp. 1.100.000.000,- te¬lah digunakan un¬ tuk biaya rutin pemerin¬tah Kota Bima dan Rp350.000.000,- berikut jasa giro Rp77.¬276.¬552,- telah dikembalikan kepada Peme¬rintah Kota Bima tertanggal 13 Desember 2006. Penyerahan sertifikat Deposito Berjang¬ka Rp350.000.000,- dengan nomor seri : AA 804959 dan buku taplus jasa giro Rp77.¬276.¬552,-., yang menyerahkan adalah mantan Kepala BPKD Kota Bima Drs. H. Jalil AR. BAF.MM, yang menerima Sekertaris Daerah Kota Bima Drs. Maryono Nasiman. MM, Saksi 1 Wakil Wali Kota Bima H. Umar H. Abubakar, Saksi 2, Kepala Bawaskot Bima H. Abubakar Ma;alu. SH. Dugaan kerugian negara Rp2.077.¬276.552,- ( dua miliar tujuh puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus lima puluh dua rupiah ) dalam kasus H. Djalil tersebut sudah pernah dilakukan Lidik oleh penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan penyidik Kejaksaan Tinggi NTB, tidak ditemukan adanya indikasi Kerugian Negara.
“Begitupun hasil pengamatan kami selama persidangan, jaksa penuntut umum sampai hari ini belum mampu menunjukan bukti-bukti kerugian Negara sesuai dakwaannya sebesar Rp2.077.276.552,- (dua miliar tujuh puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus lima puluh dua rupiah). Jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa terdakwa telah menguntungkan diri sendiri, orang lain dan atau korporasi,” tegasnya.
Begitupun dengan kerkas dakwaan yang diajukan oleh JPU dinilainya tidak didukung oleh hasil auditor BPK RI dan BPKP RI atau lembaga resmi lainnya, baik itu audit secara rutin tahunan maupun audit khusus, dan JPU tidak mengambil keterangan saksi ahli dari BPK RI maupun BPKP RI ataupun lembaga independen lainnya yang diakui oleh Negara. Hasil LHP Tim pemeriksa atas penggunaan keuangan APBD Kota Bima tahun 2006 sebesar Rp2.007.276.552,- menyangkut keuangan sesuai dakwaan kerugian negara yang dijadikan dasar hukum pihak Kejaksaan Negeri Bima dinilai ITK sangat subyektif, terkait hal ini majelis hakim sudah mengutarakan dalam persi-dangan hal itu dilakukan secara sepihak oleh Tim pemeriksa karena tanpa klarifikasi dengan terdakwa.
“Penyidik Kejaksaan Negeri Bima yang melakukan penyitaan setifkat deposito dengan saldo Rp. 350.¬000.000,- dari Pemkot Bima Cq. Titin Han¬doyo tidak membuat berita acara penyitaan, mengingat uang tersebut bagian dari dak¬waan Jaksa atas dugaan kerugian negara, hal tersebut sangat bertentangan dengan mekanisme hukum yang berlaku,” bebernya.
Ditambahkannya bahwa berdasarkan beberapa bukti yang diajukan oleh JPU dan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan di Pengadilan Tipikor Mataram NTB, ITK menilai dan menganalisis sesuai pasal yang didakwakan yaitu pasal : 2, 3 dan 8, Undang-undang nomor: 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor: 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, belum memenuhi unsur-unsur sesuai keinginan pasal yang diduga dilanggar oleh terdakwa. (GA. 212*)
×
Berita Terbaru Update