Kota Bima, Garda Asakota.-
Sungguh
menyedihkan nasib M. Andi Khaeril Awalin alias Alin. Pasca insiden pemukulan di
MTsN-1 Kota Bima beberapa minggu lalu, kini dia tidak bisa lagi menikmati
pendidikan lantaran sekolah tempat ia pindah, tidak menerimanya sebagai murid. Padahal
menurut Kepala kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bima, Drs. H. Syahrir,
M. Si, Alin masih tergolong anak di bawah umur, belum bisa membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Dinilainya, aksi pemukulan yang dilakukannya
terhadap guru disebabkan rasa takut dan intimidasi dari orang tuanya sendiri.
“Kita harus
berpikir secara jernih, bahwa tugas kita semua sebagai bagian dari pendidik
harus mendidik ke arah yang lebih baik lagi. Cukuplah ia tidak sekolah di MTsN
Padolo lagi, namun jangan sekolah lain membatasi dimana ia akan sekolah,”
ucapnya kepada Garda Asakota.
Bahkan
Kakemenag Kota Bima menegaskan bahwa, pembatasan seorang warga Negara untuk
mendapatkan pendidikan berdampak pada pelanggaran aturan. “Bukankah tugas kita
bersama menciptakan anak yang cerdas dan berahlaktul karimah. Jadi melalui
Garda Asakota, kami meminta maafkanlah dia, karena masih kecil dan jangan
dijadikan korban akibat ulah orang tuanya,” pintanya.
Kalangan
lainnya, anggota Komisi A DPRD Kota Bima, A. Latief HM. Siddik, SH, juga
menegaskan bahwa, tidak ada aturan yang melarang seseorang warga Negara untuk memperoleh
pendidikan. “Apalagi UUD 1945 mengatakan dengan jelas bahwa setiap warga Negara
RI berhak memperoleh pendidikan yang layak. Ini sudah jelas bahwa setiap warga
Negara yang mau memperoleh pendidikan, sekolah harus menerimanya. Apalagi
Alin ini hanya merupakan korban dari kesalahan orang tuanya,” tegas duta Partai
Amanat Nasional (PAN) ini.
Dia
mengibaratkan bahwa, penjahat saja bisa memperoleh pendidikan, apalagi anak
nakal seperti Alin. Oleh karena itu, dirinya meminta kepada pihak sekolah untuk
memberi kesempatan agar Alin bisa dididik dan dibina lagi. “Dan ini juga
merupakan ujian dari sekolah, apakah menerima ia sebagai murid atau tidak,
karena yang saya tahu anak ini dikorbankan oleh orang tuanya,” cetusnya seraya
menaruh harapan kepada para orang tua
murid, agar dapat menyerahkan anak didiknya ke pihak sekolah dan
mempercayakan sekolah untuk mendidiknya. “Begitupun sebaliknya, kepada guru
selaku pendidik agar dapat mendidik murid dengan baik pula,” harapnya.
Harapan
lain juga dilontarkan oleh pihak Akademisi seperti Ketua STIS Al-Itihad Bima,
M. Mutawali, MA. Kepada Garda Asakota, dijelaskannya bahwa, berdasarkan undang-
undang 1945 serta program wajib belajar sembilan tahun yang ditetapkan oleh
pemerintah seharusnya Alin bisa di terima lagi menjadi siswa, karena jika
tidak, sama saja melanggar aturan yang sudah ditetapkan sejak Bangsa Indonesia
Merdeka.
Yang
menjadi sorotan paling penting dalam hal ini adalah orang tua murid. Seharusnya,
kata dia, orang-tua Alin bisa berpikir lebih dewasa dan berpikiran jernih.
“Karena
ia selaku pendidik di rumah, harusnya bisa menanamkan sikap budi pekerti dan
lebih memberikan pemahaman tentang agama serta kewajiban ia sebagai murid.
Dimana ia harus menghormati teman sepermainannya, lebih- lebih ia harus
menghormati guru selaku pengajar di sekolah,” sesalnya.
Menurutnya,
kalau dilihat dari konsep pendidikan Islam, seharusnya ada tiga cara mendidik.
Yang pertama adalah ta’lim, yaitu
pengajaran informasi ilmu, kemudian tarbiyah, mengasuh, mendidik,
mengajarkan dan membimbing, serta ta’dib, yang bertujuan untuk mendidik
akhlak. “Sehingga kesimpulan dari insiden kemarin merupakan kurangnya
pendidikan akhlak terhadap murid, yang seharusnya melalui pendidikan akhlak
tersebut dapat membentuk murid yang beretika dan sopan.
Dan ini pula menjadi
tanggung jawab orang tua dan tenaga pendidik (guru). Tapi, kami berharap bahwa
insiden ini tidak terulang kembali,” aku putra HM. Said Amin, BA, ini. (GA.
334*)