-->

Notification

×

Iklan

Surat Dari Gadis Cilik Bernama Kartini

Thursday, April 21, 2011 | Thursday, April 21, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-04-21T00:17:12Z
Disanalah pandanganku terhenti didedaunan yang gemerlapan menggeletar dalam sinar matahari—dan tiba-tiba terpikir olehku: pernahkah orang bertanya, mengapa surya itu bercahaya? Siapa, apakah yang mengirimkan sinarnya kemari? Duh surya, surya kencanaku, aku akan hidup, aku takkan sia-sia dengan pancaran dimanja dan dihangati oleh terangmu yang indah dan menjiwai!.

Sambil bermenung kupalingkan wajahku ke luar, memandang jauh pada langit biru, seakan padanya aku menunggu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memberontak dalam jiwaku. Kini setelah aku tinjau masa lalu, tampaklah kepadaku di sana teutama tangan Tuhan, dengan amat bersyukur aku akui dan aku peringati bahwa pada ketika saat-saat yang sukar dan sulit Tuhan Yang Maha Esa itu tiada mejauh dariku.
Siapa yang mengutus sahabat kepadaku, pada ketikanya benar, pada ketika aku berjuang dan bergumul dengan sendirian, hampir-hampir akan tenggelam dalam lautan? Siapa yang mengantar orang yang sama sekali asing bagiku, meningalkan tempat tinggalnya yang jauh itu, pergi ke tempat yang sunyi, ke tempat yang terpencil itu, akan membangikitkan kembali rasa berani? Itulah Allah Swt.
Letsy menoleh ke arah gadis mungil itu. Matanya agak berang. Tapi dengan lunak ia berdesah, ”tidak” Sepasang mata yang masih berbinar oleh rasa beragam, merenungi Letsy. ”He, kenapa kau tidak mau menceritakannya kepadaku? Segankah kau?” Dan gadis cilik itu tertunduk sambil berbisik, ”Entalah Letsy, aku belum lagi memikirkan hal itu”. Anak kecil itu bernama Kartini, anak Bupati jepara. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan temannya tentang kemana cita-cita hendak diarahkan. ”Ýa, hendak jadi apa aku kelak?” tanya Kartini dalam hati. Sekolah yang lebih tinggi, lebih besar, dan ..... ah, lebih-lebih lagi segalanya. Letsy terdiam namun mukanya penuh kepastian akan terlaksananya segala apa yang telah dikatakannya tadi.
Warisan kultural yang dipunayinya cukup menggembirakan tenaga juang yang tersimpan dalam dirinya. Ia bukan pelesu dan pemurung. Akan tetapi Kartini adalah perenung yang energik, yang sejak usia 12 tahun itu kepingin melihat kebaikan sebagai bidang kemasyarakatan bangsanya. Kartini menyadari ini dengan ketanpadayaannya yang sementara. Betapa pikiran dan kehendaknya itu tiada ditanyai, dia wajib saja menurut.
Kartini, sampai pada kesimpulan bahwa jalan keluar yang wajib ditempuh oleh perempuan bangsanya hanyalah satu, belajar, mencerdaskan diri. Hanya dengan jalan inilah, maka nasib mereka bisa berubah baik, dan kaum pria tidak meremehkannya. ”Supaya bebas daripada hidup yang sedemikian, hanya satu saja ikhtiar yang ada, yaitu gadis itu merebut bagi dirinya kehidupan bebas”. Perkenalannya dengan pustaka mengurangi rasa sangsinya pada hidup dan kesepian sehari-hari. Pustaka sebagai bacaan yang ditelaahnya, sekedar mengurungkan nafsu berontaknya terhadap dunia yang dianggapnya menganaktirikannya, lama-kelamaan mencanduinya. Buku sebagai tali jiwanya.
Pukulan-pukulan pada kalbunya diterimanya dengan pasrah, dan sedapat mungkin dipupusnya. Kartini ingin memaafkan manusia dengan hati arif, dan ketabahan kewanitaannya dapat menahan emosinya yang meluap. Sebab ia menghadapi ayahnya sendiri yang dipandang dari sudut kekeluargaan dan cinta, adalah orang yang patut dimuliakannya dengan tulus. Kartini lebih banyak lari pada diri sendiri, di samping melalui pustaka, perkenalan dengan peristiwa, manusia dan dunia, plus surat-menyurat kepada orang-orang yang dipercayainya.
Dengarkanlah ungkapan nuraninya, ”Alangkah ajaibnya rasa kasih sayang, dapat jadi surga, dapat pula jadi neraka. Mencintai Bapak, menghormatinya, jadi keperluan hidup kami, itulah kebahagiaan kami yang utama. Bila hilang rasa cinta itu, akan gelaplah hidup kami. Dari tangannyalah kami hendak menerima bahagia itu; bila tidak, bagi kami bukanlah bahagia namanya. Bila tiada rasa cintanya lagi selama-lamanya kami, tiada akan merasa bahagia sepenuhnya; dan bila ada juga merasa mencintainya, maka kemalangan kami pun tidak akan pernah terasa segenapnya”. Cinta yang utuh, sekaligus pengabdian sanggup mencuci kalbu dari rasa benci dan sakit.
Kembali nampak olehku pasir indah yang secara khayali dipancari cahaya perak rembulan kuning pucat dan bermiliar kali terpantul pada permukaan segera yang beriak selalu permainan cahaya perak dan emas abadi. Kembali terdengar olehku bisikan hijau daun kelapa yang menggelepar, seakan melambai luwes, dengan bulu-bulu perak raksasa, mebelai nikmat pada pipi serta berdesis pada telinga ku. Intensitas yang membayang dalam kalimat yang menawan untuk diucapka berulang, atau untuk disebut dengan bisik yang pelan dan menghanyutkan. Kartini adalah duta alam yang menjabat tangan budaya kemanusiaan dengan kehangatan damai yang meneduhkan. Sebab itu ia bersahabat dengan alam, dan menghubungkan gejala-gejala kesenian dengan bau dan retorika alam, warna yang menyulam benang-benang peradaban jiwa yang tajam.
Alangkah banyaknya barang yang menjadikan kita harus bersyukur. Bila aku merasa senang karena mendengar nikmatnya nyayian ungas, atau lagu yang merdu, bacaan Al-Qur’an, yang melupakan aku akan diriku sendiri, maka akupun amat bersyukur, karena Tuhan tiada melahirkan aku tuli!. Hening bening dipersebahkan kepada Allah yang Maha Kuasa yang gaib itu, yang mengadakan dan memerintah Alam ini. Dialah Kartini yang menuliskan penyelaman yang jauh ke dalam lubuk hati dan mencintai rakyat, bukan hanya dengan plantoniknya belaka, melainkan juga dengan penaganan yang riil. Melalui surat-surat dan tulisan-tulisan prosa liriknya ia mengisahkan Manusia dengan kemungkinan dan prospek-prospeknya di masa datang.
Ya, kebangsawanan mewajibkan! Artinya; panggullah tugas hidupmu manakala engkau mampu melaksanakan kebaktian suci; menolong mereka yang lebih lemah kedudukannya darimu. Menolong sekedarnya sebagaimana lantaran ada kelebihan mutu-jiwa pada kita, dibandingkan dengan golongan lain. Yakin bahwa hidup ini pendek, karena itu mesti dimanfaatkan, maka Kartini melihat sebagaimana ditanyakan dalam surat-suratnya. Kebangswanan budi akan membawa peningkatan harkat untuk kemanusiaaN. Tugas ini adalah berat. Demikian Kartini memulai introspeksinya dengan mengutamakan pikiran sehat yang harus dilihat sebagai motor hayat. Baginya hanya ada dua bangsawan yaitu bangsawan pikiran dan bangsawan budi.
Tentu orang segera merasakan lezatnya ucapan itu yang tidak sia-sia untuk dilahirkan, karena memang senyatanya Kartini adalah putri yang tak pernah ”menyepah sirih” dari apapun yang telah ia dengar, baca, rasa dan alami. Semua yang masuk dalam pikirannya, kontak, membangun kesadaran yang tak tergoyahkan. Dengan surat-suratnya, ia menggugah keyakinan orang lain pada apa yang menurut Kartini perlu dipahami. Menulislah Kartini tentang faedah-faedah surat-menyurat yang dilayangkan itu.
Jakarta, 27 Oktober 2008. Dan apabila dari pengaduan ini, saya dinyatakan ber-salah, ” Demi Tuhan yang Jiwaku dalam Kekusaan-Nya” saya siap menerima sangsi sesuai dengan aturan yang ada.
Jakarta, 29 Januari 2009. Apapun keputusan pejabat-pejabat negara yang mulia itulah yang terbaik bagi ku, keluarga ku, agamaku, dunia dan akhirat (hidup dan mati) ku. Saya Iklas menerima, dan bersyukur, bersabar, bertawakal pada -Nya. Jika Keputusan ini dengan dasar hukum dan aturan yang benar-benar jelas dan pasti.
Saya tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya menyerahkan semua urusan ku kepada Allah dan aku tidak mempunyai siasat kecuali dengan aturan Allah.
Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya, indah sekali hidup seorang yang beriman, sesungguhnya semua urusan baginya adalah kebaikan, dan hal itu hanya bagi orang yang beriman, apabila dia mendapat kesenangan dan nikmat, maka dia akan bersyukur dan hal itu baik baginya dan apabila dia mendapat kesusahan, dia akan bersabar, dan hal itu baik baginya.”.
Allah swt berfirman ” Maka dia mengadu kepada Tuhannya: Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku)”. (al-Qamar (54):10).
Dengan alamat yang sama, kartini menulis keinginannya untuk persatuan, dapat berbuat untuk mewujutkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi apa bila kita berkumpul bersatu, memersatukan tenaga, bekerja bersama-sama, tentu usaha ini lebih besar hasilnya. Salah satu cita-cita hendak Aku sebarkan adalah ” hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya”. Baik diminta maupun tidak diminta, dan haruslah juga segan menyakiti mahluk lain (binatang/hewan) jangan berbuat kejam/zalim.
Kembali kepada Kartini, yang menulis artikel-artikel semacam dengan napas Notanya kepada Mr. Abendanon. Sedikit banyak Abendanon mengetahui unsur kesengajaan demikian, sebab apa yang beliau namakan kondisi jiwa wanita idealis ini adalah kondisi kejiwaan yang anti terhadap perkosaan-perkosaan adat. Patut pula dijelaskan di sini bahwa pengaruh-pengaruh pergaulan dan bacaan pada Kartini sama kuatnya dengan torehan pisau pada batang pohon kina.
Bahwa manusia itu menemukan dunia, berarti tidak lain menemukan wujudnya. Bahwa dia menemukan sesama manusia, tak lain berarti dia menemukan diri sendiri. Ada dalam dunia, dan ada bersama dengan orang lain, dengan demikian struktur dasar dari wujud. Manusia Kartini tidaklah muncul begitu saja tampa komplikasi misteri yang menantang hendak menumbangkan dirinya, atau berbareng dengan keadaan itu; hendak menegakkanya dari ekses-ekses fatal hayat ini; reaksi kritis dari pemaksaan suatu doktrin, walau dari manapun asalnya. Dan doktrin-doktrin yang menggumul sepanjang riwayat Kartini begitu luar biasa susul-menyusul dan belat-belitnya, sehingga Kartini sendiri ada dalam kebimbangan untuk ambil alternatif yang satu, di samping alternatif lain yang bertolak pantat/belakang, tampa harus mengalami penderitaan-penderitaan. Sementara sikap oposisi dan mendiferensiasi terhadap dan dari lingkung kebiasaan dan adat yang telah lapuk di buminya. Kartini mengingat-ingat Multatuli; Kita hidup di kelilingi misteri; saya sendiri tidak berdiri berhadap-hadapan, melainkan di tengah-tengahnya. Sebab itu kita ingin menguraikan takbir yang mengabuti kehidupan ini.
Adalah lantaran pengaruh Multatuli itu pulalah Kartini memperlebar sayap padangan kritisnya tentang Agama, ”Agama dimaksudkan sebagai karunia bagi umat manusia untuk mengadakan ikatan antar mahluk Tuhan. Kita semua adalah saudara, karena kita satu punya leluhur yaitu dari Nabi Adam dan Hawa.
Benarkah agama menjadi karunia bagi umat manusia? Agama yang seharusnya melindungi diri kita dari dosa, berapa saja kejahatan yang orang telah lakukan atasmu? (Surat kepada Mr Abidanon).
Jawabannya, ”Benar” Mungkin bukti yang paling besar yang menunjukkan betapa wanita itu sangat tinggi kedudukannya adalah Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pada peristiwa pertemuan Islam paling agung, yaitu dalam peristiwa ”haji Wada” Waktu itu beliau bersabda, ” Baik-baiklah dalam memberikan wasiat kepada wanita”.
Berikut kita simak Firman Allah Swt yang menerangkan salah satu kedudukan wanita di dalam Islam dimana kehormatan dan kemuliaannya dijaga demikian ketat: ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” QS. An-Nur:4).
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ” Barangsiapa berada dalam kebutuhan saudaranya, maka Allah berada dalam kebutuhannya, dan barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari orang muslim dari berbagai kesusahan dunia, maka Allah menghilangkan darinya satu kesusahan dari berbagai kesusahan pada hari kiamat”.
Sejarah mencatat bahwa pada masa Rasulullah Saw lahirlah generasi muslimah pilihan yang diakui kemuliaannya sepanjang masa. Ada Khadijah binti Khumailid, Fatimah Az Zahra, Aisyah binti Abu Bakar, Asma binti Abu Bakar, Ummu Sulaim binti Milhan, Ummu Ruman binti Amir, Ummu Amarah Nasibah binti Ka’b, Ummu Aiman Barakah binti Tsa’labah, Sumayyah binti Khubath, Zainab binti Jashy, Ummu Haram binti Milhan, dan masih banyak lagi. Setiap orang dari mereka memiliki sisi kehidupan yang menonjol yang patut dijadikan pelajaran dan teladan bagi para muslimah. Uniknya tempa meninggalkan tugas utamanya sebagai seorang ibu rumah tangga, para suhabiah ini masih bisa menyempatkan diri untuk berkontribusi di bidang-bidang lain. Jadi, salah besar bila ada yang mengatakan bahwa Islam sangat mengekang kaum perempuannya. Islam tidak pernah melarang para muslimahnya untuk lebih berperan dalam kehidupan ini. Malah sebaliknya, seorang muslimah dituntut untuk senantiasa mengembangkan potensi dirinya dan berperan di berbagai aspek kehidupan.
Ummu Sufyan Ats Tsauri adalah salah seorang tokok wanita muslimah yang dapat dijadikan teladan dalam mengutamakan pentingnya menuntut ilmu. Ia adalah seorang wanita yang rajin ibadah. Suaminya meninggal dunia dan meninggalkan anak untuk diurusnya. Ummu Sufyan menjaga amanah dan menjalankan tugasnya dengan baik. Ketakwaannya terlihat sangat jelas ketika ia berkata kepada anaknya. ”Wahai anakku carilah ilmu, dan aku akan membiayaimu dengan alat pintalku ini”. Ummu Sufyan, siap menangung keletihan dan bersedia memeres tenaga untuk membiayai anaknya belajar, yang saat itu belum ada ilmu lain kecuali menuntut ilmu Al-Qur’an dan Hadis. Ia berkata pada putranya dengan kata-kata yang dicatat oleh sejarah. ”Wahai putraku, jika engkau telah menulis (mempelajari) sepuluh huruf, maka perhatikanlah, apakah engkau melihat pada dirimu perubahan dalam aktivitas, kesabaran, dan kesopanan?. Wahai putraku, jika engkau belum melihat adanya tambahan tersebut maka ketahuilah bahwa ilmumu belum bermanfaat”.
Betapa berharganya Ilmu dan sungguh istimewa orang berilmu. Tentu berbeda bila dibandingkan dengan harta. Seorang hartawan belum tentu menampakkan keistimewaan. Ali bin Abi Thalib r.a pun pernah berkata, ” Ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu akan menjagamu, sedangkan harta sebaliknya, kamu yang harus menjaganya. Jika ilmu itu disebarkan kepada orang lain, maka ilmu itu akan bertambah, sedangkan harta, jika disebarkan maka ia akan berkurang.
Kedudukan tinggi bagi akal dan perintah menuntut ilmu pengetahuan sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ajaran yang telah diamalkan oleh cendekiawan dan ulama Islam. Pada abad VII dan XIII Masehi telah banyak bermunculan tokoh-tokoh Islam yang karyanya sangat monumental bagi perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa-bahsa Eropa lainnya. Peradaban Islam pada masa ini pun mempunyai pengaruh pada timbulnya renaissance dan perkembangan peradaban Eropa selanjutnya.
Perkembangan sejarah Islam tidak sedikit kaum intelektual dan cendekiawan muslim (juga non-muslim) yang menghasilkan karya-karya besar yang masih dapat dinikmati oleh masyarakat sekarang ini. Seperti yang dimotori Nur Cholis Madjid, Munawir Sjadzali, Abdurrahman Wahid dan lainnya. Mereka adalah sebagian dari intelektual Indonesia yang posisinya menjadi inner power atau kekuatan intelektual umat Islam dalam menumbuhkan tradisi pemikiran ”Islam rasional” dan Islamic studies sebagai pusat ungulan di Indonesia. Misi dakwah yang telah dikenal selama ini, maka dakwah virtual yang berbasis teknologi informasi juga mengajarkan hal-hal yang ”baik” (ma’ruf) seperti; ketakwaan, spiritualitas, moralitas, akhlaq, keadilan, kejujuran, kemakmuran, keterbukaan, tangungjawab, kebebasan, kebersamaan, kesetaraan, inklusivitas, simpati, kerja sama, mutual trust, empati, hanif, toleran, keterampilan, dan kesantunan sosial dan dijauhi atau ditinggalkannya hal-hal yang diangap buruk masyarakat (mungkar) seperti; kekufuran, kezaliman, kemiskinan, penindasan, kemunafikan, ketertutupan, fanatisme golongan, eksklusivitas, antipati, intoleran, prejudice (buruk sangka), sosial/etnik kultur/agama, anarkhisme, premanisme kebrutalan, kekerasan (violence) sosial, radikalisme sosial-agama.Hal ini sekaligus menandakan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan mengikuti perkembangan IPTEK dan IPTAK.
Bangsa ini harus secara jujur telah melakukan kesalahan kolektif. Jika keikhlasan dan kejujuran para pemimpin bangsa ini diragukan, maka bangsa ini harus memohon doa dari kaum tertindas yang selalu dirugikan oleh kebijakan penguasa negeri ini, kaum agamawan yang tidak pernah merasa dirinya sebagai tokoh agama, rakyat yang termarginalkan dan dimiskinkan oleh sistem, anak bangsa yang kemungkinan masih ada tidak pernah mengenyam pendidikan karena terabaikan oleh negara. Siapa tahu satu dari jutaan doa kaum non populis ini masih didengar oleh Tuhan, mungkin bukan karena keikhlasannya – tapi lebih disebabkan karena mereka pernah didholimi (dizolimi) negera ini. Semoga.
Aisyah ra, mengatakan, ”Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya Umar bin Khatab ra, adalah orang lebih bertakwa dan lebih takut kepada Allah serta lebih kuat ibadahnya kepada Allah dari pada mereka itu. Akan tetapi, kalau dia berjalan, dia berjalan dengan cepat, apabila dia berbicara, dia akan didengarkan dan apabila dia memukul, pukulannya itu akan tersa sakit..”
Firman Allah Swt, selanjutnya (dalam Hadits Qudsi berbunyi):
”Apabila Aku sudah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, Aku menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, Aku menjadi tangannya yang ia memukul dengannya dan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya”.
Seorang wanita Muslimah harus mengetahui bahwa Al-Qur’an itu berbicara dengannya, sunnah Rasulullah menyerunya, dan sesungguhnya Rasulullah itu diutus kepada seluruh manusia, baik lelaki maupun perempuan.
Allah Swt berfirman, kepada para sahabat dan setiap orang mengikuti jalan mereka sampai hari kiamat kelak, ”Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada benaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid:57: 16).
Tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, antara yang tua dan yang muda dan tidak juga antara yang merah dan yang hitam. Akan tetapi, Allah membagi-baginya kepada siapa saja yang Dia kehendaki karena Allah Maha mengetahui hati-hati yang berhak untuk mendapatkannya.
Jadi, semua sumber kekuatan itu berada dalam penyembahan yang hakiki kepada Allah swt dan semua kemulian ada dalam penyembahan yang sesungguhnya kepada Allah karena Allah adalah sandaran dan tempat bergantung. Dialah yang menjadi tempat memohon dan kekuatan yang tidak terkalahkan dan tersaingi.


Rabu, 6 April 2011
Penulis,

Dr. Mariani
×
Berita Terbaru Update