-->

Notification

×

Iklan

Dugaan Dukun Santet di Belo dan Pengaruhnya terhadap Ketertiban Umum

Friday, April 1, 2011 | Friday, April 01, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-04-01T12:22:54Z
Oleh: AKP I MD Wiranata, SIK

Berdasarkan kajian antropologi, santet termasuk sorcery (tukang tenun) atau withcraft (tukang sihir) dan keduanya termasuk black magic (ilmu hitam) yang sangat ditentang masyarakat. Penafsiran Firt (1960:171) black magic adalah suatu tindakan yang sengaja merusakkan kesejahteraan orang, dengan motif pembalasan dendam dan sakit hati, yang mengakibatkan hancurnya milik orang lain, penderitaan, sakit atau kematian. Berdasarkan kasus di Belo, SU yang istrinya E sakit lemas selama dua bulan,
diperiksa oleh dokter dinyatakan tidak ada penyakit, sedangkan si pasien tetap merasa sakit.
Kemudian meminta bantuan paranormal MS dan diobati secara supranatural, kemudian E berbicara dalam pengaruh gaib “Akan kubunuh istrimu, karena kamu telah berani memanggil suami saya untuk mengobati” SU kemudian membenarkan bahwa pernah memanggil kakeknya untuk mengobati sehingga SU menyimpulkan yang menyantet istrinya adalah neneknya sendiri (Nenek D), SU kemudian mendatangi Nenek D dan meminta untuk menyembuhkan istrinya, namun ditolak oleh Nenek D. Spontanitas SU marah kemudian mengancam, merusak rumah Nenek D bersama sama dengan warga yang lain.
Orang yang dituduh dukun santet tidak memiliki ciri khusus, tetapi memiliki sifat asosial yang mengakibatkan masyarakat mengasingkannya. Di lain pihak sebutan dukun santet dapat dipakai sebagai legitimasi seseorang untuk menyingkirkan orang yang tidak disukai karena dianggap mengancam ketenteraman penduduk atau alasan terselubung lainnya. Sering terjadi seseorang yang dituduh dukun santet dan mengalami siksaan, akibat siksaan yang tak tertahankan terpaksa mengaku sebagai dukun santet. Pada tahun 1951 doktrin Undang Undang santet dihapuskan setelah dijalankan selama tiga abad.
Santet di desa desa sudah mendarah daging. Terhadap beberapa sengketa antar warga yang tidak terselesaikan, santet sering digunakan untuk menindak lawan. Walaupun tidak bisa dibuktikan, santet bisa mendatangkan reaksi sosial berupa tuduhan, gunjungan, pengucilan, pengancaman, penganiayaan, pengerusakan, pengeroyokan bahkan pembunuhan. Walaupun dukun santet terancam hidupnya, namun dalam batas tertentu nampaknya dibiarkan karena memiliki fungsi tertentu seperti: fungsi social control, dimana desa yang terkenal santetnya membuat orang takut melakukan kejahatan. Santet juga sebagai sarana integritas komunitas antara sesama anggota dalam hubungan saling curiga mencurigai, untuk mengurangi konflik tersebut maka yang dikorbankan adalah dukun santet. Dalam hal ini santet mempunyai fungsi menjaga ketahanan kelompok dan menunjang keseimbangan social.
Dari pandangan kriminologis, santet merupakan perilaku menyimpang. Karena ketiadaan barang bukti maka perbuatan santet tidak memenuhi unsur pidana, sehingga dukun santet dikategorikan penjahat yang tak terhukum (unpunished criminals). Lebih dari 15 tahun telah ada upaya para ahli mengusulkan mengkriminalisasikan santet, termasuk mengaktualisasikan ke dalam KUHP. Dalam pasal KUHP yang mengatur praktek ilmu gaib mengalami kemandulan. Contohnya pasal 545 melarang seseorang berfrofesi sebagai tukang ramal atau penafsir mimpi. Nyatanya praktek tukang ramal bertebaran dimana mana secara tertutup maupun terbuka. Pasal 546 melarang penjualan benda gaib, nyatanya benda gaib yang dianggap bertuah justru diperjual belikan dengan harga tinggi. Pasal 547 melarang seseorang mempengaruhi jalannya sidang peradilan dengan menggunakan jimat/mantra, namun sulit untuk membuktikan hubungan jimat yang dibawa atau orang yang berkomat kamit dengan upaya memperingan hukuman, dan bagaimana mungkin melarang orang berdoa saat sidang.
Terhadap perbuatan tersebut memang diatur dalam KUHP namun secara kriminologi tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak mengganggu ketertiban umum. Terhadap dugaan membuat orang sakit dalam kasus di Desa Belo sangat sulit untuk dimasukkan dalam unsur unsur pasal KUHP karena ketiadaan barang bukti (kendala pembuktian), dan akibat dugaan dukun santet tersebut telah menimbulkan potensial kriminogen dan produk sampingan berupa pengancaman dan pengerusakan rumah, dimana yang semula korban santet yang melakukan pengancaman dan pengerusakan rumah yang diduga dukun santet justru menjadi tersangka dalam perkara tersebut. Dapat disimpulkan perlunya perumusan delik baru dalam KUHP tentang santet. Namun yang difokuskan bukan perbuatan santet yang mengacu perumusan yang bersifat perumusan yang bersifat materiil tetapi lebih pada perumusan delik yang menggangu ketertiban umum.
Selain itu salah satu Ulama Safrudin, menyimpulkan, persoalan santet, yang sebenarnya sudah menjadi perbuatan mendarah daging terhadap orang yang mempelajari ilmu hitam. Tapi bagaimanakah dukun santet tersebut untuk dijerat sebagai pelaku agar bisa di tahan oleh polisi, polisi untuk membuktikan tidak bisa, dimasukan dalam pasal-pasal atau KUHP. Siapakah yang harus berperan disini agar dukun santet tersebut bisa dihindari, tidak ada jalan lain, hanya ulama yang bisa mendekati dari hati kehati atau aparat yang bisa melakukan pendekatan terhadap dukun santet, dari hati kehati, ketuk pintu hati beri pemahaman agar jangan melakukan hal tersebut, karena akan merusak seseorang, pebuatan tersebut bukan membahagiakan kita tapi akan mengurangi persahabatan. Diharapkannya kepada pelaku santet agar tidak melakukan hal yang merusak jiwa warga, karena itu bentuk perbuatan yang terpuji dan dilarang oleh hukum lebih-lebih hukum Agama Islam.*

Penulis: Kasat Reskrim Polres Bima
×
Berita Terbaru Update