-->

Notification

×

Iklan

Direktur PT. RNP Diadukan ke Polresta Bima

Monday, February 21, 2011 | Monday, February 21, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-02-26T03:53:14Z
Bima, Garda Asakota.-
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerak Bima NTB, melalui Wakil Ketuanya, Thamrin A. Fattah, mengadu¬ kan Direktur Utama PT. Runde Nusan¬tara Pertambangan (RNP), ke pihak Kepolisian Resort Kota Bima (Polres¬ta) Bima karena ditengarai telah me¬lang¬gar UU Nomor 4 tahun 2009 ten¬tang Pertambangan dan Mineral yakni melakukan usaha pertambangan secara illegal di sejumlah kawasan di dusun Sambori Kecamatan Lambitu Kabupa¬ten Bima seluas lebih kurang 20 hektar.

“Selain itu, kami juga melaporkan adanya dugaan tindak pengerusakan dan penyerobotan hak atas tanah milik masyarakat yang bersertifikat resmi di Desa Sambori yang dilakukan secara bersama-sama oleh oknum bernama Tobi dan kawan-kawannya pada hari Sabtu tanggal 23 oktober 2010 dan langsung menguasai sejumlah kawasan di So Toka, Konca, Oi Nasi, dan Oi Kaou untuk selanjutnya dijadikan se¬bagai usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian tanpa memiliki ijin usaha pertambangan terlebih dahulu,” ungkap Thamrin A. Fattah kepada wartawan, Sabtu (19/2).
PT. RNP itu sendiri, menurut Tham¬rin, saat sekarang telah memproduksi ribuan ton material mangan yang selanjutnya diangkut oleh mereka ke Pelabuhan Rompo Desa Waworada kecamatan Langgudu untuk selanjutnya dilakukan pengapalan dan dijual ke pasaran tambang diluar daerah.
“Anehnya meski LSM Gerak Bima NTB dan pihak Advokat Bima, Sulaiman MT, SH., telah mengadukan bahkan melaporkan adanya dugaan aktivitas tambang illegal oleh pihak PT. RNP ini sejak tanggal 19 Januari lalu. Namun, kami melihat justru aktivitas tambang itu semakin meningkat tanpa adanya tindakan hukum yang diberikan baik oleh pihak Kepolisian maupun oleh pihak pemerintah sendiri dalam hal ini Kepala Daerah Kabupaten Bima.
Bahkan dalam waktu dekat ini, pihak PT. RNP akan melakukan proses pengapalan dan penjualan material mangan tersebut. Inikan sangat meru¬gikan daerah. Mestinya pihak terkait harus segera menindak dan menyita material tersebut untuk dijadikan barang bukti agar barang bukti itu tidak dihilangkan oleh mereka,” tegas mantan anggota DPRD Kabupaten Bima ini.
Sementara itu, Sulaiman MT, SH., kepada wartawan mengungkapkan pihaknya mencium adanya gelagat konspirasi dan dugaan tindakan mafia antara sejumlah pihak tertentu dengam PT. RNP ini. “Bayangkan meski belum mengantongi ijin. Namun sejak bulan 10 tahun 2010 lalu perusahaan ini mela¬kukan aktivitas pengolahan dan peng¬angkutan mangan secara bebas tanpa ada satu pun tindakan penghentian yang diberikan oleh pihak-pihak terkait.
Padahal kami tahu sekali berdasar¬kan hasil investigasi yang dilakukan oleh teman-teman dilapangan bahwa pada saat PT. RNP ini mengajukan permoho¬nan ijin kepada Bupati Bima terkait dengan ijin pengolahan, pemurnian dan pengangkutan kepada pihak pemerin¬tah. Bupati Bima tidak berani memberi¬kan ijin tersebut dengan alasan bahwa PT. RNP ini belum mengantongi ijin eksplorasi dan eksploitasi.
Sementara yang memegang inin eksplorasi dan eksploitasi di kawasan tambang di Kabupaten Bima ini adalah
PT. Indomining Karya Buana.
Nah yang perlu dicermati lagi adalah bahwa wilayah tambang di Desa Sam¬bori ini berada diluar kawasan Tambang yang dikuasai oleh PT. Indomining Karya Buana. Akan tetapi, kenyataan selanjutnya, meski belum mengantongi ijin usaha pertambangan ini, PT. RNP ditengarai tetap saja ngotot melakukan aktivitas tambangnya.
Bahkan saat sekarang mereka sedang berupaya keras untuk melaku¬kan pengapalan. Dan ini semestinya harus segera dihentikan oleh pihak Kepolisian dan Pemerintah,” beber pria yang mengadvokasi masalah tambang di Desa Sambori ini kepada wartawan, Sabtu (20/2).
Disamping itu, lanjut Sulaiman, difasilitasi oleh pihak Kepala Desa Sambori dan Camat Lambitu, digelarlah pertemuan antara warga pemilik lahan dengan pihak PT. RNP yang membica¬rakan tentang pembebasan lahan. “PT. RNP hanya mampu membayar tanah warga itu sebesar Rp10 juta per hektar. Sementara warga meminta agar tanah mereka dibayar Rp200 juta per hektar. Namun permintaan warga ini tidak mampu dipenuhi oleh pihak PT. RNP.
Sehingga dibikin kesepakatan yakni sebelum adanya kesepakatan yang konkrit antara kedua belah pihak. Maka pihak PT. RNP ini belum bisa melakukan aktivitas pertambangan.
Namun selan¬jutnya PT. RNP ini secara represif kemu¬dian melakukan pemaksaan untuk melakukan aktivitas tambang di Desa Sambori dengan menga¬baikan kesepa¬ka¬tan yang di¬bangun bersama warga tersebut dengan alasan bahwa PT. RNP telah mengan¬tongi ijin kerjasama ope-rasional dengan pihak PT. Indomining Karya Buana. Padahal setelah kami telusuri, bahwa PT. Indomining Karya Buana tidak pernah melakukan kerjasama operasio¬nal dengan pihak PT. RNP.
Akan tetapi, PT. Indomining Karya Buana berdasarkan hasil investigasi kami hanya bekerjasama dengan PT. Fujian Rhunde Investmen. Itu pun kerjasamanya sudah diputus oleh pihak Indomining Karya Buana melalui surat Nomor 001/PK/Dirut/IKB/I/2010 tertanggal 14 januari 2010. Dan lokasi tambang Indomining karya Buana tidak melingkupi Desa Sambori. Dan ini bisa kita lihat pada bukti KSO antara PT. indomining karya buana dengan bupati bima pada tanggal 13 Agustus 2009,” beber pria yang juga mantan anggota DPRD Kabupaten Bima ini.
Dari beberapa persoalan tersebut, pihaknya merasa sangat heran dengan sikap Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST., yang tidak mau mengambil langkah tegas menindak pihak PT. RNP yang disinyalir telah secara tegas melakukan aktivitas pertambangan secara illegal.
“Semestinya Bupati Bima harus mengambil langkah tegas terhadap PT. RNP ini baik secara administrative maupun secara hukum. Jangan-jangan ada dugaan konspirasi antara Bupati Bima dengan pihak PT. RNP ini sehingga aktivitas tambang yang dilakukan oleh PT. RNP ini cenderung diabaikan oleh Bupati Bima. Padahal sudah sering kali masyarakat ini melaporkan persoalan ini kepada pihak Pemerintah Desa dan Kecamatan akan tetapi tidak pernah ditanggapi,” kata pria yang dikenal cukup vocal selama menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bima ini.
Disamping melaporkan permasala¬han ini secara pidana sesuai dengan UU Nomor 04 tahun 2009 tentang pertam¬bangan dan mineral, khususnya pasal 158 dengan ancaman 10 tahun kurungan dan denda Rp10 milyar. Pihaknya juga telah menggugat PT. RNP ini secara perdata melalui Pengadilan Negeri pada tanggal 20 januari lalu dengan permin¬taan ganti rugi sebesar Rp5,6 Milyar.
“Ini merupakan total kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan akibat tinda¬kan penguasaan hak milik atas 11 orang warga di Desa Sambori oleh pihak PT. RNP baik menyangkut aspek kepe-milikan hak atas tanah produktifnya maupun atas pepohonan jati milik warga seluas lebih kurang 20 hektar,” tan¬dasnya. Bagaimana tanggapan manaje¬men PT. RNP terhadap berbagai tu¬dingan dan gugatan hukum tersebut.
Kepada wartawan yang menghu¬bunginya via handphone di nomor 081237072***, Baba Seng, perwakilan perusahaan tersebut membantah segala tuduhan yang dialamatkan kepada pihak perusahaannya.
“Ah gak bener itu. Tapi terserah ajalah orang mau menilai apa. Itukan hak mereka untuk menilai. Dan kami juga memiliki hak untuk membela diri.
Jadi wajar-wajar aja muncul hal-hal seperti itu di era demokrasi se¬perti ini,” ujar pria yang juga ayah dari Yohannes ini seraya menutup wawancara. (GA. 211*)
×
Berita Terbaru Update