-->

Notification

×

Iklan

Kontroversi Pejabat Publik Sebagai Ketua Koni, Antara Kekakuan Norma dan Kebutuhan Memajukan Olahraga

Monday, September 23, 2019 | Monday, September 23, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2019-09-23T15:39:50Z
Anggota Fraksi Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (FBPNR) H. Ruslan Turmudzi menjawab wartawan di kantor DPRD NTB, Senin (23/9/2019). 

Mataram, Garda Asakota.-

Penunjukan sejumlah Ketua Koni yang berasal dari Pejabat Publik baik Bupati dan maupun Wakil Walikota serta Pimpinan DPRD di daerah secara aklamasi yang dilakukan oleh para perwakilan Organisasi Cabang Olahraga yang tergabung di dalam organisasi Koni saat sekarang ini menuai kontroversi.

Meski penunjukan tersebut didasari oleh sistem demokratisasi yang dianut oleh organisasi olahraga ini, namun oleh anggota Fraksi Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (F-BPNR) menilainya merupakan suatu sikap yang melawan hukum. Menurut anggota F-BPNR DPRD NTB, H Ruslan Turmuzi, dalam aturan yakni, UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, telah melarang bagi siapapun pejabat publik memegang pimpinan KONI.

Hal ini diperkuat dengan adanya edaran dari Kemendagri sebanyak dua kali. Yakni, SE Nomor 800/2398 tahun 2011, SE nomor 800/148 tanggal 17 Januari 2014 tentang pejabat publik tidak diperkenankan menjabat Ketua KONI.

"Disinilah kita minta aparat penegak hukum (APH) bergerak. Karena, aturan sudah jelas melarang hal itu. Mengingat, ada potensi pelanggaran yang dilakukan pejabat publik manakala memegang jabatan Ketua KONI itu," ujar Anggota Fraksi Bintang Perjuangan Nurani Rakyat (FBPNR) H. Ruslan Turmudzi menjawab wartawan di kantor DPRD NTB, Senin (23/9/2019). 

Politisi PDIP itu mengaku, perlu mengingatkan terkait aturan pelarangan rangkap jabatan pejabat publik memegang jabatan Ketua KONI, lantaran dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan. Apalagi, yang dikelola itu adalah dana APBD yang tidak sedikit jumlahnya.

Menurut Ruslan, saat penyusunan Perda Keolahragaan di NTB pada tahun 2017 lalu, pihaknya telah mewanti-wanti agar pascaPerda itu terbentuk, maka pemda kabupaten/kota harus mengikuti aturan tersebut.

"Tapi aneh, saat kepengurusan KONI di NTB mematuhi aturan itu, namun tidak di kepengurusan KONI kabupaten/kota. Disana, masih banyak bercokol pejabat publik yang rangkap jabatan memegang Ketua KONI. Sehingga, aturan UU, PP, hingga dua kali SE Mendagri plus adanya perda provinsi NTB juga tidak dipatuhi," terang dia.

Ruslan menjelaskan, dari diskusinya dengan sesama anggota Fraksi FBPNR DPRD NTB yang terdiri dari gabungan parpol. Yakni, PDIP, Hanura dan PBB, maka sejumlah wilayah di NTB yang masih Ketua KONI dipegang pejabat publik berada di Kota Mataram dijabat Wakil Walikota H. Mohan Roliskana, Bima dijabat Bupati Hj. Indah Damayanti Putri, Sumbawa dijabat Wakil Ketua DPRD, Loteng dijabat Ketua DPRD setempat kini anggota DPRD NTB (HM. Fuaddi) dan Kota Bima dijabat Wakil Walikota Bima, Feri Sofiyan SH.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Koni Kabupaten Bima, Wahyuddin, S.Ag., mengatakan menilai lahirnya latar belakang kenapa pejabat publik ditunjuk secara aklamasi untuk menjadi Ketua Koni tidak bisa dilihat secara saklek berdasarkan perspektif yuridis semata. Namun juga harus dilihat dari senyatanya kondisi yang terjadi di daerah. 

"Daerah itu butuh figur pemimpin Koni yang mapan, matang dan punya kapasitas dalam memimpin organisasi ini. Figur-figur diluar pejabat publik yang punya kematangan, kemapanan dan kapasitas untuk memimpin Koni di daerah itu sangat terbatas. Apalagi daerah tidak memiliki andalan figur yang mampu secara sukarela memimpin organisasi besar dengan lebih kurang 26 Cabor ini. Dan yang lebih penting lagi bahwa itu lahir dari sebuah produk keputusan Musyawarah Koni yang dilakukan secara aklamasi oleh para peserta musyawarah. Tidak ada satu pun Cabor yang keberatan dan semuanya dilakukan berdasarkan kesadaran dari para utusan Cabor ini dengan satu pertimbangan utama bahwa Cabor ini bisa terurus secara baik," terang pria yang juga merupakan Askab PSSI Kabupaten Bima ini.

Bicara soal pejabat publik yang mengelola dana hibah dari APBD dalam organisasi Koni ini, menurutnya, ketika sudah masuk dalam ranah sebuah organisasi maka pembicaraannya bahwa bukan lagi secara personal seseorang itu dilihat sebagai personal pejabat publik. 

"Akan tetapi kita bicara menyangkut institusinya. Yang melakukan pengelolaan dana hibah itu adalah institusinya, disitu ada Ketua Harian dan pengurus lainnya yang melakukan pengelolaan dana hibah APBD itu. Jadi yang menerima dana bantuan itu adalah Lembaga Koni nya, bukan personal pejabatnya. Ini yang harus diluruskan. Didalam Koni itu ada pengurus yang kemudian melakukan pengelolaan keuangan itu baik itu yang langsung didistribusikan untuk pembinaan Cabor, bantuan untuk Cabor dalam mengikuti event-event Nasional, dan Kejuaraan Daerah. Dan dari dana bantuan itu, tidak ada yang diarahkan untuk menggaji pengurus Koni. Malah kebanyakannya justru uang pribadi pengurus Koni yang terkadang dikeluarkan untuk membiayai event kegiatan salah satu Cabor," tegasnya.

Dikatakannya, meski ada desakan dari pihak luar untuk mendorong agar pejabat publik itu mundur dari Jabatannya sebagai Ketua Koni maka hal itu tidak akan berdampak pada kondisi kepemimpinan di Koni itu sendiri. 

"Karena yang bisa membuat Ketua Koni itu berhenti atau mundur dari jabatannya hanyalah desakan mosi tidak percaya dari para pengurus Cabor. Pihak luar jelas tidak punya hubungannya dengan organisasi Koni sebab yang melakukan penilaian itu adalah Cabor. Dan kalau ada pihak yang menilai karena personalnya Ketua adalah Pejabat Publik sehingga tidak bisa dinilai LPJ nya menurut saya itu adalah persepsi yang keliru karena yang menerima dana hibah APBD itu bukan personal pejabat publiknya akan tetapi Lembaga Koni secara institusi dan secara administrasi yang melakukan pengurusannya adalah Ketua Harian. Kan ada mekanisme pengurusan keuangan yang dilakukan oleh Koni dan secara rutin diaudit oleh inspektorat," tepis Wahyu. 

Pihaknya menilai regulasi yang memuat ketentuan pelarangan pejabat publik untuk memimpin Koni ini tidak sesuai dengan kondisi senyatanya di daerah yang sangat berbeda dengan kondisi seperti di Jawa dan Jakarta. 

"Di NTB ini belum ada sosok pengusaha yang mapan yang bisa secara sukarela membiayai kegiatan Cabor ketika kas Koni itu sedang kosong. Sementara ekspektasi publik terhadap bidang olahraga ini sangatlah besar. Maka sangat perlu kearifan-kearifan bagi kita semua untuk melihat realitas sejatinya dunia olahraga kita. Jangan melihat hal ini dengan cara yang sangat kaku dan normatif saja," pungkasnya. (GA. Im*)
×
Berita Terbaru Update