Kepala Kejati NTB, Dr Mohammad Dofir SH MH., didampingi Wakajati NTB, Raden Febrytrianto SH MH., dan Aspidsus Kejati NTB, Eddy Harahap, saat menggelar Konpers di Ruang Rapat Kajati NTB, Senin 10 Desember 2018.
Mataram, Garda Asakota.-
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi
NTB merilis, selama kurun waktu Januari sampai dengan November 2018, jumlah
kasus korupsi yang ditangani di ruang lingkup Kejati NTB yang masih berada
dalam tahapan penyelidikan adalah berjumlah 26 kasus korupsi.
“Sementara perkara korupsi yang sudah
masuk dalam tahapan penyidikan ada sekitar 16 perkara korupsi,” jelas Kepala
Kejati NTB, Dr Mohammad Dofir SH MH., saat menggelar konferensi pers dengan
sejumlah kalangan awak media di Kantor Kejati NTB, Senin 10 Desember 2018.
Kepala Kejati NTB yang saat itu turut
didampingi oleh Wakajati NTB, Raden Febrytrianto, SH MH., dan sejumlah Assisten
dan jajaran Jaksa Penyidik Kejati NTB lainnya, menjelaskan, dari total 26
perkara korupsi yang berada dalam tahapan penyelidikan tersebut, yang sedang
ditangani oleh Kejati NTB ada sekitar 8 perkara korupsi, satu (1) diantara
perkara korupsi tersebut masuk dalam kategori perkara TPPU, 3 perkara korupsi
ditangani oleh Kejari Mataram, 5 perkara korupsi ditangani oleh Kejari Loteng,
3 perkara korupsi ditangani oleh Kejari Lotim, 4 perkara korupsi ditangani oleh
Kejari Sumbawa, 2 perkara korupsi ditangani oleh Kejari Dompu, dan satu (1)
perkara korupsi ditangani oleh Kejari Bima.
Kajati, Wakajati, Aspidsus Kejati NTB saat berpose dengan sejumlah awak media.
Sementara, 16 perkara korupsi yang
masuk dalam tahapan penyidikan, yang ditangani oleh Kejati NTB ada sekitar 4
perkara korupsi yang terdiri dari 2 perkara Tipikor dan 2 perkara TPPU, Kejari
Mataram menangani 4 perkara korupsi, Kejari Lombok Tengah sekitar 2 perkara
korupsi, Kejari Lombok Timur sekitar 1 perkara korupsi, Kejari Sumbawa sekitar
3 perkara korupsi, Kejari Dompu menangani 1 perkara korupsi dan Kejari Bima
menangani 1 perkara korupsi.
Untuk perkara tindak pidana korupsi
yang sedang berada dalam penuntutan yakni asal kasus yang beradal dari
penyidikan Kejaksaan untuk tingkat Kejati NTB ada sekitar 2 perkara korupsi,
yang berasal dari penyidikan Polri ada sekitar 1 perkara korupsi, sementara di
tingkat Kejari Mataram yang berasal dari penyidikan kejaksaan ada sekitar 2
kasus korupsi dan yang berasal dari penyidikan Polri ada sekitar 3 perkara
korupsi, di tingkat kejari Loteng yang berasal dari penyidikan Kejaksaan ada 3
perkara korupsi sementara dari Polri ada 2 perkara korupsi, Kejari Lombok Timur
tidak ada perkara korupsi yang berada dalam penuntutan dari hasil penyidikan
Kejaksaan sementara perkara korupsi yang berasal dari hasil penyidikan Polri
ada sekitar 2 perkara korupsi, begitu pun untuk Kejari Sumbawa tidak ada
perkara korupsi yang berada dalam penuntutan yang berasal dari penyidikan Kejaksaan
sementara dari hasil penyidikan Polri ada sekitar 4 perkara korupsi. Dari
Kejari Dompu ada 1 perkara korupsi yang sedang berada dalam penuntutan,
sementara perkara korupsi yang berasal dari Polri, nihil. Dari Kejari Bima ada
4 perkara korupsi yang sedang berada dalam penuntutan yang berasal dari
penyidikan Kejaksaan, sementara perkara korupsi yang berasal dari penyidikan
Polri ada 3 perkara korupsi.
Sehingga totalnya ada 12 perkara
korupsi yang sedang berada dalam penuntutan yang berasal dari penyidikan
Kejaksaan, dan 15 perkara korupsi yang sedang berada dalam penuntutan yang
merupakan hasil penyidikan Polri.
Sementara untuk penyelamatan uang
Negara, dari Kejati NTB sekitar Rp924 juta lebih, Kejari Mataram sekitar Rp86
juta lebih, Kejari Loteng sekitar Rp185 juta, Kejari Dompu sekitar Rp50 lebih
juta, Kejari Bima ada sekitar Rp166 juta. Dengan total keseluruhan uang negara
yang berhasil diselamatkan sekitar Rp1,4 Milyar lebih.
Assisten Pidana Khusus (Aspidsus)
Kejati NTB, Eddy Harahap, mengaku penanganan perkara korupsi di tingkat
Kejaksaan, saat sekarang ini, tidak lagi dilihat dari aspek kuantitas atau
banyaknya kasus korupsi.
“Sesuai dengan pesan Jampidsus,
sekarang ini, paradigmanya, penanganan korupsi tidak lagi dilihat dari aspek
kuantitas. Tapi kalau bisa, penanganan perkara itu diupayakan pada perkara yang
big peace atau perkara korupsi yang kerugian Negaranya cukup besar. Bukan
berarti perkara yang kecil tidak kita tangani, tapi diupayakan yang dicari, perkara-perkara
korupsi yang kerugian Negaranya besar. Jadi kita tidak lagi mengukur kinerja
itu dari banyaknya perkara, tapi dari kualitas perkara itu,” timpal Eddy. (GA. 211*).