-->

Notification

×

Iklan

Mantan Tukang Masak dan Penjual Keliling Ini, Raih Doktor Ilmu Komunikasi Politik di Universitas Sahid Jakarta

Sunday, September 23, 2018 | Sunday, September 23, 2018 WIB | 0 Views Last Updated 2018-09-23T04:15:13Z
Foto: Sesaat pemberian ijazah Doktor dengan hasil memuaskan

Jakarta, Garda Asakota.-

Dr. H. Ghazaly Ama La Nora, angkatan tahun 2010, nyaris putus asa menyelesaikan Studi S3 karena terkendala rutinitas sebagai Dosen Komunikasi di Universitas Mercu Buana, Jakarta dan beberapa Perguruan Tinggi lain.  Wartawan senior dalam pidato promosi Doktor mengadvokasi masyarakat, media, pekerja jurnalis, calon presiden dan pemerintah agar tetap berada dalam ranah etika profesionalitas. "Masyarakat harus cerdas mengkosumsi isi berita karena dalam berita ada muatan ideologi dari pekerja media dan industri media. Jangan tergantung satu media yang dianggap paling sesuai perspektif pembaca, tetapi konsumsi juga dari media lain. Bisa juga media sosial agar punya alternatif sumber dan alternatif opini," ujar putra asli Donggo Kabupaten Bima yang juga mantan Tukang Masak dan Penjual Keliling ini di kawasan Ibukota Jakarta ini.

Didampingi isteri Hj. Hadnah, ibunda Hj. Harifah, Ketua Sidang Prof. Dr. Ir. Kholil, M. Kom, Promotor Prof. Dr. Ahmad Sihabuddin, M.Si, Co Promotor Dr. Asrul Mustaqim, M.Si, Penguji Prof. Dr. Sunarto, M.Si, Dr. T. Titi Widianingsih, M.Si, Dr. Jamalullail, MM, M.Si, dan Sekretaris Sidang, Dr. Widiawaty.

Bagi media, kata dia, berita itu bukan semata-semata komoditas bisnis, namun informasi yang obyektif dan jujur. Oreantasi industri media tidak bisa tidak bisa hanya keuntungan finansial mengorbankan kepentingan masyarakat. Karena itu, ayah lima orang anak dan  tujuh cucu meminta pekerja media (jurnalis) selalu berupaya belajar dan secara konsisten berpihak pada profesi yang menjunjung tinggi etika profesional. Ketika merasakan ada tekanan dari ruang redaksi bahkan pemilik, jurnalis harus bisa meniti buih agar tetap profesional melaporkan peristiwa berbentuk tanggungjawab kepada masyarakat.

Konsekuensi akan semakin ditinggalkan pembaca yang diperkotaan beralih ke new media (media baru)  berbasis.com, internet karena sangat diakses infomasinya selalu terbarukan. Sedangkan konskuensi bagi jurnalis akan dianggap sebagai aparatur manajemen dan industri media sekaligus mengabaikan kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis sebagai agen pejuang kebenaran. Lalu, lanjut dosen eksentrik mengingatkan baik calon presiden petahana maupun kandidat baru perlu menempatkan media pada posisinya yang benar. Media adalah mediator penghubung capres dan cawapres dengan warga calon pemilihnya.

Media mesti menyajikan informasi yang sahih berdasarkan fakta bukan informasi sampah bersifat insinyuasi/hisapan jempol belaka. Informasi sahih dan benar akan mencerdaskan bukan justeru membelah warga karena kebanyakan warga terlalu peduli untuk memeriksa kebenaran informasi. Warga justeru bisa menjadi agen penyebar kebenaran bukan ikutan menyebar ujaran sampah yang menimbulkan permusuhan. Lebih lanjut ditekankannya bahwa, jenis informasi sampah akan bertemu sifat dasar industri media yang melakukan komodifikasi. "Inilah yang akan meluluhlantahkan kesatuan masyarakat yang sangat susah dipulihkan jika sudah terlanjur hancur," pungkas Doktor Ghazali, yang kerap disapa Ghazali Ama La Nora ini.


Kisah Inspiratif Peraih Doktor Komunikasi Politik.


Berawal pelarian ke Jakarta, 1970 dua tahun sebelum pertiwa Donggo meletus diam-diam Ghazali kecil, menyelinap masuk ke Toilet Kapal Badung, setelah melewati Asa Kota baru keluar membaur dengan penumpang lain seolah baru usai BAB (buang air besar). Abang Ipar Yahya Usman dan isteri Fatmawati yang tengah istrahat di Dek Kapal terperanjat melihat seraya berkata ,"Astagfirullahul Adzim. Dari mana kamu, na made ra ina wa'imu ro ibu-bapmu nggomi. Nekad banget kamu," tuturnya di hadapan penumpang lain.


Ghazaly kecil hanya tertunduk membiarkan omelan itu berlanjut sambil bergumam dalam hati. "Rasain saya kerjain kamu orang. Waktu  di Donggo saya minta baik-baik untuk ikut malah dimarahi." Tiba di Jakarta, numpang di rumah Paman Hamzah Hasan, berprofesi guru di SMP Negeri 88 Slipi Jakarta Barat. Karena sampai di Jakarta berpasan tahun ajaran baru daftar murid baru maka  Ghazaly pun ikut didaftar oleh paman ke  SMP Muhamadiyah Slipi Blok B Jakarta Barat, yang gurunya mayoritas asal Bima, angkatan pertama dengan tiga orang murid, Kholil, Ghazaly, dan Abdul Manan. Tahun kedua setelah naik kelas tidak mampu bayar sekolah karena pendapatan jadi tukang Parkir liar tidak bisa menutupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah coba mencari pekerjaan lain.

Tapi karena masih kecil orang tidak ada yang mau menerima lamarannya. Pada suatu ketika terasa lapar, diam-diam dia masuk kamar tidur paman mengambil Pulpen Pilot dalam kantung baju paman dan menjual di Tukang Loak Pinggiran Rel Kereta Api Tanah Abang, bersama sahabat Iqraman Deo (alm). Uang hasil jualan digunakan buat makan kami berdua dan membeli Keris kecil. Pulang ke rumah rumah rupanya sudah punya filing tidak orang lain yang berani masuk kamarnya kecuali dirinya. "Benar juga, begitu melihat kami paman memanggil dengan santai. Ayo ke sini sebentar saya mau ngomong," panggil pamannya. "Saya sudah punya firasat bakalan kami dimarahi, sementara pasang strategi meminta supaya masuk rumah terlebih dahulu. Kemudian saya menyusul. Bagaikan gayung bersambut begitu Iqraman, masuk pintu langsung disambut bogem mentah sang paman. Melihat Iqraman dihadiahi bogem tidak berpikir panjang lagi balik kanan terus lari tunggang langgang melarikan diri ke Kota Beos, terus masuk ke Pasar Ikan Jakarta Utara," kenang Doktor Ghazaly. 

Di sini, di Jakarta Utara Ghazaly keluar-masuk warung-toko melamar pekerjaan yang berujung pada diterimanya menjadi Pakolo (tukang masak) di perahu layar orang Bugis dibawah Nahkoda Puang Abdullah, di Pasar Ikan Jakarta Utara. Selama dua tahun berlayar pulang pergi Pasar Ikan Jakarta Utara -Sungai Lumpur Sumsel, berhasil mengumpulkan uang dari gaji bulanannya, turun ke Darat melanjutkan sekolah. "Saat itu paman kaget dan pangling melihat saya sudah berubah baik fisik maupun prilaku. Kami berpelukan campur haru dengan paman seolah menyesali apa yang telah terjadi dua tahun lalu," ucapnya.

Tahun ajaran baru dirinya kembali aktif sekolah di PGA (pendidikan guru agama) Kampung Kecil Kebayoran Lama, siang sekolah SMP Al Falah, Lantai Masjid Al Falah  Jalan Masjid I Pejompongan Jakarta Pusat. Untuk biaya sekolah menjual keliling minyak kayu putih, minyak gosok dan mungut paku bekas sepanjan jalan rel kereta api Pejompongan- Kebayoran lama selama perjalanan menuju sekolah PGA Al Islamiyah Kapung Kecil. Penjualan dilakukan malam hari ke Diskotiik, Night Club dan hotel. "Alhamdulillah laris juga jualan cukup buat makan, biaya bulanan sekolah hingga kuliah di sekolah tinggi punlisistik (STP) Gedung Canisius, Menteng Raya Jakarta Pusat," katanya.

Sepulang jualan tidur di Mushollah Al Mukaram, Gang Tahiyat Slipi Kelurahan Gelora Rt008/Rw01, dekat rumah paman. Sabtu - Ahad, peluang untuk menjajakan kelililng minyak kayu putih dan minyak gosok bisa mengantongi keuntungan lumayan. Hingga sekarang rekam jejak itu ia merentangkan benang merah perjuangan hidup awalnya bersama adik Haidun, Sulaiman dan Ijma mendirikan CV Sari Bumi Sakti, khusus raw material minyak kayu putih dan minyak gosok dikelola secara profesional adik Ijma sudah memiliki karyawan serta cabang penyilingan di Banten dan Bogor Jawa Barat, beromset puluhan juta sebulan. Minyak kayu putih dan minyak gosok produksi  CV Sari Bumi Sakti, berijin POM (pengawasan obat dan makanan), hak paten dari Departemen Kehakiman Republik Indonesia Tangerang Banten.  Dari penjual kayu putih setelah tamat S1 beralih profesi jadi pekerja media (jurnalis), sambil kuliah S2, dan mengajar di SMP/SMA swasta, dosen Univ Azzahra, Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Setelah tamat S2, mengajar di Univ Mercu Buana, Jakbar hingga sekarang. (Jack Garda*)


×
Berita Terbaru Update