-->

Notification

×

Iklan

Ngaha Aina Ngoho, sebagai Nilai Kearifan Lingkungan Bima

Thursday, June 15, 2017 | Thursday, June 15, 2017 WIB | 0 Views Last Updated 2017-06-15T13:20:50Z
Oleh: * Faisal M. Jasin

         TUHAN tidak akan bertanya tentang kebangsaanmu,
Atau hari kelahiranmu,
Ia hanya akan bertanya,
Apa yang telah kau perbuat terhadap tanah yang telah Kuberikan kepadamu. (Pepatah Persia)

          Populasi penduduk yang tidak terkendali, membuka ruang bagi masyarakat untuk saling menguasai ruang kehidupan, membuka alam untuk berladang salah satu cara masyarakat untuk memanfaatkan alam. Perilaku konsumtif sebagai gaya hidup masyarakat kini telah menular kesemua lapisan dan bahkan lupa, bahwa kita akan hidup seribu tahun lagi seperti dalam sajaknya chairil anwar. Dan lupa, bahwa ada norma, nilai dan kearifan yang melekat sejak lahir, Inilah kehidupan yang telah diabaikan,  telah tergerus oleh perubahan jaman.

          Eksploitasi untuk memanfaatkan sumber daya alam (SDA) bukan barang haram untuk dilakukan oleh karena sumberdaya alam memiliki dua peran, sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Dan saat ini SDA menjadi harapan utama dari pemerintah daerah guna menunjang pembangunan. Atas dasar itulah pentingnya nilai dari kearifan lingkungan, dimana pemanfaatanya harus seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan.

         “Ngaha Aina Ngoho” dengan beragam makna dan pengertiannya, penulis memaknainya secara sederhana, kurang lebih seperti ini “ kita bisa makan dengan menggunakan sumberdaya yang ada tetapi tidak untuk dihabiskan” kata-kata tidak untuk dihabis dimaknai dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan kemauan ataupun keserakahan.

          Sebagai sebuah nilai, tentunya bersifat dinamis, lentur, terbuka dan senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan jamanya. Dalam konteks bencana banjir yang terjadi di Bima kita telah lama meninggalkan nilai kerarifan lingkungan itu padahal ia merupakan salah satu asas dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

         Akan tetapi, pesatnya persebaran nilai-nilai baru yang di bawah oleh kegiatan pembangunan, ditandai dengan penerapan ilmu pengetahui dan teknologi maju yang berpedoman pada nilai-nilai industri, telah menyisihkan sumber daya sosial yang arif lingkungan. Dan  Memudarnya sumber daya sosial yang arif lingkungan, sesungguhnya akan merugikan pengelolaan lingkungan. Data BPS menunjukan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bima mengalami peningkatan dari tahun ketahun, pada 2015 dengan nilai 63,48 dan 2016 dengan nilai 67,34 dan hampir setara dengan IPM nasional.

          Peringkat ini menurut hemat penulis, bahwa masyarakat Bima telah mampu membaca perubahan dalam pembangunan, perubahan yang terus berkembang perlu dibentengi, dilindungi oleh nilai-nilai kearifan masyarakat yang mana merupakan kekayaan. Masyarakat Bima memiliki nilai “Ngaha Aina Ngoho” sebagai warisan leluhur didalam mengelola sumber kehidupan. Yang menjadi pertanyaan kita,  kemana nilai tersebut 10 tahun terakhir, ketika kita menyaksikan hilangnya hutan-hutan sebagai penyangga lingkungan di daerah.

           Jika kita merunutnya kebelakang, Konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan atau yang dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro Brasil  yang melahirkan prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan pada tahun 1992 lebih duluan “Ngaha Aina Ngoho” menjadi nilai peradaban ekologis Bima. Inilah yang menjadi keyakinan penulis bahwa Bima akan mampu menjadi daerah yang berdamai dengan bencana lingkungan.

         Dan yang menjadi tugas berat pemerintah daerah adalah bagaimana melembagakannya sehingga tidak cukup sebatas nilai dan  budaya dalam membangun tetapi perlu dibangun contoh- contoh empirik yang terencana dan dapat merubah perilaku masyarakat dari yang mengelola SDA secara konvensional sampai yang dikelola berdasarkan prinsip nilai yang dimiliki oleh masyarakat Bima. Untuk daerah lain di Indonesia, ada satu contoh sukses bagaimana masyarakat hukum adat Amatoa, dengan nilai kearifannya mereka mampu mengelola lingkungan sekitar. Dan Bima penulis tidak berharap seperti itu akan tetapi bagaimana mampu menginternalisasikan nilai kearifan tersebut didalam lingkungan sekitar seperti bercocok tanam dan mengelola hutan.

         Penulis pernah berkesempatan sebagai tim verifikasi Kalpataru dan mendapatkan Jejak langkah menuju kesana  telah dilakukan oleh  Kelompok Pemberdaya dan Pengguna Air Oi Seli beralamat di Desa Maria Utara, Kecamatan Wawo, yang berhasil menyelamatkan 12 sumber mata air di Maria Utara; merehabilitasi 435 hektar lahan kritis dan hutan lindung; merevitalisasi 500 hektar sawah menjadi berpengairan. Kelompok yang dipimpin oleh Bapak H. M. Yasin Darsono ini berhasil mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Republik Indonesia Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012.

          Dalam perspektif yang berbeda, pemerintah pusat menopang pembangunan berkelanjutan dengan program kampung iklim, desa ramah lingkungan, desa energi mandiri dan desa mandiri pangan, ini dapat dilakukan oleh masyarakat Desa dengan menggunakan alokasi anggaran Desa.

           Penguatan kearifan lingkungan merupakan salah satu upaya bagi masyarakat lokal didalam memproteksi kerusakan lingkungan selain dari upaya teknis pemerintah tetapi dengan program dan kegiatan yang lebih inovatif yang disesuaikan dengan perubahan lingkungan daerah. Dan sudah seharusnya meninggalkan program busnesss as usual yang menjadi rutinitas dan biasa-biasa saja, karena laju kerusakan lingkungan saat ini tidak sebanding dengan kemampuan daerah untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan.

           Agar tetap menjadi nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, harus didorong menjadi bagian dari pendidikan masyarakat, baik secara informal maupun non formal. Di daerah lain seperti Jawa Barat, pendidikan lingkungan hidup menjadi bagian yang tersendiri dan ditempatkan kedalam pendidikan bermuatan lokal yang diformalkan. Hasilnya tidak untuk mengendalikan perubahan fungsi lingkungan saat ini tetapi tunggu sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.

         Sementara secara non formal bisa melalui lembaga-lembaga adat daerah, yang tidak hanya didorong untuk memaknai seni dan budaya daerah secara teknis tetapi juga dapat menggali kembali tradisi leluhur nenek moyang dalam mengelola pembangunan untuk  diangkat kembali sebagai penjaga nilai.

          Akan tetapi menggali nilai tradisi saja tidak cukup, mengaktualisasikan dalam kehidupan keseharian, agar nilai-nilai tadi tidak hanya sebatas knowledge (pengetahuan) saja tetapi harus menjadi energi sosial yang mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat, disinilah urgensi dari keberadaan lembaga adat yang dibentuk sampai pada tingkat Desa oleh Pemerintah Daerah. PENULIS:*Ketua Bidang Informasi dan Teknologi DPP Badan Musyawarah Masyarakat Bima, Jakarta dan  Mahasiswa Program Doktor Manajemen Lingkungan
×
Berita Terbaru Update