-->

Notification

×

Iklan

H. Rusydi: Pembebasan Lahan Tak Mudah

Thursday, December 19, 2013 | Thursday, December 19, 2013 WIB | 0 Views Last Updated 2013-12-19T04:51:19Z


Bima, Garda Asakota,-
Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan problema-problema rumit. Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen diantara persoalan lainya.
Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek “landreform” ditandai dengan diundang­kan­nya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Po­kok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.

Selanjutnya UUPA beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya menjadi acuan bagi pengelolaan administrasi pertanahan di Indonesia, termasuk dalam kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan fasilitas-fasilitas umum memerlukan tanah sebagai wadahnya. pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah apabila persediaan tanah masih luas.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia saat ini telah banyak dilekati dengan hak (tanah hak), sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepetingan umum di atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh peme­rin­tah dalam rangka pelaksanaan pem­bangu­nan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan ketentuan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Pembangunan yang tengah giat dila­kukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dila­kukan dengan memerhatikan prinsip-prin­sip kepentingan umum (public interest) se­suai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pembebasan lahan bagi pembangunan untuk kepentingan umum di era otonomi daerah saat ini, selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga menim­bul­kan resistensi warga masyarakat. Ada banyak persoalan yang muncul ketika mela­kukan pengadaan tanah untuk pembangu­nan jalan umum, irigasi, saluran pem­buangan air dan sanitasi, pelabuhan, bandar udara, terminal, tempat pembuangan dan pembuangan sampah, rumah sakit pemerintah daerah, kantor pemerintah dae­rah/desa, prasarana pendidikan dan olah­raga, pasar umum, lapangan parkir, fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya, ujar Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Setda Kab. Bima Drs. H. Rusydi.,M. Si.
Sebagian besar kendala pengadaan lahan adalah pada aspek harga ganti rugi, se­hingga tidak mengherankan mencul peno­lakan dan keberatan dari pemilik lahan, kare­na harga tidak cocok. Hadirnya undang-undang nomor 2 tahun 2012 tentang penga­daan tanah bagi pembangunan untuk kepen­tingan umum dan peraturan presiden nomor 7 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Menjadi landasan dan acuan untuk membebaskan lahan bagi kepen­tingan publik terutama kepastian penyelesaian sengketa. Kata kuncinya adalah musyawarah dan mufakat dengan para pihak melalui kesepa­katan penetapan ganti kerugian. Dan pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
“Pengalaman saya selama menjabat Kepala Bagian Administarsi Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Bima seka­ligus sebagai Panitia Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Publik, bahwa luas tanah yang telah dibebaskan selama 3 (tiga) tahun terakhir adalah 331.250 m2 untuk tanah Pembangunan fasilitas Pemerintahan Ibukota Kabupaten Bima yang berlokasi di Desa Dadibou Kecamatan Woha dan 84.175 m2 untuk perluasan landasan pacu Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima serta 45.221 m2 untuk kepentingan umum lain­nya khusus di tahun 2013.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari adanya hasil kesepakatan dalam musyawa­rah yang menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pemilik lahan, yang dimuat dalam berita acara kesepakatan.
Pemberian ganti kerugian langsung diberikan kepada pihak yang berhak melalui transfer buku tabungan atau rekening, ujar mantan Camat Wera ini”.
Pria Alumni S2 Magister Manajemen Pemerintahan UGM ini mengakui memang ada pihak yang berhak menolak besarnya ganti kerugian sesuai hasil musyawarah, tetapi upaya diplomasi terus dilakukan.
Bagi pemilik lahan tidak mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri maka pihak yang berhak (pemilik lahan) dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti keru­gian tersebut, tetapi bila ada keputusan Pengadilan Negeri yang mempunyai kekua­tan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti rugi terhadap pihak yang mengajukan keberatan dan uang dititipkan ke Penga­dilan. Untuk menjamin pengakuan hak oleh Pemerintah Daerah maka pada saat ganti rugi, pihak penerima ganti kerugian wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan obyek pengadaan tanah kepada Pemerintah Daerah.   Meskipun ada banyak resistensi dari warga masyarakat, antara lain tanah yang disengketakan pemiliknya, tanah yang menjadi obyek perkara di Pengadilan, tanah menjadi jaminan di Bank dan tanah yang tidak diketahui keberadaan pemiliknya sangat membutuhkan waktu dan upaya penyelesaian yang intens. Yang jelas pengadaan tanah tetap mengedepankan prinsip keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, kesejahteraan dan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat serta melibatkan semua pemangku kepentingan. (GA. eLsha*)      
×
Berita Terbaru Update