-->

Notification

×

Iklan

Natsir Nilai Bupati Bima Emosional

Monday, November 18, 2013 | Monday, November 18, 2013 WIB | 0 Views Last Updated 2013-11-18T04:33:06Z


Copot Kabid KPMP
Bima, Garda Asakota.-
Mantan Kabid KPMP Dikpora Kabupaten Bima, M. Ali H. Abdullah, M.Pd, merasa kebe­ratan atas pencopotan dirinnya oleh Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST. Melalui Kuasa Hukum­nya, H. Muhammad Natsir SH, menilai ada kekeliruan dan sikap emosional yang terlihat dari kebijakan yang diambil oleh Bupati Bima, tanpa adanya prosedur yang sewajarnya. “Kok emo­sional betul Ferry itu (Bupati Bima, red). Mutasi itu memang haknya Ferry, tetapi jangan berfikir hak prerogatif seperti di jaman feodal.
Ini jaman hukum, ada bingkai hukum yang mengaturnya seperti Inspektorat, BKD ataupun Baperjakat,” ujarnya kepada Garda Asakota, Kamis (14/11). Semestinya, kata dia, sebelum menjatuhkan sanksi pencopotan kepada stafnya, Bupati Bima dapat menghargai proses normative, tidak serta merta menjatuhkan kebijakan atas dasar emo­sional. “Dangkal pemikirannya. Baru pertama kali ini saya melihat proses mutasi di jaman Ferry Zulkarnain, yang paling parah,” cetusnya. Karena tidak menerima kebijakan mutasi yang dianggapnya itu, mengajukan keberatan atas Surat Keputusan Bupati Bima Nomor 821.2/784.007.2013 tanggal 7 November 2013 tentang Pemberhentian kliennya dari Jabatan (KPMP pada Dikpora Kabupaten Bima dan menjadi staff di Badan Penanaman Modal Daerah.
Kata Natsir, dalam Keputusan Bupati Bima tersebut terdapat kesalahan fatal dalam menempatkan dasar hukum sebagai acuan mutasi. Ia menjelaskan, harusnya Bupati Bima memperhatikan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2003 tetang Wewenang Peng­angkatan, Pemindahan dan Pember­hentian Pegawai Negeri Sipil. “Semestinya, Bupati Bima harus menggunakan konsideran peraturan tersebut, karena klien kami adalah PNS yang sebelumnya adalah pejabat struktural sebagai Kepala Bidang KPMP Dinas Dikpora Kabupaten Bima dan dimutasi sebagai staf biasa. Implikasi hukum dari keputusan Bupati Bima tersebut mengandung cacat hukum dan harus dicabut kembali,” katanya.
Lahirnya keputusan tersebut, katanya   tidak prosedural dan menyalahi Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 tahun 2002 tentang Pelaksanaan PP Nomor 100 tahun 2000 tentang pengangka­tan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan stuktural sebagaimana telah diubah dengan PP  Nomor 13 tahun 2003 tersebut.
“Mestinya, harus ada pemeriksaan atau klarifikasi oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) atau pemeriksaan khusus oleh Inspektorat ter­hadap klien kami atas persoalan pema­sangan spanduk yang dinilai melecehkan Wakil Bupati BGima tersebut,” tandasnya.
Tak cuma itu, dia juga menyinggung statemen Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST saat perayaan tahun baru Hijriah, tanggal 6 November 2013 di halaman kantor Pemkab Bima. “Pengakuan Bupati yang menyinggung bawahan Kepala Dinas Dikpora atas pemasangan spanduk tersebut yang dinilainya sangat melanggar kode etik harus di cek dan dibuktikan dulu kebena­rannya,” ujar Natsir.
“Tidak ada persi­dangan oleh Baperjakat dan klien kami langsung diberhentikan, dalam waktu tiga hari yaitu kejadian tanggal 4 November 2013 dan diberhentikan tanggal 7 November,” jelasnya lagi. Natsir kembali menegaskan bahwa, Keputusan  Bupati adalah keputusan yang emosional dan tidak mencerminkan kepemimpinan yang adil. Berdasarkan masalah yang me­nimpa kliennya itu, dia meminta keputusan Bupati Bima tersebut segera dicabut atau dibatalkan. “Apabila permintaan itu  tidak dipenuhi, maka persoalan ini akan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Mataram,” ujarnya.
Bupati Bima melalui Kabag Humaspro Pemkab Bima, Drs. Aris Gunawan, menegaskan bahwa, Bupati adalah Pembina kepegawaian dan jabatan adalah hak prerogative yang dipercayakan kepada orang tertentu yang kapan saja mau diberikan dan mau ditarik kembali. Di sisi lain, kata dia, Baperjakat adalah wadah yang membantu untuk memberikan pertimbangan bukan yang memutuskan. “Artinya apapun yang dilakukan Baperjakat keputusannya tetap pada pak Bupati,” tegasnya.
Disinggung mutasi memang hak Bupati, tapi semestinya tetap mengacu pada aturan normative?, pihaknya menjelaskan bahwa jabatan itu adalah sebuah kepercayaan, ketika kepercayaan itu sudah tidak ada lagi kenapa tidak boleh ditarik?. “Itukan hak pemberi amanah. Contoh, saya sudah eselon II tapi karena belum ada kepercayaan apa saya harus berontak, padahal sudah banyak junior saya dalam segi kepangkatan sudah eselon II. Bahkan saya ini sudah dua tahun nggak bisa naik pangkat, apa saya harus marah dan PTUN-kan Bupati?. Pokoknya, sampai Z-nya urusan Bupati,” tandas Aris Gunawan. (GA. 212*)
×
Berita Terbaru Update