-->

Notification

×

Iklan

Pemimpin Baru dan Kesepakatan Baru

Tuesday, May 7, 2013 | Tuesday, May 07, 2013 WIB | 0 Views Last Updated 2013-05-07T01:19:47Z
Oleh: Syarif Ahmad 
Peristiwa politik demokrasi sebagai¬mana yang sedang terjadi saat ini, penulis mengibaratkan orang-orang sedang berlari di atas tanah becek. Dima¬na terjadi proses perubahan demi perubahan di atas kerapuhan basis moral ke-bangsaan. Karena pada setiap tingkatan, praktik politik cenderung mengalami pengerdilan makna demokrasi. Demokrasi menjadi sekadar per¬juangan merebut kuasa demi kuasa, tidak men¬jadikan politik sebagai instrumen untuk memer¬juangkan terwujudnya masyarakat yang sejah¬tera dan makmur,
apalagi dapat mewujudkan kebajikan bersama (umat) yang dipimpinnya secara adil. Situasi politik yang demikian secara terbuka tergambarkan dalam lukisan perilaku dan tingkah laku politik para aktor-aktor politik, baik yang terjadi pada tingkatan nasional, wilayah dan daerah. Politik dan etika tampak secara jelas terpisah secara ekstrim, sebagai¬mana terpisahnya antara air dengan minyak. Sehingga apa yang menjadi kebajikan dasar dari satu tatanan kehidupan berbangsa dan berne-gara seperti ketaqwaan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan mengalami kemacetan total. Sementara gaga¬san besar reformasi untuk menghadirkan satu tatanan pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih ‘jauh api dari panggang’, meskipun sudah melewati satu dasawarsa reformasi digelorakan. Korupsi mengalami proses perluasan dan pengayaan metode dalam merampok uang negara, sehingga wajah negeri seperti tecermin dari berbagai warta media yang menampakkan buruk rupa. Kemiskinan keteladanan, kehi-langan keadilan dan perlindungan hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, kejahatan dan premanisme, Narkoba, keru¬suhan di wilayah tambang dan sengketa tanah, konflik antaragama dan keyakinan sertakonflik antarkampung menjadi merek masyarakat sekarang ini. Inilah titik kritis dari persoalan kebangsaan saat ini, sementara para aktor-aktor penyelenggara negarapada berbagai tingkatan seperti eksekutif, legislative, dan judikatif, justru mengalami kerusakan jiwa dan akal sehat, seperti kehilangan rasa kepedulian dan tanggungjawab. Para aktor-aktor penyelenggara negara seperti kepemimpinan eksekutif, legislative, dan yudikatif lebih memedulikan “apa yang dapat diambil dan dikumpulkan dari negara”, bukan “apa yang dapat diberikan pada negara”, sebagaimana dibahasakan oleh Buya Syafi’i Ma’arif “bahwa penyakit para pemimpin di Indonesia hanya mampu memiliki pengeli¬hatan sebatas pekarangan”. Inilah fakta utuh kepemimpinan saat ini, dimana suasana kebatinan tercerabut untuk bersimpatik terhadap kepentingan rakyatnya sendiri. Pandangan di atas dapat dilihat secara faktual sekarang ini, bagaimana para kontenstan atau kandidat gubernur NTB maupun kandidat Wali Kota Bima,secara umum lebih fokus pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan menge¬lola kenyataan, tetapi lebih mengutamakan ke¬nyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial. Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan yang berkepanjangan dan merupakan potret utuh kebangsaan. Sejatinya, pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya. Sekadar untuk direnungi dan mengingatkan kembali kita, bahwa Bung Karno pernah mengatakan, “Mereka seharusnya belajar, bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.” Sehingga untuk menyelesaikan berbagai persoalan di NTB dan Kota Bima, kita perlu kembali ke titik “normal”, dimana norma dan etika dapat diimplementasi dalam kehidupan yang lebih nyata, bukan sekadar basa-basi kampanye politik menjelang pemilihan semata. Pada tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi politik dalam membantu menjelaskan permasalahan sosial di NTB dan Kota Bima, khususnya, yang harus menjadi prioritas terpenting dalam usaha pemulihan “normalitas” atau satu tatanan keteraturan itu adalah peran kepemimpinan dalam mengaktua¬lisasikan kapasitas transformatif dari kekuasaan. Kepemimpinan yang dapat mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan ummat. Meskipun kepemimpinan merupakan fitur permanen yang selalu diperlu¬kan setiap masyarakat dan segala zaman. Berbagai permasalahan yang terjadi sebagaimana yang disebutkan pada awal tulisan ini, jelas memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar sekaligus pemimpin besar (great man). Kondisi seperti sekarang ini, menurut Max Weber, membuka kesempatan munculnya pemimpin karismatik dengan pesan pembeba¬san dan pemulihan tertib politik dan tertib sosial. Namun, perkembangan antiteori yang terjadi di Indonesia dan dalam hal ini di NTB. Berbagai persoalan terus memagut, tapi pemimpin-pemimpin karismatik tidak kunjung muncul atau hanya seketika sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Bima yaitu pada tahun 2005 dengan terpilihnya Fery Zulkarnain secara mutlak atas incumbeunt H. Zainul Arifin, tetapi kemudian mengalami pemudaran pamor ditelan arus zaman ketika pada periode kedua pada tahun 2010, dimana terjadi kekacauan sosial yang berkepanjangan dan terus sambung-menyam¬bung dari tempat yang satu ke tempat yang lain dan dari isu yang satu ke isu yang lain, seperti konflik pertambangan pada kasus Lambu, Tengge-Wera, Parado dan puncaknya adalah pembakaran Kantor Pemerintah Kabupaten Bima pada awal tahun 2012, serta berbagai konflik antarkampung di Kabupaten Bima maupun di Kota Bima. Suasana seperti inilah yang sekarang diratapi sebagai krisis kepemimpinan. Satu di antara sekian banyak penyebab dari berbagai persoalan tersebut adalah persoalan perekrutan kepemimpinan yang dikembangkan pada saat ini, yang lebih mengandalkan sum¬berdaya yang bersifat “alokatif” ketimbang “otoritatif.” Sumberdaya yang bersifat “alokatif”, yaitu mengenai kemampuan kontrol atas fasilitas material, sedangkan yang “otoritatif” adalah kemampuan kontrol atas aktivitas manusia lain berdasarkan ke wibawaan visi dan ideo¬logis. Kepemimpinan yang terjadi selama ini dan bahkan menjadi kecenderungan umum ke-Indonesia-an yang dipikirkan bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasaan, melainkan daya beli dari para pemimpin. Akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual yang bersifat organik. Para pemimpin yang punya bibit kharismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti arus logika yang bersifat “alokatif”, yang begitu cepat menggerus kewibawaan dan karismatiknya. Sehingga setiap peristiwa politik yang bernama pemilihan umum, apakah pemilihan Presiden maupun pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, yang dijadikan sandaran jalan baru tidak kunjung menemukan pemimpin baru. Ironisnya lagi, pemimpin baru tidak juga memer¬juangkan jalan baru, sedangkan jalan buntu menghadang di depan kita. Untuk itu, mengapa kesepakatan (new deal) baru harus diperjuangkan seiring kemunculan harapan baru new dealers. Padahal, peristiwa politik lima tahunan yang bernama Pemilukada inilah sebenarnya kita harus memulai secara bertahap langkah perubahan dari titik awal, bukan sekadar ritual demokrasi. Tetapi, demokrasi dapat melahirkan kesadaran kolektif, bahwa kekuasaan bukanlah tujuan dan akhir dari proses perjalanan pemilihan Kepala Daerah, melainkan alat dan sarana untuk memulai memperjuangkan kebajikan bersama (virtues). Sehingga pada setiap pemimpin pada setiap bidang dan tingkatan harus benar-benar menyadari dan belajar mengemban tugas, menuntun dan memperjuangkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Setiap Pemilihan Umum, bukan sekadar menyelamatkan dan mensejahterakan keluarga, kroni, kelompok dan para pendukunya saja, melainkan semua masyarakat yang dipimpinnya. Dengan cara pandang seperti itu, diharapkan bahwa calon Gubernur NTB dan calon Wali Kota Bima periode 2013-2018, baik yang akan menjadi pemenang, maupun yang belum menang, sejatinya harus berjiwa besar agar bisa lebih besar dari dirinya sendiri. Seperti kata Vaclav Havel, “bahwa sebuah kemustahilan menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar, menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Sehingga manusia harus mampu menemukan dalam dirinya rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab atas sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Penulis adalah dosen STISIP Mbojo Bima, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia
×
Berita Terbaru Update