-->

Notification

×

Iklan

Quo Vadis Penegakkan Hukum Pasca Putusan Money Politics

Thursday, October 18, 2012 | Thursday, October 18, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-10-18T02:16:39Z
“Refleksi Konflik Pilkada Bima dan Standar Ganda Komisi Pemilihan Umum”
Oleh: ARIFUDIN, SH
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung pada hakekatnya dianggap sebagai bentuk perwujudan praktek demokrasi yang paling sempurna, karena dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini diharapkan mampu memunculkan calon-calon pemimpin yang dikenal dan lebih dekat dengan masyarakat. Secara teoritis tentu Pilkada langsung memberikan ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan pejabat publik di daerahnya masing-masing. Namun demikian berdasarkan realitas empirik penyelenggaraan Pilkada secara
langsung yang sudah berjalan sejak bulan Juni tahun 2005 sampai dengan Desember tahun 2008 yang sudah berlangsung di 347 daerah, ada beberapa persoalan mendasar yang perlu dikaji lebih lanjut, mengingat Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dibeberapa daerah masih diwarnai dengan konflik politik, anarkisme massa, serta masih terjadi berbagai bentuk kecurangan. Mulai dari ‘sembako politik’, politik uang (money politics), tidak netralnya penye¬lenggara Pemilu maupun mobilisasi aparat birokrasi untuk memenangkan pasangan calon tertentu acapkali terjadi, semisal dalam kasus Pilkada Kabupaten Bima tahun 2010 yang lalu, sehingga persoalan-persoalan tersebut menjadi kontraproduktif bagi perjuangan nilai-nilai demokrasi yang hendak ditegakkan. Selain itu persoalan yang tidak kalah urgen untuk kita kaji dan direnungkan bersama adalah begitu besarnya beban biaya yang harus dike¬luarkan untuk membiayai perhelatan pesta demokrasi lokal tersebut, baik anggaran yang dikeluarkan dan diambil dari dana APBD Pro¬vinsi/Kabupaten/Kota maupun anggaran yang harus dikeluarkan oleh masing-masing pa¬sangan calon yang akan bertarung dalam Pemi¬li¬han Kepala Daerah, dan anggaran yang telah dikeluarkan begitu besar tersebut tidak seban¬ding dengan harapan untuk lebih mensejahtera¬kan masyarakat di daerah. Oleh karena itu tidak salah kalau ada beberapa tokoh masyarakat yang mengusulkan agar Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan saja seperti aturan semula yaitu cukup dipilih melalui proses di DPRD Provinsi dan atau Kabupaten/Kota. Meskipun wacana penghapusan Pilkada langsung tersebut ada yang merespon dengan sinis dan khawatir, bahkan ada yang berargumentasi hal itu akan berimplikasi pada kemunduran demokrasi yang sudah susah payah dibangun dan diperjuangkan. Mengingat pemilihan kepala daerah di era sebelumnya, dimana ketika Kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan berarti tanpa masalah, bahkan selama kurun waktu transisi (1998-2002) terjadi kurang lebih 6 (enam) kasus pemilihan Gubernur yang bermasalah dan 10 (sepuluh) kasus pemilihan Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia yang menyebabkan terjadinya konflik politik. Secara umum kasus-kasus tersebut meliputi; (i).terjadi perbedaan penafsiran dari segi hukum atas hasil pemilihan, (ii). adanya kelompok pendukung yang tidak menerima hasil pemilihan sehingga menimbulkan protes, (iii). hasil pemilihan dianggap cacat hukum, (iv).adanya issue politik uang (money politics), dan (v). penolakan hasil pemilihan karena calon jadi diduga korupsi. Oleh karena itu sudah barang tentu perlunya kajian dan evaluasi atas pelaksanaan Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) secara langsung menjadi sebuah keniscayaan, apalagi pada tahun 2013 ini juga akan digelar Pilkada dibeberapa daerah. Namun demikian, terlepas dari berbagai kelemahan dari pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, beberapa persoalan yang tidak kalah penting dari semuanya itu yang hendak dijawab dalam artikel ini adalah; (1).Bagaimanakah tindaklanjut dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan Pilkada tersebut, (2).Apakah pelanggaran-pelangaran tersebut dapat mem¬batalkan pasangan calon Kepala Daerah ter¬pilih. Implikasi Pelanggaran Pilkada& Pemba¬talan Pasangan Calon Kepala Daerah Terpilih Secara garis besar pelanggaran-pelangaran dalam setiap tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat diklasi¬fikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran, yaitu; (i).Pelanggaran administratif, dan (ii).Pelang¬garan Pidana. Meskipun dalam ketentuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, maupun dalam Undang-undang No.12 Tahun 2008, tentang Pemerintahan Daerah yang dijadikan dasar pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, adakalanya pelanggaran yang terjadi merupakan pelanggaran administratif saja, tetapi ada juga pelanggaran tersebut selain merupakan pelanggaran administratif, juga merupakan pelanggaran pidana. Pelanggaran administratif adalah pelangga¬ran-pelanggaran terhadap ketentuan, tata cara, dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, yang tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan atau denda. Konsekwensi dari pelanggaran administratif ini adalah gagalnya pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mengikuti sebagian tahapan Pilkada dan atau gagalnya pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mengikuti tahapan pilkada, karena tidak memenuhi syarat seba¬gaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, dan Undang-undang No. 12 Tahun 2008, tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, apabila pelanggaran administratif ini yang berkaitan dengan pelanggaran tata cara kampanye, maka dapat dikenai sanksi oleh KPU daerah yang berupa; (i). Peringatan tertulis, apabila penyelenggara kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan, (ii). Penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau diseluruh daerah pemilihan yang bersangkutan, apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain. Sedangkan pelanggaran Pidana adalah tindakan-tindakan yang oleh Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan atau denda. Ketentuan pidana Pilkada ini dapat dilihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 Undang-undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, dimana pasal-pasal tersebut ancaman pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) tahun serta penjatuhan denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tergantung dari tindakan pelanggaran yang dilakukan. Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih dalam pelak¬sanaan Pilkada secara langsung dimungkinkan secara yuridis berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, dapat dibatalkan sebagai pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih yaitu (1). Pasangan calon Kepala Daerah dan atau tim kampanyenya yang terbukti telah melakukan Money Politics, (2). Pasangan calon Kepala Daerah yang terbukti telah menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Dalam hal ini sumbangan (i).negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing, (ii). penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, (iii). Pemerintah, BUMN, dan BUMD ; dan (3). Terkait dengan sengketa hasil pemilihan Kepala Daerah. Menyoal Standart Ganda KPU: Sekali lagi Pembatalan bukan Pemberhentian Pasca putusan Pengadilan Negeri Klas IB Raba Bima Nomor: 300/Pid-B/2010/PN.RBI tentang Money Politics yang dilakukan oleh terdakwa Suaeb Husen sebagai tim kampanye pasangan nomor urut 1 (satu) Fersy Rakyat dalam Pilkada Kabupaten Bima tahun 2010 yang lalu. Kini masih menyisahkan sejumlah persoalan hukum yang masih tersangkut didalamnya, hal tersebut tentu menarik diikuti apakah polemik ini akan sesuai kehendak hukum atau tidak. Mengingat, Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih hingga kini belum dikenai sanksi administratif dalam bentuk eksekusi pembatalan, sebagai konsek¬wensi yuridis atas putusan pengadilan yang telah in kracht van gewijsde kasus money politics yang dilakukan oleh tim kampanyenya pada Pilkada Tahun 2010 yang lalu. Sementara dalam konteks pelaksanaan eksekusi pembatalan pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bima Terpilih, tentu rujukan¬nya adalah peraturan perundang-undangan terkait sebagaimana yang termuat dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yang diperba¬harui dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 072-073/PUU-II/2004 yang menganulir kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk melakukan eksekusi pembatalan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terbukti melakukan Money Politics diganti kewenangannya oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juncto PP No. 6 Tahun 2005 yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan PP No. 49 Tahun 2008 tentang pemilihan, penge¬sahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juncto Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2010 tentang pedoman tata cara pelak¬sanaan rekapitulasi hasil perolehan suara dalam pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh PPK, KPU Kabupaten/Kota dan KPU Propinsi serta penetapan calon terpilih, pengesahan, pengangkatan dan pelantikan (Pasal 50 dan Pasal 51) ; dan Putusan Penga¬dilan Negeri Klas IB Raba Bima Nomor: 300/Pid B/2010/PN. RBI tentang Money Politics yang dilakukan oleh Sdr. Suaeb Husen sebagai Tim Kampanye pasangan Nomor Urut 1/FERSY RAKYAT sebagaimana yang tercantum dalam SK :01/FR/III/2010 tertanggal 12 Maret 2010 yang merupakan bukti hukum dalam persi¬dangan. Kewenangan atributif yang melekat pada lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima seyogya-nya dapat dijalankan secara kredibel dan bertanggungjawab untuk memenuhi amanah peraturan sebagaimana yang diketengahkan oleh penulis diatas. Apalagi, dalam konteks kasus yang sama oleh lembaga yang sama dan dengan berpe¬doman dasar hukum sama pula, telah menja¬lankan kewenangannya secara sah menurut Undang-undang, sebagaimana yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buton Utara Propinsi Sulawesi Tenggara dengan melakukan pleno pembatalan terhadap pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih yakni pasangan nomor urut 1 (Ridwan Zakariah-Harmin Hari) hasil pemilukada Kabupaten Buton Utara Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010 sebagai konsekwensi inkrach-nya putusan Pengadilan Negeri Raha Nomor: 103/Pid.B/2011/PN/Raha yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor: 66/PID/2011/PT/Sultra tentang perkara pidana politik uang dalam perkara Ahmad Gamsir tim kampanye pasangan nomor urut 1 (Ridwan Zakariah-Harmin Hari). Fakta di Kabupaten Buton Utara tersebut merupakan standart pelaksanaan Undang-undang yang berlaku universal dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keengganan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima dalam melakukan eksekusi Pembatalan terhadap Pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bima Terpilih adalah justeru tidak bersandarkan pada rule of the game yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan yang terkait. Mengingat, secara yuridis normatif Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima tetap memiliki kewenangan yang melekat dan tidak ada aturan lain yang menyatakan sebaliknya. Melaksanakan eksekusi pembatalan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bima Terpilih merupakan domain-nya lembaga KPU/KPUD Kabupaten Bima sebagaimana yang dilakukan oleh KPUD Buton Utara Sulawesi Tenggara berdasarkan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2010 Pasal 50 dan Pasal 51. Hemat penulis merupakan ironi manakala Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima menjadikan Surat KPU Pusat Nomor: 489/KPU/VIII/2010 tertanggal 27 Agustus 2010 sebagai alasan untuk tidak melakukan dan/atau menunda eksekusi pembatalan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bima Terpilih. Sebab surat tersebut hanyalah tanggapan/jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat terhadap surat konsultasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima. Selebihnya surat dimaksud bukanlah berupa surat keputusan, atau peraturan atau produk hukumnya KPU. Terkecuali, lembaga Komisi Pemilihan Umum adalah bagian terpenting dari konspirasi yang berjalan sedemikian rupa dengan membiarkan ketidakpastian hukum berjalan seiring sampai lewat waktu (kada¬luarsa), jika kondisi ini yang terjadi maka sudah jelas menciderai nilai-nilai demokrasi, keadilan sekaligus meng-amini terciptanya konflik politik dan sosial yang sudah tentu mengancam stabilitas daerah dan wilayah. • Penulis: Advokat dan Direktur II LBH Yustisio Bima
×
Berita Terbaru Update