-->

Notification

×

Iklan

Kekerasan di Tengah Kita

Friday, October 12, 2012 | Friday, October 12, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2021-03-13T13:42:19Z
Salam Redaksi
Oleh; Muzakkir NS

Bentrokan antar kampung, bentrokan antar pelajar, bentrokan antar mahasiswa, dan lain-lain bentuk keke-rasan yang melibatkan massa di Negeri ini bukan hal yang tabu. 

Perilaku kekerasan dari hari ke hari semakin mengeras saja di Republik ini, tidak terkecuali di ‘Dana Mbojo’ yang kita cintai. Mengapa akhir-akhir ini tingkat kekerasan dalam masyarakat semakin meningkat?. 

Sulit memang untuk menjawab secara pasti, lunturnya nilai interaksi sosial, mungkin bisa menjadi salah satu jawabannya. Dan bisa jadi, kekerasan mencuat manakala kebijakan Pemerintah atau pemangku jabatan cenderung tidak berpihak pada masyarakat/kebenaran atau bisa jadi akibat lemahnya penegakkan Supremasi Hukum, dan lainnya. 

Kelihatannya, kekerasan social sudah menjadi budaya meski di sisi lain mereka harus memakan korban nyawa dan harta. Hal itu, terlihat dari rangkaian konflik kekerasan di Kabupaten Bima mulai dari ‘Tragedi Sape-Lambu’, Konflik Roi-Roka, pembunuhan warga yang diduga dukun santet di Godo, dan yang lebih memiris hati terjadinya aksi balasan pembakaran massal perkampungan Godo oleh ribuan masyarakat Desa Samili dan Desa Kalampa Kabupaten Bima karena tidak menerima ‘saudara’-nya dibunuh secara sadis?. 

Sebelumnya juga, aksi kekerasan sosial masih membekas di sanubari masyarakat Lambu saat terjadi gerakan bersama menolak SK Pertambangan yang dikeluarkan oleh Bupati Bima, Ferry Zulkarnain. Aksi demonstrasi menolak pertambangan ini berkobar, hingga beberapa kali berakhir ricuh dengan aparat, dan berujung pada pembakaran kantor Bupati Bima. 

Inilah fenomena kekerasan sosial yang berkembang pesat di Kabupaten Bima. Beberapa pihak menilai, selain konflik-konflik sosial itu dipicu oleh ‘gesekan’-‘gesekan’ kecil di tengah masyarakat, juga bisa jadi akibat lemahnya Kepemimpinan di masyarakat kita. 

Di sinilah, peran Pemimpin Kita, baik di lingkungan RT, RW, Desa, Kecamatan, dan bahkan tingkat Kepala Daerah, untuk meningkatkan peran interaksi sosial tanpa memandang Si A golongan kita atau Si B golongan orang lain. 

Sebab ada kecenderungan interaksi sosial kita sebagai mahkluk sosial telah bergeser menjadi manusia kapital, yang setiap hari bekerja hanya untuk mengejar keuntungan, memperkaya diri sendiri, dan golongan. 

Seperti dikutip dari tulisannya Agus Budiarta dalam Kompasiana, bila keadaan seperti di atas, terus dipupuk tentu akan berdampak negatif. Karena disadari atau tidak bumbu kebencian dalam masyarakat perlahan-lahan tumbuh dan lambat laun akan berubah menjadi kekacauan yang luar biasa. 

Menurutnya, akhir-akhir ini nilai dari interaksi sosial lambat laun mulai hilang akibat sikap individualitik dalam masyarakat. Menguatnya sikap individualitik didukung pula oleh cara pergaulan masyarakat yang mulai tersekat karena kepentingan ideologi baik itu politik, sosial budaya, ekonomi serta agama. kecendrungan berkelompok berdasakan preferensi ideologi tersebut, justru berdampak destruktif dalam interaksi masyarakat sosial. 

Selain karena pudarnya nilai interaksi sosial, Suhartono Wiryopranoto, guru besar Ilmu Sejarah UGM, belum lama ini mengatakan bahwa munculnya kekerasan juga dikarenakan bangsa ini sedang mengidap kecekakan budaya (cultural lag) dan ketekoran budaya (cultural shortage) yang berkepanjangan. 

Lag dan shortage diartikan seumpama tali kurang panjang, sehingga tidak bisa digunakan sebagai pengikat bagian-bagian lain sehingga tersimpul sebagai kesatuan untuk menyelesaikan permasalahan. 

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut di atas, membutuhkan komitmen bersama semua elemen. Mulai dari pemerintah, masya¬rakat, tokoh agama, kaum muda, LSM, akademisi, serta elemen lainnya, bahu membahu untuk mencegah tindakan kekerasan yang sudah ada agar tidak menjadi ancaman serius kedepannya, serta dapat memberi rasa aman bagi masyarakat di mana pun berada. Lebih khusus peran Pemerintah Daerah, dalam merangkul setiap potensi yang ada, tanpa ada sekat-sekat politik. Tentunya kita berharap kedepannya kekerasan di Dana Mbojo, tidak akan menjadi BUDAYA. Amin....Wallahu A’lam bissawab
×
Berita Terbaru Update