-->

Notification

×

Iklan

Dendam Politik Versus Kearifan Politik

Friday, September 7, 2012 | Friday, September 07, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2021-03-13T14:07:25Z
Salam Redaksi
Oleh: Imam Ahmad*).

Sifat dendam ini pertama kali diperkenalkan oleh Iblis Laknatullah pada saat ia tidak menyukai kebijakan Penciptanya yang menginstruksikan dirinya untuk sujud kepada Adam As. 

Ia yang sesungguhnya merupakan pemimpin para malaikat kemudian harus digeser oleh salah satu makhluk yang hanya terbuat dari ‘tanah’ salah satu unsur penciptaan yang dianggap rendah oleh Iblis dibandingkan dengan unsur Api sebagai elemen penciptaannya (QS. Shaad, 71-85). 

Sifat dendam ini kemudian disebarluaskan oleh Iblis dan kaki tangannya kepada manusia sehingga menjadi salah satu sifat dasar manusia yang sulit untuk dilawan oleh manusia biasa terkecuali yang memang memiliki tingkat keberimanan yang kuat.

Dalam segala segi kehidupan manusia, sifat dendam ini selalu mengemuka dan selalu menjadi panglima dalam setiap kejahatan manusia. Setiap fase perguliran kekuasaan dari setiap rezim serta penataannya selalu saja diselimuti oleh bayang sifat dendam ini. 

Harus diakui, paska gelaran pemilukada langsung di daerah. Intrik-intrik kepenitngan penuh dendam selalu mengemuka. Fakta-faktanya bisa kita lihat pada beberapa kurun waktu terakhir. Misalnya di Kabupaten Bima, mutasi besar-besaran para PNS yang diduga berbeda haluan dengan garis politik kekuasaan hari ini, menjadi sentrum perhatian public. 

Bahkan fenomena yang memiris hati adalah kasus penahanan gaji seorang guru SMP 01 Donggo atas nama Abdullah Zain, SE., yang selama tiga (3) bulan tidak menerima hak yang semestinya ia harus peroleh. 

Nampaknya, Kearifan, kedewasaan, dan kematangan berpikir belum menyatu ke dalam gaya dan pola hidup figur publik kita. Karenanya, ‘dendam’ sering dibawa-bawa ke dalam ranah politik publik. 

Politik ‘balas dendam’ seolah masih menjadi amunisi elite politisi dan biorokrasi kita dalam menjatuhkan lawan. Seolah urusan rakyat menjadi urusan pribadi. Kenapa wajah Kabupaten Bima yang dikenal kuat dengan Kesultanan Islamnya yang mengusung prinsip Manggusu Waru ini masih diwarnai berbagai noda dan citra buruk ? 

Kenapa para politisi kita masih miskin kearifan dan kepekaan terhadap nasib rakyat, dan justru tenggelam dalam naluri purbanya ; cakar-cakaran dan mau menang sendiri? 

Kenapa para pemimpin kita tidak memiliki rasa malu terhadap para leluhurnya yang dikenal arif dalam menyelesaikan setiap permasalah daerahnya? Nilai-nilai kearifan harus ditanamkan dalam setiap denyut nadi masyarakat guna meretas kegamangan social akibat dari perilaku kekuasaan yang cenderung hanya memikirkan dendam politiknya semata guna mencapai kebangkitan dan kemajuan bersama. 

Sebab, realitas kejiwaan masyarakat yang selalu dibayang-bayangi oleh sebuah sifat dendam hanya mengantarkan masyarakat itu sendiri kearah jurang kehancuran yang paling dalam. Lalu apa yang bisa kita banggakan pada generasi kita selanjutnya jika setiap saat kita selalu mempertontonkan sifat-sifat yang tidak terpuji seperti ini?. 

Seperti apa yang dikatakan oleh Hasan Al Banna denga salah satu ungkapannya “Inna haqaiqa al-yaumi hiya ahlamu al-amsi, wa ahlama al-yaumi haqaiqu al-ghadi (Sesungguhnya kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin, dan mimpi hari ini akan menjadi kenyataan esok hari).” (Hasan Al-Banna; Risalah Ila Ayyu Syain Nad u An-Naas.). 

Hasan Al-Banna juga menyatakan bahwa pilar kekuatan utama membangun kembali umat adalah kesabaran (ash-shabru), keteguhan (ats-tsabat), kearifan (al-hikmah), dan ketenangan (al-anat) yang kesemuanya menggambarkan kekuatan kejiwaan (al-quwwah an-nafsiyah) suatu bangsa. 

Pilar-pilar inilah yang semestinya harus dimiliki oleh elit-elit para pemimpin kita di daerah guna membangun daerah menuju Bima Bangkit serta Bima yang Maju dan Religius. Wallahu’alam Bissawab*).
×
Berita Terbaru Update