-->

Notification

×

Iklan

KEKAGUMAN BAGAIMANA PENYADANG CACAT MENGATASI KECACATANNYA

Tuesday, July 31, 2012 | Tuesday, July 31, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-07-31T06:13:07Z
Oleh: Dr. Mariani Mhsaw
Dengan mengatakan itu sama sekali tidak ada maksud untuk menga¬jurkan agar penyandang cacat tenang-tenang saja menjalani hidup yang cuma “setengah normal” sama sekali tidak satu-satunya isu kecacatan yang mendasar adalah bahwa penyandang cacat bukanlah korban dan mesti memiliki rasa hormat pada diri sendiri. Ada banyak cara mengung¬kapkan martabat penyandang cacat demi diri tiap orang.
Itu tergantung pada pilihan para penyandang cacat sendiri, menjadi militan dalam gerakkan atau berjuang diam-diam. Mengutip kata Hurst Rache, “perubahan sosial pada awalnya harus datang dari kita, dari penyandang cacat sendiri, mesti begitu”. Bahwa mereka, penyandang cacat, harus bisa mem¬buat orang-orang ‘normal’ merasa bahwa keadaan mereka tidak membawa masalah apa-apa, dan mereka dapat membicarakan keca¬catan mereka tampa ragu-ragu jika keterbukaan itu bisa memperlancar hubungan. Artinya, bahwa tiap yang bertemu dengannya pasti ingin tahu bagaimana caranya hidup tampa tangan, pada dasarnya mereka ingin berhubungan dengan secara wajar. Riyad menyadari bahwa dirinya cacat dan bukan sekedar ‘sedang sakit’, maka ia pun mampu mengenyahkan peran sebagai pasien dan memulai peran sebagai pasien dan memulai peran baru yang aktif, ia mengumpulkan para penyandang cacat di kota kelahirannya, dan mendirikan asosiasi penyandang cacat. Bagi banyak orang yang menjadi cacat setelah dewasa, mungkin berat rasanya mene¬rima kenyataan bahwa kini mereka termasuk populasi yang disebut ‘penyandang cacat’ khususnya bagi para veteran dan cacat perang. Semula hidup sebagai orang-orang ‘normal’ yang agresif dan kuat secara fisik, dan selalu diidentifikasikan dengan pembawaan yang ‘macho’ sulit bagi mereka untuk menerima keadaan bahwa mereka tidak lagi menjadi lambang keperkasaan fisik, dan bahwa mereka kini tersisih ke kumpulan orang yang mungkin dulu mereka hinakan. Inilah salah satu penyebab mengapa di negeri-negeri seperti Zimbabwe, sulit menemukan veteran cacat perang dalam gerakan-gerakan penyandang cacat. Barangkali penolakan ini berakar dalam masyarakat yang memiliki etos keperkasaan. Mereka (Riyad) tak sudi masuk kelompok apa pun yang menurutnya menyandang stigma kecacatan. Dorongan dan bimbingan bagi orangtua para penyandang cacat sangat pen¬ting. Tak ada gunanya berpura-pura bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan. Sedangkan bila semua orang, termasuk para petugas medis, menganggap bahwa kecacatan anak-anak menjadi sebab kekacauan keluarga, keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Paradokter, bidan, serta perawat perlu dilatih dalam hal bimbingan terhadap orangtua dari para pasien penyandang cacat. Merekalah yang menemani orangtua dalam tingkat-tingkat awal sejak kelahiran anak cacat itu pada suatu derajat tertentu, realisme sangat penting. Reaksi yang umum jika orangtua mendapati anaknya menjadi cacat adalah mereka tak mau menerima kenyataan itu, lalu selama bertahun-tahun mereka lintag-peluang menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya untuk mencari obat¬nya. Jika anak cacat memperoleh perawatan kesehatan yang baik dalam masa-masa awal kecacatannya itu sedikit dapat mengurangi tingkat keparahannya. Adalah wajar bila kecacatan baik sejak lahir maupun terjadi kedumian setelah dewasa, membuat orang merasa ‘kecolongan’. Tapi bila perasaan semacam itu dibiarkan terus berlarut-larut orang yang bersangkutan tidak akan mengalami proses hidup yang kosntruktif. Ini berlaku baik bagi penyandang cacat sendiri maupun orang-orang dekat dengannya. Kecacatan adalah sebuah kenyataan yang mestinya dihadapi dengan penyesuaian diri. Anda bisa membuat saya/kami apa saja, sebab sebutan itu tidaklah penting. Yang paling penting adalah apa yang kami rasakan tentang diri kami sendiri. Semua ini tentang harga diri. Kami tidak sakit hati, di sebut orang buta, tuli, pincang dan apa pun bentuk cacat di tubuh kami. Kemam¬puan untuk tidak gampang tersinggung ini merupakan mekanisme yang kami bangun dalam diri kami sendiri. Semacam cara pertahanan diri. Artinya, apa pun sebutannya, sama sekali tidak ada pengaruhnya, sebab perasaan tentang harga diri melebihi semuanya. Anda tahu perasaan kami, pikiran kami, itu semua terbentuk lantaran kecacatan kami. Kecacatan memperkaya hidup kami sebagai pribadi. Kita harus menyadari kecacatan mereka sebagai kenyataan? Di satu pihak, penyandang cacat berkata “jangan anggap kami luar biasa”, di pihak lain, mereka agaknya juga berkata, “Bukan kami yang harus berubah, masyarakat¬lah yang harus mengubah diri dan menerima keadaan kami apa adanya”. Identitas diri mereka tercermin dari budaya yang mereka miliki. Para tuna rungu atau tuna wicara bangga atas “kebudayaan bisu” mereka yang ditandai oleh sistem bahasa isyarat. Banyak diantara mereka tak mau dianggap ‘normal’. Sedangkan kenyataan kemampuan oral merajai dunia, baik yang cacat maupun yang ‘normal’ memiliki sikap dan penghargaan yang sama terhadap kefasihan komunkasi oral-verbal. Seorang orator selalu berharga di mana-mana. Lebih dari itu, komunikasi oral-verbal merupakan jalan ke arah pengembangan diri penyandang cacat, termasuk yang tuna rungu, tuna wicara. Mereka pun mesti menguasai bahasa ‘biasa’ agar bisa bertukar pikiran dengan dunia luar. Maka jawabannya terletak pada “sistim dua bahasa” bereka harus belajar bahasa ‘biasa’ sekaligus juga bahasa isyarat. Para pekerja pembanguna harus tahu bagaimana cara ‘mengetuk pintu’ pola-pola kemasyarakatan (yang kadang penuh kecu¬rigaan, prasangka, rasa takut) dan memahami kepentingan-kepentingan di dalamnya. Mereka harus menghindari sikap‘asal bikin proyek’ sehubungan dengan kecacatan. Artiya, mereka mesti sanggup menguasai seluk beluk rehabilitasi, mampu memahami individu maupun kelompok, menguasai psikologi manusia, dan ia juga harus merupakan pekerja pembangunan yang handal. Ia harus melihat jauh menembus kebutuhan-kebutuhan fisik penyandang cacat, dan memperhatikan hal-hal yang bernilai seperti bagaimana dan kapan ia bisa membuat para anggota masyarakat terlibat, bagaimana memberi inspirasi kepada mereka, bagaimana dan kapan memanfaatkan jalinan hubungan baik dengan para pemuka masyarakat, bagaimana caranya agar dipercaya oleh pejabat setempat, dan seterusnya. Para penyandang cacat sendiri terbukti mampu menjadi pekerja Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM). Salah satu sebab ialah mereka punya perspektif yang berbeda dari orang-orang ‘normal’ (disekitar kita sudah banyak bukti, dari media eletornik, cetak,TV). Kami ingin membuktikan bahwa menjadi orang buta tidak akan membuat saya lebih buruk ketimbang orang lain. Dari situ wajar saja jika lantas kami lari ke simbol-simbol status uang banyak, pekerjaan yang bagus dan sebagainya. Tetapi kami lalu sadar bahwa kami telah kehilangan kontak dengan jati diri kami saat mengejar itu semua. Kami bukan supermen. Kami beruntung bisa lepas dari masa itu dan melewati tahap yang sulit karena kami pernah mengalaminya. Maksud kami bukan dalam pengertian puas diri, tapi dalam arti kami merasa diterima sebagai diri sendiri. Kami merasa kaya. Tetapi proses itu memakan waktu lama. Adalah kesadaran bahwa orang-orang cacat memerlu¬kan pekerjaan yang punya visi dan kompetensi. Pelayanan terhadap orang-orang cacat harus dilakukan, tapi negara tidak mampu mendanai pelayanan rehabilitasi berbintang liam atau kurang dari itu. Karena itu itu kecacatan mesti memasuki tiap sektor, apakah itu perbankan, industri, atau peme¬rintahan. Harus ada penyantun masyarakat dengan orang-orang cacat. Kami harus menggunakan struktur yang sudah ada. Membangun manusia, memung-kinkan orang-orang cacat untuk membangun diri sendiri, melepaskan diri dari pengerdilan psikologis, dan perlucutan kekuatan akibat sikap sosial masya¬rakat dan prasangka-prasangka keagamaan. Tujuan utama adalah untuk membuat orang-orang cacat merasa senang dan memberi kabar gembira pada diri mereka sendiri. Apa yang dirasakan orang tentang diri sendiri punya dampak besar terhadap apa yang mereka kerjakan dan bagaimana cara mereka bekerja, tanpa rasa senang itu mereka tidak akan bisa berbuat banyak. Lebih jauh lagi, jika orang merasa senang dengan diri sendiri, ia dapat memulai suatu perubahan. Maka usaha aku (tulisan ini) adalah untuk membuat penyandang cacat memahami akar permasala¬han mereka, dan membuat mereka bergerak untuk mengubah situasi itu jika mereka menginginkan. Jika mereka sendiri tidak ingin berubah, tak seorang pun dapat mengubah apa pun juga untuk mereka. Tapi ada yang sama sekali tak terjamah, isu menyeluruh tentang bagaimana rasanya menjadi orang cacat; apa arti psikologis pengalaman menjadi cacat itu; aspek-aspek sosial kecacatan; politik kecacatan. Kedua sisi mata uang ini penting sekali bagi pembangunan menyeruak para penyandang cacat sebagai mahluk sosial yang sadar. Jika tidak ada gerakan-gerakkan penyandang cacat yang kuat di seluruh dunia, itu lantaran orang-orang cacat yang punya akses ke arah kesempatan pembangunan tidak memiliki kesadaran ini. Inilah tragedi dalam kerja rehabilitasi orang cacat selama ratusan tahun terakhir ini. Kembali ke masalah persepsi diri dan rasa hormat pada diri sendiri. Apakah penyandang cacat merasa mampu berjuang demi hak-hak mereka; bergabung dengan serikat pekerja; dan melaksanakan pekerjaan yang serius?. Di mana penyandang cacat mampu mewujudkan hal-hal tersebut, di situ berdiri seorang pemantau dan pemberi contoh positif bagi rekan-rekannya. Jika semua itu tidak pernah menjadi kenya¬taan, maka yang tertinggal hanyalah pola di mana penyandang cacat selalu berperan sebagai korban. Persoalannya sekali lagi adalah bagaimana mencuatkan panutan dan mendobrak lingkaran setan ketergantungan. Namun dunia memerlukan panitia-panitia, juga penyandang cacat. Karena sikap-sikap negatif dari orang-orang ‘normal’ dan rendahnya harga diri para penyandang cacat sendiri merupakan faktor penentu pandangan tentang apa yang mampu atau tak mampu mereka kerjakan. Jika ingin memotong lingkaran setan itu, mereka masih memerlukan panutan. Kami tidak boleh kehilangan sentuhan dengan kenyataan. Penyandang cacat memiliki dimensi tambahan dalam perjalanan itu, yaitu identitas yang terbentuk karena mereka cacat. Mereka pun sama seperti orang lain, beranjak dari satu persepsi ke persepsi yang lain tentang diri sendiri. Proses perubahan sikap dapat menelan waktu seumur hidup. Bagi setiap orang, hal itu dipengaruhi banyak faktor, namun terutama oleh caranya memandang diri sendiri. Persoalan sikap ini pada akhirnya menjadi masalah keinginan penyandang cacat untuk menjadi diri sendiri dan diterima apa adanya oleh orang lain. Mereka juga punya keinginan, ambisi, nafsu, kelemahan, prasangka, persepsi, emosi, dan harapan. Sama dengan manusia-manusia lain. Akhirnya kita harus menyadari bahwa kita punya kekurangan, hanya saja kekurangan para penyandang cacat lebih jelas terlihat. Pendekatan terhadap para penyandang cacat terutama didasari oleh amal dan bukan pembangunan.Jarang sekali masalah kecacatan dimasukkan ke dalam rancangan pembangu¬nan, di tingkat lokal, nasional, regional, maupun dalam usulan badan-badan dunia yang membantu pembangunan berbagai negara. Beberapa dalil untuk mengetahui yang dilon¬tarkan oleh pejaban negara; pertama,penduduk yang tinggal dipedesaan tidak akan mampu menjangkau biaya rehabilitasi yang tinggi, termasuk profesional yang mahal; kedua, program-program pelayanan kesehatan bagi penduduk ‘normal’ saja sudah besar, akan menjadi terlalu memberatkan negara kalau dibebani dengan dana bantuan dan penyediaan per¬lengkapan bagi penyandang cacat; tiga,tak mungkin memberikan prioritas pada penyandang cacat sementara masih banyak anak-anak yang meninggal sebelum ulang tahun pertama mereka akibat diare dan seba¬gainya, biarlah kita menurunkan angka kema¬ tian bayi dulu, baru kemudian mengurus hal-hal seperti kecacatan dan sebagainya. Dalam argumen diatas tersirat sikap ‘Darwinisme sosial’ yang kuat. Semua mengandung implikasi bahwa orang yang ‘tidak normal’ tidak memenuhi syarat untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan mereka yang ‘normal’. Dalil tersebut lebih didasari oleh ketidakpedulian dan ketiadaan kesadaran ketimbang sekedar prasangka buruk. Bahwa jika disadari, proses rehabilitasi dapat berlangsung secara efektif meski para pelaku¬nya kurang berpendidikan; tenaga pembimbing dan perlengkapan penyandang cacat tidak harus selalu rumit atau mahal; dan penyandang cacat yang telah dewasa tidak mesti menjadi beban ekonomis. Orang harus dibuat agar merasa menjadi pengendali kehidupannya sendiri, dan tidak merasa bahwa dirinya sekedar menjadi bagian dalam rencana yang ditetapkan oleh orang lain, atau merasa menjadi sandera, dari nasib yang kejam dan tidak mereka kenal. Sekali orang merasa terpaksa, selanjutnya cuma pura-pura. Kalau sekedar itu cita-cita pemerintah, “ya sudah”; tapi bila yang diinginkan adalah kesadaran maka biarlah rakyat sendiri yang memutuskan masa depan. Jika sudah demikian, maka sikap-sikap mereka sendiri, sikap-sikap anak-anak dan seluruh keluarga mereka, serta masa depan mereka seluruhnya akan menjadi lebih terstruktur dan penuh harapan . Artinya, bila orang lain ‘normal’ mulai merasakan bahwa mereka sendirilah penentu masa depan, maka keputusan-keputusan yang mereka ambil pun menjadi lebih rasional. Meski ada cara yang terkoordinasi untuk mengatasi masalah-masalah selain fisik penyandang cacat; persamaan hak; pemerataan kesempatan; penyaluran bantuan dan perawatan; akses menuju penyatuan diri anak cacat di sekolah, dan pembangkitan kesadaran secara umum. Di harapkan baik lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta/RBM dapat berperanan penting dalam pendekatan terhadap masalah kecacatan jika keduanya diatur searah dengan pembangu¬nan manusia seutuhnya. Lebih lagi bila melalui kedua jalur itu para penyandang cacat diberi kesempatan untuk ikut menentukan sanib sendiri. Orang yang ada dalam kedua lembaga tersebut diawali dengan pembentukan suatu kepanitiaan dalam satu wadah yang telah ada, yang anggotanya mengemban tangung jawab atas masalah-masalah kecacatan di lingkungan mereka. Panitia tersebut terdiri dari; penyandang cacat, para guru, keluarga penyandang cacat, pekerja sosial, pekerja medis, para profesional dalam hal rehabilitasi, dan siapa saja yang tertarik. Panitia tersebut kemudian memutuskan langkah apa yang akan diambil sehubungan dengan kecacatan dilingkungan masyarakat setempat. Langkah pertama melakukan survei, untuk mendapatkan gambaran setepat-tepatnya tentang; berapa jumlah penyandang cacat; cacat apa saja yang mereka sandang; berapa umur mereka masing-masing; apa penyebab kecacatan mereka secara umum, dan pelayanan sosial macam apa yang mereka butuhkan. Survei cukup penting dalam meningkatkan kesadaran sekaligus harapan. Dan ia bisa menjadi menggiring masyarakat ke sebuah perencanaan sosial yang besar dan melibatkan mereka semua. Artinya, siapa pun yang melakukan survei semacam itu harus mene¬kankan bahwa pelayanan yang akan diberikan kepada penyandang cacat mesti diadakan dan harus diurus oleh masyarakat sendiri; serta bahwa semua itu harus masih berada dalam batas kemampuan masyarakat itu. Selain itu harus ada penekanan yang disebarkan kepada masyarakat; yang dilakukan setelah survei bukanlah sejenismegaproyek dilakukan oleh lembaga sosial reksasa. Pusat rehabilitasi masyarakat biasanya kecil, murah, serta dapat dijangkau oleh anak-anak dan orangtua mereka untuk saling berbagi da¬lam berbagai program yang dibuat untuk kepen¬tingan mereka. Panitia harus pula mengembang¬ kan hubungan baik dengan pihak-pihak pemasok peralatan rehabilitasi, serta pusat-pusat rehabilitasi mapan yang menjadi referensi mereka. Persoalan pelatihan para staf pun harus mereka pikirkan. Lalu masalah bagaimana dan dari mana datangnya dana; selain itu juga melakukan kontrol dengan berbagai komite lain dalam masyarakat yang sama. Misalnya bila sudah ada sebuah RBM, ini dapat dirangkul sekalian dengan program mereka. Hubungan baik dengan berbagai lembaga kecacatan hanya akan mendatangkan hasil yang baik. Hasil terburuk yang mungkin didapat hanyalah ‘tidak dapat apa-apa’; tapi tetap tampa kerugian. Sedangkan hasil terbaik yang mungkin diraih adalah terbentuknya pandangan para pengelola lembaga-lembaga itu tentang kecacatan, serta kemungkinan yang lebih besar lagi untuk turut memanfaatkan fasilitas yang mereka miliki. Jika semua orang ‘normal’ maupun cacat, mampu dan mau bekerja sama, maka tidak terjadi pelemahan dipihak penyandang cacat. Kemungkina untuk mencapai tiga tujuan program rehabilitasi (pencegahan, integrasi, rehabilitasi) akan terbuka lebar. Pertanyaan yang mucul; Apakah negara masih berperan sebagai Bapak atau Ibu yang masih memelihara seluruh warga negaranya?; atau Apakah ia harus membiarkan agen-agen swadaya menjalankan tugasnya? Apakah sebab-musebab kemiskinan berasal dari struktur masyarakat, ataukah dari kehidupan keluarga-keluarga atau individu-individu? Semua ini merupakan pertanyaan ’besar’ tetapi tetap relevan dengan persoalan kecacatan atau bahkan relevan dengan segala macam orang yang merasa tertindas?. Percaya bahwa peran penting negara adalah untuk menciptakan kerangka hukum yang memungkinkan penyandang cacat mengklaim hak-hak mereka sebagai warga negara, sama seperti orang lain. Karena dalam dunia ideal, semua kebutuhan khusus penyandang cacat harus dipandang sebagai kebutuhan rutin semata. Itulah impian kami: tampa keheboon; cuma rutin saja. Negara harus mengurus penyan¬dang cacat sama seperti ia mengurus warga negara biasa. Negara/pemerintah diperlukan oleh masyarakat dalam hal dana serta peraturan perundang-undangan, tapi aksi-aksi swadaya masyarakat tidak membutuhkan kekangan atau kontrol. Namun kita harus selalu waspada akan manipulasi data statistik yang umum dikeluarkan oleh pemerintah. Angka-angka selalu mungkin diutak-utik dan diubah-ubah dalam kepentingan politis. Ada banyak orang dibikin cacat secara permanen menyebabkan beban ekonomis keluarga dan negara itu secara keseluruhan. Data statistik mungkin menujukkan bias perkotaan dan data bias negara maju, bukan sekedar data yang tak berarti. Keduanya menggarisbawahi anggapan mendasar bahwa kecacatan itu relatif, tergantung pada defeni¬sinya menurut sikap-sikap sosial setempat, tergantung hambatan fisik yang dihadapi, dan oleh sebab itu berbeda-beda di tiap masyarakat. Realisme,keteguhan untuk berpijak pada kenyataan, adalah faktor paling esensial. Angka statistik tak boleh dianggap terlalu menentukan, sekaligus jangan kelewat diremehkan. Dengan dana yang minim, pemerintah atau lembaga-lembaga sosial malas meneliti sendiri apakah anggapan, ‘seratus persen’ itu benar atau salah. Kalau taksiran kita terlalu tinggi (misalnya tampa survei yang rinci langsung kita simpulkan lima ratus ribu orang) maka akan ada pemborosan besar-besaran dalam, waktu, tenaga, dana, sumberdaya yang kita miliki. Dalam gerakkan penyandang cacat, argumen atau tuntutan berdasarkan data yang akurat serta survei profesional akan lebih bergaung.Tiap hasil survei harus menjadi bagian dari sebuah rencana besar bagi pelayanan sosial. Yang tak mampu dimunculkan oleh survei adalah probelama ekonomi serta kemanusiaan seperti, mengikuti kelahiran seorang bayi cacat. Dan diharuskan setiap survei dibidang kecacatan harus menjaring kaum perempuan, agar jangan sampai keraguan seratus persen, atau percaya penuh akan ketepatan atau kelengkapan sebuah data yang semata-mata diperoleh dari responden laki-laki. Aku meresa telah menempuh petualangan panjang ke dasar pembangunan manusia seutuhnya, dan mengakhiri perjalanan itu dengan kesadaranbaru tentang kekuatan jiwa umat manusia di dunia. Peran aku lebih sebagai pengamat, yang mencatat perjalanan manusia-manusia lain yang dijumpai. Aku mencoba bersikap objektif, tampa prasangka, dan niat sejak semula bukanlah untuk membuat bangunan pengalaman yang cocok dengan gagasan-gagasan aku sendiri, mengabaikan hal-hal lain. Mengutip kata orang bijak Lao Tzu, dan Tao Te Ching, “Kebenaran menanti mereka yang matanya tidak diselimuti kabut keinginan”. Kita mesti memberlakukan aturan yang sama bagi setiap orang tampa mengecualikan siapapun juga. Kita tak bisa menganggap sebagian orang yang dikategorikan cacat tidak berhak memperoleh hak-hak mereka serta mengecap keadilan; Kita bisa memulai petualangan mencari makna bila, paling tidak, kita tahu hari esok masih ada. Tapi bila pem¬bangunan dirancang hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok yang sifatnya fisik, maka itu sama dengan mengingkari akal budi. Persoalan makna adalah masalah spiritual sekaligus politis. Bahkan sebatas impian pun kebutuhan pencarian makna akan terpenuhi bila orang tidak memegang kendali atas kehidupannya sendiri, saat kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi hidup mereka tak bisa digapainya dan ia terpontang-panting dijadikan bidak percaturan kekuasaan bagaiselembar bulu kucing di tengah angin topan. Pembagian sumberdaya yang tak merata, jurang kesenjangan kaya-miskin, tidak amannya pekerjaan di berbagai tingkat, korupsi, pengausa/pejabat tidak becus, kepu¬tusan-keputusan politis yang dibuat berda¬sarkan faktor-faktor ekonomi dan kepentingan pribadi yang picik semua ini adalah ketidak¬adilan yang menyapu bersih makna kehidupan orang-orang miskin dan memerosotkan kehidupan menjadi persoalan isi perut semata. Persoalan yang mendesak adalah tentang HAM dan keadilan, juga perkara hubungan sosial. Teorinya, hak-hak keadilan tercermin dalam hukum. Tetapi hukum paling bagus pun tak ada artinya tampa pelaksanaan yang selaras dengan isinya, dalam bentuk perilaku dan sikap kita satu sama lain. Tercapainya kehidupan yang penuh makna sebagian besar dipengaruhi oleh hubungan kita dengan orang-orang dekat dalam kontek sosial yang mengakui hak-hak kita sebagai manusia. Suatu upaya memahami kecacatan serta kekuatan-kekuatan sosial politik disekelilingnya membawa kita berhadapan muka dengan tujuan pertahankan hidup, kepada ada atau tidak adanya keadilan, dan persoalan hubungan dengan antara manusia. Ada wilayah kehidupan yang ditandai dengan kata “sprirityal”, “membangun”, dan “politis”. Itu semua hanyala sisi-sisi yang berbeda namun bersama-sama membentuk persoalan makna kehidupan. Para penyandang cacat, tidak mengharapa¬kan kita semua menjadi cacat; mereka berkata bahwa bayi yang lahir hari ini lebih baik ‘normal’ saja. Meski begitu, kecacatan adalah pemben¬tukan diri dan kepribadian mereka; mereka tidak berniat untuk mengingkari kenyataan bahwa kecacatan itulah yang menjadi identitas mereka. Izinkanlah kami untuk mengajarkan hal-hal tertentu kepada Anda; biarkan kami memper¬juangkan hak-hak kami, berusaha menggeser rintangan-rintangan yang menghalangi perja¬lanan kami, dan kami ingin agar Anda mengem¬balikan kekuasaan atas kehidupan kami. Kami juga membutuhkan Anda untuk selalu meng¬ingatkan kami bahwa kami juga penting bagi perkembangan dunia, bahwa kami sama _ juga Anda _ bersaudara. Kami perlu penguatan di saat-saat dilanda keletihan dan kehilangan semangat. Percayalah, kami bisa hidup tampa “pelindung”, tampa belas kasihan, tampa kecengengan. Tepi kami tidak dapat hidup tampa persahabatan, rasa saling menghormati, dan kerjasama dengan orang-orang lain. Kami ingin agar Anda mengakui dengan lapang dada bahwa Anda tidak mengerti tentang sesuatu dan dalam hal tertentu kami lebih mengenal kecacatan; janganlah Anda meng¬anggap ketidak tahuan itu memalukan. Yang benar adalah kami (penyandang cacat) membutuhkan Anda, bukan sebagai pakar atau manajer dalam kehidupan kami, tetapi sebagai teman, sesekali menolong, dan kita bisa saling memberi dan menerima. Maka kecacatan adalah masalah disini (dihati) ketimbang sesuatu yang terjadi diluar sana. Ia juga adalah masalahkita dan bukan sekedar persoalan mereka. Ia menjadi masalah sekarang dan bukan besok saja. Program rehabilitasi, tak peduli berbasis masyarakat atau pun tidak, tidaklah membangun kecuali bila penyandang cacat memegang peranan utama, mendesar dan menerapkannya. Firman Allah Swt, “Katakanlah, kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula),”.(QS. Al-Kahfi: (16-18): 1090).*) Rabu, 2 Mei 2012
×
Berita Terbaru Update