-->

Notification

×

Iklan

Henghitung Kebohongan

Friday, June 22, 2012 | Friday, June 22, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-06-22T04:23:48Z
Oleh: Rafika,S.Pd 
Menghitung kecurangan atau kebohongan bukanlah meng¬hitung hari miliknya Krisdayanti. Ketika ingin Menghitung hari kita tinggal melihat tanggalan, bulan dan tahun pada kalender, hasilnya pasti langsung diketahui. Tetapi menghitung kebohongan perlu waktu dan kemampuan memori untuk mengingat berapa kali, berapa puluhan kali, berapa ratusan kali, berapa ribuan kali, berapa miliyaran kali kita pernah dan dengan sengaja melakukan kecurangan dan kebohongan pada diri sendiri atau kepada publik. Bohong itu kalimat yang ringan tetapi berat untuk memikulnya.
Bohong adalah pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar dan ‘spektator’ percaya. Fiksi meskipun salah, tetapi bukan bohong. Orang yang berbicara bohong dan terutama orang yang mempunyai kebiasaan berbohong disebut pembohong. Hasil berbuat bohong adalah kebohongan. Anda rela dibohongi ? Kalau tidak ingin dibohongi, janganlah berbohong dan kalau anda berani berbohong, maka siap-siaplah anda menerima kebohongan. Lalu Siapa saja yang pernah kita bohongi ? Kepada diri sendiri ? Kepada suara hati ? Kepada putra-putri kita ? Kepada tetangga ? Kepada lingkungan ? Kepada Pers ? kepada orang tua? Kepada rekan kerja ? Kepada atasan ? Kepada bawahan ? Kepada Negara ? Bohong itu bisa menjangkiti siapa saja, karena ‘bohong’ tidak mengenal umur dan ras! Menghitung dan melakukan siaran pers atas kebohongan yang kita lakukan adalah tindakan yang luar biasa. Karena sangat langka dan aneh menurut kaca mata kita saat ini. Kejujuran itu langka dan dibayar mahal bila ada ditengah himpitan kebohongan. Dan kalau bisa dinilai dengan ukuran komersial, orang tidak akan berani menjual kejujuran.Dan alangkah luar biasanya kalau ada personal yang tersiksa karena tidakjujurannya. Berapa durasi kita untuk mampu menutupi kebohongan ? Awal-awalnya kadang kita mampu berkelit, mencari kambing hitam, enjoy, tetapi ujung-ujungnya ketangkap juga. Backgroud dari Budaya malu sudah menipis dan luntur seketika. Ya… Malu Aku Menjadi Orang Indonesia, katanya Taufik Ismail (Sastrawan). Kebohongan itu kadang dianggap sepele, seder¬hana dan rutinitas. Dalam 24 jam pernahkah kita disodorkan dengan kebohongan dan kecurangan ? Tapi sepertinya seringkali kita apatis dan adem untuk melayaninya. Mengapa orang gemar berbohong ? Latar belakangnya tentu variasi, Karena takut ketahuan belangnya? Hobby? Punya target ? Ingin terkenal? Pemaksaan? Terpaksa ? Bisa macam-macam alasannya, tergantung mood dan tujuan. Berapa kali kita melakukan kebohongan? Dalam hitungan detik, menit,jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, abad? Ketika dalam satu hari kita berbohong minimal 1 kali saja, sejak umur 25 tahun sampai sekarang. Jadi Berapa kalkulasi kebohongan kita ? Oke-lah kita melakukannya dengan memakan korban 1 orang, tetapi bagaimana ketika membohongi publik ? Sanggupkah kita mendeskripsikan kebohongan ? Akankah kita kedepannya ditolerir ? Di hukum oleh publik ?Ketika membohongi diri sendiri, tidak akan merugikan banyak pihak ! Yang keciprat hanya kita saja. Diri sendiri saja tega kita bohongi, bagaimana feodalnya ketika membohongi orang lain. Bagaimana perasaan anda ketika berbohong ? Aman-aman saja? Enteng ? Tidak takut karma ?Tidak malu ketika ketahuan? Apatis ? Dan Berapa persentase Deposito kebohongan kita ? Lalu bagaimana dengan muka-muka pembohong ? Cuek ? Pura-pura bijaksana ? Uber senyum ? Muka tembok? Tetapi ketika hampir kedapatan menipu bagaimana ? Ya, tentu saja sangat risau dan meresahkan. Ribuan pasang mata seakan memvonis, mencerca, mengkerangkeng dan menggiring kita untuk membeberkan keaiban yang teragenda ! Siapa saja Sasarannya? Bisa diri sendiri, orang lain, atasan, bawahan, publik . Ya… tergantung bidang dan medan yang kita geluti. Sasaran, tujuan dan hasilnya adalah berbeda tergantung minat, lahan, dan target. Kebohongan itu seperti magnet yang akan menarik siapa saja yang ada di dekatnya dan yang mau terlibat. Ketika kebohongan itu menuai hasil, panennya pun pasti dapat porsi. Karena hasil kebohongan adalah hasil kerja sama yang terselubung. Ya… kebohongan berantai ! Mung¬kinkah ada arisan kebohongan ? ada sebuah kebohongan ada pula unsur kesengajaan. Jika seseorang berkata bahwa ia merupakan seorang profesor padahal bukan, maka ia sengaja melakukannya untuk pamer. Hal ini merupakan sebuah kebohongan. Kecuali ia melakukannya dengan sengaja sebagai sebuah siasat, maka namanya adalah taktik disinformasi.Penipuan adalah sebuah kebohongan yang dibuat untuk keuntungan pribadi tetapi merugikan orang lain, meskipun ia memiliki arti hukum yang lebih dalam, detail jelasnya bervariasi di berbagai wilayah hukum. Kata ‘bohong’ cenderung digunakan untuk kasus-kasus yang bernuansa netral dan biasa. Tetapi jangan ‘bohong’ sebagai seremonial ! Sebaliknya kata ‘tipu’ biasa digunakan pada kasus-kasus yang cenderung menimbulkan kerugian pihak yang dibohongi atau yang ditipu. Nuansanya cenderung lebih suram atau berbau kriminalitas daripada kata ‘bohong’. Kata ‘tipu’ juga cenderung menyatakan kasus dimana ada seseorang yang mengingkari kesepakatan atau perjanjian.Penipuan lebih sadis untuk dimaklumi ! Kata ‘dusta’ memiliki arti sedikit rumit. Kata ini sepertinya digunakan untuk bohong yang sangat berat jika ditimbang secara moral. Kata ‘dusta’ cenderung digunakan pada saat bohong dilakukan, sekaligus adanya pengingkaran terhadap sesuatu yang diyakini benar oleh umumnya masyarakat. Bagaimana dengan kata bual? Terkesan kata ‘bual’, yang merupakan bohong juga, adalah versi lain kata ‘bohong’ untuk peristiwa yang sama sekali kurang penting atau tidak dianggap penting dan tidak pula dianggap serius. Kata ‘gobal, memiliki makna agak menyimpang dari kata-kata yang lain. Kata ini cenderung digunakan untuk mengatakan sesuatu melebihi dari porsi sewajarnya dan juga adanya pengingkaran. Penggunaan kata-kata di atas, baik bohong, dusta, tipu, gombal maupun bual, sejatinya terserah selera pemakai. Namun demikian tampaknya ada kesepakatan khusus dimana kata tertentu lebih cocok diterapkan. Nuansa konotatif tampaknya juga berlainan. Jika diurutkan dari yang berkonotasi kurang negatif sampai paling negatif berturut-turut adalah bual-bohong-dusta-tipu, sementara gombal bisa diletakkan sebelum atau sesudah bual. Mudah-mudahan kita bukan termasuk dari deretan kata-kata tersebut. Dan apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun; Sukarno.Jangan jadikan kebohongan sebagai hymne keseharian kita, Amin !
×
Berita Terbaru Update