-->

Notification

×

Iklan

Sistim Pemilihan Kepala Negara Masa Al-Khulafa Al-Rasyidin dan Konteks Politiknya

Tuesday, May 15, 2012 | Tuesday, May 15, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-05-15T06:55:09Z
Oleh: Dr. Ibnu Khaldun, M.Si 
Tulisan ini akan menganalisis tentang sistim pemilihan kepala negara dimasa Al-Khulafa al-Rasyidin, terben¬tuknya sistim khalifahan dan bagaimana mengkonteks¬tualisasikan dengan pemikiran politik yang berkembang pada saat ini. Dari berbagai referensi yang diperoleh, hampir semua menyatakan bahwa ada dua sistim pemili¬han kepala negara pada masa sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yang pertama, pemilihan kepala negara melalui musyawarah, lalu pertanyaannya muswarah yang seperti apa? dan kedua, pemilihan melalui wasiat. Dan pertanyaannnya adalah wasiat yang berbentuk seperti apa? Dalam Al-Quran maupun hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara
menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepen¬tingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku1[1] tentang bagai¬mana musyawarah itu harus diselenggara¬kan. Itulah kiranya salah satu sebab utama mengapa dalam pada empat Al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui musya¬warah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam Bagaimana mendiskusikan dua metode inilah yang akan menjadi lokus pembahasan dalam makalah ini. Pembahasanpun bukan untuk mempertajam diskusi-diskusi yang memperdebatkan sistim pemilihan mana yang tepat diantara dua metode pemilihan kepala negara, akan tetapi lebih pada meng¬ung¬kap sekaligus menegaskan bahwa dua metode pemilihan tersebut, memang terus diperbincangkan dan diyakini relatif objektif oleh kedua penganut sistim pemilihan kepala negara sampai sekarang ini. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah “apa sistim pemilihan kepala negara pada masa Khulafaurasyidin dan bagaimana mengkontekstualisasikan dengan dinamika politik saat ini?”. Terbentuknya Sistim Kekhalifahan Dengan wafatnya Nabi maka ber¬akhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spritual dan temporal2[2] (duniawi) dan berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut keper¬cayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Kaum muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan dan melihat dihadapan mereka terbentang masalah-masalah dan tanggung jawab yang besar akibat dari kekosongan itu. Oleh kare¬na itu, mereka berusaha dengan segenap kemampuan untuk menanggung beban ini. Setiap individu dipaksa untuk berpikir, mengkaji, bagaimana menentukan keber¬lan¬jutan kepemimpinan negara pasca Nabi wafat. Maka sejak saat itulah muncul gagasan pertama kali dalam sejarah Islam yakni pertemuan Saqifah3[3]. Diadakanlah pertemuan di Saqifah. Abubakar, Umar r.a., hadir dan beberapa orang sahabat dari kalangan muhajirin, namun beberapa tokoh besar tidak hadir dalam pertemuan itu, termasuk Ustman dan Ali, r.a., pertemuan itu mirip dengan perte¬muan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat, meletakan institusi politik yang baru yang akan menjadi landasan operasional institusi tersebut. Hasil terbesar pertemuan itu adalah berdirinya institusi kekhalifahan, yang sejak saat itu menjadi model pemerintahan Islam, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang sedikit berbeda. Materi yang dibahas dalam pertemuan Saqifah tersebut mengundang analisis dari seorang penulis Barat4[4], “pertemuan itu meng¬ingatkan secara dekat kepada muktamar politik di era modern yang didalamnya berlangsung perdebatan-perdebatan politik yang menggunakan metode-metode perdebatan modern, perdebatan tersebut antara lain. Pertama, teori membela kalangan Ansor yang mengklaim diri mereka sebagai pihak yang berhak untuk memegang jabatan kekhalifahan, dengan berbagai dalil,”merekalah yang membela Islam, menjaganya dengan jiwa dan harta, memberikan tempat dan pertolongan dan merekalah penduduk asli madinah, klaim tersebut dinyatakan sebagai teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran Islam. Kedua, adalah bantahan atas teori pertama, pembelaan atas hak kaum muhajirin atas jabatan kekhalifahan dan membuktikan mereka lebih berhak atas jabatan kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain, seperti diungkapkan Abu Bakar r.a., pihak yang pertama kali menyembah Allah SWT diatas permukaan bumi kami adalah orang-orang kepercayaan Nabi dan keluarga beliau, dan yang bersabar bersama beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari kaumnya dan pendustaan mereka. Dalam retorika pembelaan atas hak kaum muhajirin itu, lahir pula untuk pertama kali pemikiran tentang keutamaan suku Quraisy;”para imam (pemimpin) dari kalangan Qurais”. Dan hal itu menjadi landasan teori pemilikan kaum Quraisy atas jabatan khalifah.5[5] Berkembang pula teori lain yang dikemukakan oleh Habbab bin Mundzir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan kepemimpinan atau adanya beberapa kepala negara sekaligus, misalnya dengan meng¬angkat dua khalifah sekaligus, yaitu saat masing-masing berkata “dari kami ada pemimpin tersendiri dan dari kalian ada pemimpin tersendiri pula”. Akan tetapi dari sinilah lahir kesepakatan atau konsep yang amat penting yaitu sistim pemilihan kepala negara dilakukan dengan baiat, atau dengan kata lain pemilihan. Dan secara faktual tidak menerima pemilihan melalui metode pewarisan6[6]. Sistim Pemilihan Kepala Negara Pertemuan para sahabat pada hari saqifah merupakan pertemuan bersejarah yang paling besar pengaruhnya terhadap perjalanan umat Islam. Dalam pertemuan itu diputuskan adanya keharusan untuk mendirikan kekhalifahan. Pada pertemuan itu telah diputuskan juga sebuah prinsip yang sangat urgen bahwa pemilihan seorang khalifah hanya terlaksana melalui prosedur pemilihan dari umat, aspirasi umat atau wakil umat yang aspiratif dan merepresenta¬sikan kedaulatan umat: seperti para sahabat yang berkumpul pada hari Saqifah. Sejarah tidak pernah menyebutkan adanya seseorang yang mengklaim adanya teks dari Nabi yang menunjuk seseorang atau sebuah kelompok keluarga tertentu untuk mengemban jabatan kekhalifahan. Klaim-klaim seperti ini muncul setelah perte¬muan hari Saqifah dari golongan Syi’ah yang secara fanatik loyal (tasyayyu) kepada Ali r.a., serta keturunannya. Oleh karena itu, merupakan kesepakatan final bagi kelompok Ahlus Sunnah dan mereka merupakan kelompok mayoritas umat Islam dan disepakati juga pendapat mereka dalam hal ini oleh kelompok muktazilah, murjiah, dan khawarij bahwa jalan menuju keimamahan atau kekhalifahan yang kons-titusional atau bahwa sumber kekuasaan khalifah hanya dapat dicapai melalui prosedur pemilihan umum oleh umat, yang dicerminkan dengan prosedur pembaiatan. Dengan demikian, umat merupakan dasar legitimasi kekuasaan/pemerintahan. Salah satu kelompok kaum muslimin, kelompok minoritas, berkeyakinan bahwa sebenarnya Rasulullah telah menunjuk pengganti beliau, dan calon tersebut adalah keponakannya,’Ali7[7]. Menurut mereka, penunjukan tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanan beliau kembali dari Haji Wada’, pada tanggal delapan belas Dzulhijjah, tahun kesebelas hijriah (632) di suatu tempat yang bernama Ghadir Khumm (kolam Khumn), dimana beliau membuat pernyataan bersejarah yang telah diriwa¬yatkan dalam berbagai versi, yang paling terkenal diantaranya menyatakan bahwa Nabi mengatakan :”barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpin (mawla), mulai saat sekarang hendaklah meng¬anggap ’Ali sebagai pemimpinnya”. Kelompok ini terkenal dengan nama Syi’ah. Kelompok lain yang dekat dengan mereka berpendapat warisan kepemimpinan haruslah diserahkan kepada ’Abbas, paman Nabi, dengan alasan bahwa jika persyaratan mutlak bagi pengganti Nabi tersebut adalah bahwa ia harus termasuk famili beliau, maka ’Abbas, yang lebih tua daripada ’Ali, memiliki hak yang lebih besar untuk menjadi pengganti Nabi, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa diantara “mereka yang termasuk sanak kerabat,” sebagain lebih utama dari yang lain (Q.S. al-Anfal, 8:75) Tetapi, pandangan Syi’ah tidaklah semata-mata mempertimbangkan kualitas-kualitas pribadi ’Ali. Mereka menyatakan bahwa tidaklah masuk akal ditinjau dari sifat keadilan dan kasih sayang (luthf) Tuhan terhadap ummat manusia jika dia mem¬biarkan masalah kepemimpinan (ima¬mah) ini tanpa keputusan. Pertimbangan rasional yang membuat perlunya Tuhan mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi juga menuntut bahwa dalam ketidakhadiran rasul-rasul tersebut, haruslah ditunjuk pemimpin-pemimpin yang tak bercacat untuk membimbing pengikut mereka. Kaum Syi’ah juga berargumentasi, terutama dalam menanggapi kritik-kritik dari pihak-pihak yang mempertahankan prinsip pemilihan bagi penganti-pengganti Nabi—bahwa masalah kepemimpinan ummat adalah masalah yang terlalu vital un¬tuk diserahkan begitu saja pada musyawa¬rah manusia-manusia biasa yang bisa memilih orang yang salah untuk kedudukan tersebut, dan karenanya bertentangan dengan tujuan wahyu ilahi. Hanya Allah-lah yang bisa mengenali individu-individu yang memiliki sifat-sifat berilmu, tak bercacat dan tak mungkin keliru (ishmah) dan dengan demikian dapat menjamin kejayaan wahyu-wahyu-Nya dengan menjadikan individu-individu tersebut dikenal melalui utusan-utusannya. Disinilah masalah-masalah mengenai pribadi-pribadi memasuki perdebatan, karena kaum Syi’ah berpendapat bahwa hanya orang-orang yang berhubungan dekat, atau mempunyai tali kekeluargaan dengan Nabi saja yang memiliki kualitas-kualitas seperti itu, dan orang ini tak lain adalah ’Ali dan keturunannya8[8]. Kelompok Ahlu sunnah secara keseluruhan yang nota bene adalah kelompok mayoritas umat Islam, berpendapat bahwa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin sah dan legitamate9[9] menurut prinsip-prinsip syariat. Berangkat dari premis ini, mereka berpandangan bahwa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan contoh atau prototipe yang menjadi sumber kaidah fundamental, teladan inspiratif, dan landasan-landasan pemerintahan Islami. Tidak mengherankan, karena fase ini merupakan periode para sahabat, yang nota bene adalah orang-orang yang hidup semasa dengan Rasullulah saw., yang menemani beliau dan turut serta didalam membangun negara bersama Rasullulah beserta kaum mukmin. Sahabat-sahabat Rasullulah adalah orang-orang yang memahami hakikat inti ajaran Islam dan mereka adalah panutan utama dalam agama setelah Rasullulah. Kesepakatan yang mereka lakukan adalah kesepakatan peringkat pertama dari hukum ijma ulama, karena mereka tentunya bersandar dalam berijma kepada apa yang mereka dengar dari sabda-sabda Rasullulah dan yang mereka saksikan dari tingkah laku Rasullulah, atau dari hasil ijtihad mereka di dalam menginterpretasikan Al-Qur’an dan dapat juga dari pemahaman mereka terhadap jiwa dan inti ajaran umat Islam. Konsep ijma merupakan salah satu sumber hukum yang disepakati dari berbagai sumber hukum Islam berdasarkan teks Al-Qur’an dan al-hadist. Ijma yang paling solid dan paling benar adalah ijma para sahabat yang selalu menyertai Rasullulah. Demikian juga ketika mayoritas sahabat bersepakat dalam satu hal, kese¬pakatan tersebut juga memiliki kapasitas sebagai sumber hukum yang layak diikuti dan dijadikan bahan pertimbangan. Kekhalifahan Abubakar Apa yang terjadi pada pertemuan Saqifah, baik beberapa pendapat-pendapat serta kesimpulan yang dihasilkan pada pertemuan tersebut. Tidak terdapat silang pendapat antara berbagai riwayat bahwa pertemuan itu berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama dalam Islam. Berbagai riwayat juga sepakat bahwa pemilihan itu dikuatkan dan diputuskan dengan baiat umum didalam masjid pada keesokan harinya. Setelah pebaiatan, Abubakar naik ke atas mimbar dan menyampaikan khotbah pelantikan dihadapan para jamaah. Khotbah itu meru¬pakan khotbah pertama yang menerangkan sistim pemerintahan Islam dan Abubakar berkata, inilah teks khotbah tersebut seba¬gaimana yang diriwayatkan oleh Imam10. Abubakar berkata—setelah mengu¬capkan tahmid dan pujian kepada Allah “Amma ba’du, Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah dijadikan wali (pemimpin) untuk kamu sekalian, padahal aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Jika aku melakukan kebaikan, bantulah aku, dan ketika aku melakukan kebatilan luruskanlah aku. Kejujuran merupakan perwujudan amanat, sedangkan kebohongan berarti pengkhianatan. Si lemah diantara kalian dalam anggapanku adalah si kuat, hingga aku mampu memberikan haknya dengan izin Allah dan si kuat diantara kalian adalah si lemah bagiku hingga aku mampu merampas hak orang lain darinya dengan izin Allah. Tidak seorangpun diantara kalian yang meninggalkan jihad dijalan Allah, karena sesungguhnya tidak ada satu kaumpun yang meninggalkan jihad kecuali Allah timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah merajalela perbuatan keji pada suatu kaum kecuali Allah sebarluaskan dalam kalangan kaum itu berbagai musibah. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ketika aku berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak harus lagi taat padaku” Didalam khotbah ini Khalifah Rasul menegaskan dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah pertama dalam sejarah Islam, hak umat untuk mengoreksi pemimpinnya, imam atau kepala negara yang dinobatkannya. Umat harus mendukung seorang khalifah ketika dia berbuat suatu kebaikan, umat berhak meluruskan khalifah, mengkritik, dan memberikan saran ketika dia berlaku salah. Dan Akhirnya umat tidak berkewajiban untuk taat kecuali ketika seorang pemimpin mengikuti dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya yakni perintah Islam dan syariatnya. Maka seorang pemimpin atau khalifah bukanlah pemimpin otoriter, melainkan terikat dengan syariat Islam atau undang-undang Islam. Prinsip tersebut disarikan dari khotbah yang bersejarah dan universal ini, disamping beberapa prinsip lain yang dikandungnya, yaitu kesetaraan dihadapan undang-undang, kesinambungan ditegakannya jihad demi kemulian Islam dan pemeluknya yang abadi, keharusan untuk memuliakan perbuatan-perbuatan yang terpuji (fadhilah) demi lenyapnya kejahatan di tengah masyarakat, serta keharusan bagi seorang pemimpin untuk bersifat jujur dan memegang amanat11[11] Diantara berbagai hal yang memprioritaskan Abubakar untuk dipilih dibandingkan yang lain, memiliki kredibilitas di mata khalayak serta berbagai keutamaan, reputasi kesejarahan yang mulia adalah sebagai berikut : “Abubakar adalah orang pertama dari kaum laki-laki dewasa yang masuk Islam. Ditanganya sejumlah orang dari kalangan sahabat berhasil diislamkan. Abubakar adalah teman Rasul dalam berhijrah, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’anul Karim, ’sedang dia salah seorang dari dua orang yang ketika keduanya didalam gua, diwaktu dia berkata kepada temannya:’janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita’(at taubah:40). Selain itu, Abu bakar merupakan orang yang paling sering menemani Rasulullah saw., dan dalam hal ini Nabi bersabda “sesungguhnya aku tiada mengenal teman yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagiku daripada Abubakar” Ketika Abu Bakar merasakan bahwa ajalnya telah dekat, di saat futuhat Islamiyah (perang pembebasan Islam) telah mulai meluas ke luar Jazirah Arab dengan berperang dalam dua front yang berbeda melawan kaum Persia dan Romawi, dan Abu Bakar khawatir akan persatuan umat akan pecah di saat yang genting seperti itu, dia memandang atas nama kemaslahatan kaum muslimin untuk menunjuk penggantinya secara langsung diantara paras sahabat, hingga perpecahan yang sempat terjadi di Saqifah pasca meninggalnya Rasulullah saw., tidak terulang lagi. Maka, beliau memilih seorang sahabat yang paling kuat dan mampu dalam situasi itu, yaitu Umar Ibnul Khatab, setelah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli wal’aqdi)12[12] Rais menyatakan, ketika sakratul maut setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, orang Majusi, Umar menunjuk enam orang sahabat besar, yaitu Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, az-Zubair Ibnul Awwam, dan Thalha bin Ubaidillah13[13] untuk bermusyawarah dan memilih salah seorang diantara mereka sebagai khalifah. Setelah bertanya pada khalayak ramai, mereka menyerahkan urusan penyelidikan dan permusyawarahan dengan rakyat kepada salah seorang diantara mereka, yaitu Abdurrahman bin Auf. Setelah bermusyawarah selama tiga hari berturut-turut, sebagian besar rakyat lebih memilih Utsman Bin Affan. Maka, diadakanlah pertemuan umum di masjid Madinah, pertemuan tersebut berakhir dengan diangkatnya Ustman sebagai khalifah yang diikuti pembaiatan oleh seluruh manusia secara aklamasi Berkaitan dengan kekhalifahan Ali, menurut Rais sesungguhnya pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digaris bawahi bahwa beliau adalah sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang kekhalifahan, sayangnya kondisinya tidak mendukung. Sayyidina Ali telah dibaiat oleh penduduk Madina, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak. Diantara yang ikut membaiat adalah kelompok pemberontak yang menentang Ustman, dan sebagain diantara mereka ikut bertanggung jawab atas darah kematian Ustman. Pembaitan Ali didukung pula oleh masyarakat Hijaz dan Irak, tetapi masyarakat Syam dibawah pimpinan Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur penaklukan di Syam menolak untuk membaiat. Ketika Ali meyakini bahwa kekhalifahannya sah dan terlaksana dengan pembaitan dari masyarakat Madinah, diapun berpendapat bahwa sudah menjadi kewajiban baginya untuk berupaya menyatukan negara dan menundukan orang-orang yang memberontak, hingga terjadilah peperangan-peperangan yang terkenal antara Ali melawan beberapa gelintir sahabat yang melarikan diri ke negeri Irak, dan juga antara Ali beserta para pendukungnya dari Hijaz dan Irak melawan Muawiyah berikut para pendukungnnya dari negeri Syam, kemudian peperangan antara Ali melawan kelompok Khawarij Catatan-catatan Haykal menyatakan dalam Islam tidak ada sistim yang baku yang harus dipegangi dalam pemilihan kepala negara. Sistim yang diterapkan Abubakar, berbeda dengan masa Khalifah Umar, dan seterusnya. Apalagi sistim pemilihan masa bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata lain, sistim pemilihan kepala negara dalam Islam mengalami perubahan mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris yang mengitarinya. Al-Qur’an dan Sunnah menurut Haykal tidak merinci bagaimana seharusnya sistim pemerintahan berlaku. Oleh karenanya dalam memilih kepala negara, dengan menggunakan ijtihad yang tentu tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan memilih kepala negara menurut Haykal mengarah pada pemilihan dengan pemilihan yang bebas dan Musyawarah. Haykal merujuk pada mekanisme pemilihan Khalifah masa Abubakar (Musdah Mulia,2001) Selain itu kepala negara seharusnya dipilih karena posisi dan prestasi dalam Islam, bukan karena faktor keluarga, atau kekayaan. Bahkan Haykal menyebutkan, hendaknya calon kepala negara tidak mencalonkan untuk dipilih, apalagi melakukan kampanye. Seluruh umat Islam menurutnya berhak untuk dipilih karena masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Selanjutnya kepala negara bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya, dan kepada rakyat yang membaiatnya. Konsep pemilihan kepala negara ketika masa Khulafaurrasyidin, menurut Haykal berbeda dengan masa bani Abbasiyah. Pertama, konsep pemikiran Arab bahwa keberadaan Abubakar dan Umar adalah manusia biasa, yang kemudian memperoleh kekuasaan dari rakyat untuk dipilih sebagai khalifah. Ketika keduanya dilantik, pidato pelantikannnya mencerminkan jabatannya sebagai kepercayaan umat. Kedua, konsep pemikiran persia bahwa khalifah mendapatkan hak memerintah dari Allah, bukan dari manusia, maka tanggung jawab kepemimpinannya hanya kepada Allah. Pada pidato pelantikannya mereka mencerminkan klaim bahwa posisinya adalah wakil atau bayangan Tuhan dibumi. Terlihat jelas dalam pemikiran mengenai sistim pemilihan kepala negara ini, Haykal menyatakan keberpihakannya pada golongan Sunni, bahwa kepala negara hendaknya dipilih bukan karena faktor keturunan. (Footnotes)
×
Berita Terbaru Update