-->

Notification

×

Iklan

Kawasan Mangrove dan Konsep Ecotourism

Wednesday, February 29, 2012 | Wednesday, February 29, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-02-29T07:05:23Z

(Sebagai bahan wacana pengembangan Pariwisata di Bima)
Oleh: Zulharman. S.Hut
IIndonesia memiliki kawasan mangrove yang sangat luas. Dari data Kementerian Kehu¬tanan tahun 2007 luas hutan mangrove Indonesia berda¬sar¬kan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009). Kawasan hutan mangrove adalah salah satu kawasan pantai yang sangat unik, karena keberadaan ekosistem ini pada daerah muara sungai atau pada kawasan estuary. Mangrove hanya menyebar pada kawasan tropis sampai subtropics dengan kekhasan tumbuhan dan hewan yang hidup disana. Keunikan ini tidak terdapat pada kawasan lain,
karena sebagian besar tumbuhan dan hewan yang hidup dan berasosiasi di sana adalah tumbuhan khas perairan estuary yang mampu beradaptasi pada kisaran salinitas yang cukup luas.
Berdasarkan data Dinas Kelautan Propinsi NTB, Kabupaten dan Kota Bima memiliki panjang pantai yang cukup potensial antara lain teluk Bima 78 km, Teluk Waworada 63 km, Teluk Sanggar 74 km, dan Teluk Sape 56 km. Potensi panjang pantai ini merupakan modal yang besar bagi pemerintah Kabupaten maupun Kota Bima untuk mengembangkan pariwisata dengan konsep Mangrove ecotourism.
Konsep Ecotourism pada kawasan mangrove. Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat menarik yang harus di wujudkan segera karena konsep ekowisata hutan mangrove sangatlah unik bukan hanya sebagai tempat hiburan saja tetapi juga sebagai tempat pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan pemeliharaan dan konservasi alam karena hutan mangrove mempunyai karaktre¬ristik dan kekhasan tersendiri
Eko-wisata dewasa ini menjadi salah satu pilihan dalam mempromosikan lingkungan yang khas yang terjaga keasliannya sekaligus menjadi suatu kawasan kunjungan wisata serta akhir-akhir ini ramai dikembangkan untuk digunakan sebagai sebuah objek wisata alter¬natif (alternative tourism) untuk menarik minat wisatawan dengan nuansa yang berbeda. Potensi yang ada adalah suatu konsep pengem¬bangan lingkungan yang berbasis pada pende¬katan pemeliharaan dan konservasi alam. Konsep ini sangat unik dengan pengembangan dan pelibatan sector management yang terpadu serta seluruh stakeholders’ yang terkait. Namun pada prinsipnya cukup sederhana dengan pola management lingkungan yang rill.
Konsep tersebut tidak akan terlepas dari:
1. Penataan Lingkungan Alami.
2. Nilai Pendidikan (Penelitian dan
pengembangan).
3. Partisipasi Masyarakat Local dan Nilai
Ekonomi.
4. Upaya Konservasi dan Pengelolaan
Lingkungan.
5. Minimalisasi Dampak dan Pengaruh
Lingkungan (tentunya dengan
beberapa strategi khusus).
Lantas mengapa mangrove sangat potensil bagi pengembangan konsep eko-wisata ini ?. Jawabannya ada pada kondisi mangrove yang sangat unik serta model wilayah yang dapat di kembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keaslian hutan serta organisma yang hidup disana. Untuk mudahnya kita bisa melihat beberapa contoh pengembangan kawa¬san wisata yang berbasis pada pemeliharaan lingkungan itu sendiri. Suatu kawasan akan bernilai lebih dan menjadi daya tarik tersendiri bagi orang jika di dalamnya terdapat suatu yang khas dan unik untuk di lihat dan di rasakan. Ini menjadi kunci dari suatu pengembangan kawasan wisata. Lebih jauh pada kawasan mangrove, dengan estetika wilayah pantai yang mempunyai berjuta tumbuhan dan hewan unik akan menjadi daya tarik tersendiri. Yang lebih penting lagi adalah nilai ekonomis, ekologis dan pendidikan yang sangat besar yang ada di kawasan hutan mangrove. Promosi pengem¬bangan hutan mangrove sebagai kawasan ekowisata harus lebih terpusat pada ketiga nilai tadi, tentunya dengan melihat pula keseim¬bangan ekologis dari seluruh potensi tadi.
Pelibatan masyarakat dalam strategi pengembangan dan kelangsungan. Masyarakat sebagai obyek pembangunan tidak bisa dilupakan dari perencanaan pembangunan, keberhasilan suatu penerapan kebijakan sangat ditentukan oleh bagaimana peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung kebijakan tersebut. Begitu juga dama pengem¬bangan ekowisata, seperti yang kita ketahui masyarakt didaerah Bima sebagian bermata pencaharian sebagai nelalan atau meman¬faatkan pesisir pantai atau lau sebagai tambak ikan maupun garam. Kebiasaan para nelayan mendaratkan perahu-perahu di sekitar tanaman mangrove serta jalan masuk atau keluar yang dibuat untuk jalan perahu dapat merusak tanaman di samping budaya membuang sampah dan polutan lain secara sembarangan di wilayah pesisir yang mengakibatkan tercemarnya hutan mangrove.
Dengan melihat hal tersebut masyarakat lokal merupakan variabel penentu dari kelestarian hutan mangrove, sehingga jika Pemda dan Pemkot Bima membuka ekowisata hutan mangrove harus melakukan upaya pengelolahan secara terpadu serta melibatkan seluruh stakeholders yang terkait, mulai dari level komunitas, masyarakat lokal, pemerintah, dunia usaha atau investor dan organisasi non pemerintah (LSM dll). Hal ini diharapkan akan terbangunnya struktur jaringan untuk menjalan¬kan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing dalam pengelolahan ekowisata hutan mangrove.
Berkaitan dengan pengelolaan ekowisata hutan mangrove secara terpadu dengan melibatkan masyarakat lokal dibutuhkan suatu strategi yang tepat agar bisa berjalan sesuai dengan tujuan ekowisata tersebut. Penge¬lolahan ekowisata yang berbasis masyarakat (community based ecotourism) merupakan pilihan yang tidak bisa dielakkan dalam membangun ekowisata hutan mangrove di Kabupaten dan Kota Bima.
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan ekowisata yang menitik beratkan peran aktif komunitas lokal. Hal tersebut di dasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam, sejarah serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak bahkan partisipasi masyarakat di artikan secara lebih luas yaitu harus dilibatkan dalam taraf perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan (Mubyarto & Sartono, 1988).
Ekowisata hutan mangrove berbasis masyarakat juga dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat dan mengurangi kemiskinan, di mana ekowisata dapat meningkatkan taraf hidup dari jasa-jasa wisata untuk turis misalnya sebagai pemandu; sewa perahu, ongkos transportasi, menjual alat tangkap ikan, menjual kerajinan, dll. Ekowisata juga membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.
Untuk menciptakan ekowisata yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism) perlu stimulasi agar peran masyarakat meningkatkan dalam ekowisata ini, hal ini bisa dilakukan dengan pola pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang merupakan meto¬de pendekatan partisipatif yang menekankan pada upaya-upaya peningkatan partisipatif masyarakat lokal dalam mengkaji lingkungan sekitarnya untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi khusus¬nya yang terkait dengan pelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga dengan metode tersebut diharapkan pelaksanaan pembangu¬nan ekowisata hutan mangrove di Kabupaten dan Kota Bima tersebut cepat diterima oleh masyarakat lokal dan segera dapat di wujudkan. Dan ini merupakan tugas bersama kita, baik pemerintah kota dan masyarakat Kabupaten dan Kota Bima pada umumnya
Model pengelolaan ekowisata hutan mangrove berbasis masyarakat dengan melibatkan peran aktif masyarakat lokal bukan berarti meninggalkan peran dunia usaha atau pihak swasta. Pihak swasta juga sebagai unsur pembentuk pengelolahan ekowisata secara terpadu. Tanpa pihak swasta pengelolahan ekowisata ini akan lemah, karena pihak swasta mempunyai keungulan dalam mengelola industri pariwisata secara profesional dan mempunyai managemen modern dalam mengembangkan industri kepariwisataan disamping itu pihak swasta juga memiliki modal yang memadai dalam mengonsep ekonowisata yang menarik dari mulai membangun pencitraan (branding), pemasaran (marketing), promosi hingga pengembangan (developing).
Sementara peran serta pemerintah dapat sebagai fasilitator, regulator dan stimulator pembangunan ekowisata yang berkelanjutkan, Dan yang tidak kalah penting membangun kesepakatan dan kerjasama pihak-pihak yang terkait dalam mengelolah ekowisata hutan mangrove atas dasar manfaat, proporsional dan keadilan, tidak ada pihak yang di rugikan dalam pengelolaan tersebut. Sedangkan pihak non pemerintah dapat ditempatkan sebagai fungsi kontrol dalam pelaksanaan ekowisata yang telah berjalan. Dengan demikian upaya mewujud kan ekowisata hutan mangrove di sebagai sektor pariwisata yang berbasis wisata bahari dan pantai harus segera terwujud. Pengelolahan ekowisata yang berbasis masya¬rakat sangat diperlukan dalam pelaksanaan industri pariwisata ini. Sehingga eksploitasi atas kawasan mangrove di Kabupaten dan Kota Bima dapat berdampak positif bagi masyarakat sekitar dan lingkungan ekologi kawasan mangrove itu sendiri sehingga konservasi hutan mangrove sebagai Kawasan Lindung tetap terjaga secara berkelanjutan.
Dari Amahami sampai Lawata dan Panda. Jika orang Bima ditanya tentang tempat-tempat wisata yang berada di Bima, salah satu jawaban yang niscaya disebutkan adalah: Lawata. Lawata memang sudah sejak dulu menjadi sebuah obyek wisata atau tempat piknik bagi masyarakat Bima. Lawata terletak hampir di luar kota Bima, berupa sebuah “tonjolan” ke teluk Bima. Di Lawata terdapat sebuah bukit kecil yang memiliki beberapa buah gua kecil. Pantainya bukanlah tempat yang bagus untuk bermain air, namun air (laut)nya bisa dibilang cukup jernih walaupun kadang berlumpur dan banyak batu-batu yang berserakan. Karena historinya, Lawata kemudian “dibangun”, dibuat¬kan banyak “cottage” yang berderet di sepan¬jang pantainya. Setiap cottage memiliki bagian “dalam” yang bisa digunakan untuk lesehan, bagian luar/depan yang bisa digunakan untuk memandang ke arah laut/teluk, dan tempat berbeque di sebelah luar/belakang. Tampaknya, setiap cottage cukup untuk sebuah keluarga atau rombongan yang lebih dari 10 orang.
Namun sayang sekali, selama beberapa tahun terakhir ini, tempat tersebut terkesan sangat berantakan dan rusak parah. Ketika memasuki gerbang, pintu gerbang yang dipa¬sangi portal kayu yang dibebani batu mengha¬langi, namun kita bisa melepaskannya sendiri karena tidak ada petugas yang menjaga. Setelah masuk, ada lagi portal kayu yang merintangi mobil masuk ke arah pantai.
Pemandangan seperti penjelasan di atas tentu mengundang pertanyaan dibenak kita sebagai warga Bima, pertanyaan yang paling sederhana adalah selama ini apa peran pemerintah selaku pengelola daerah ??
Apakah perkembangan wisata Amahami saat ini dikatakan sebagai prestasi pemerintah kota Bima ? menurut saya tentu tidak. Daerah pesisir di sepanjang pantai setelah terminal Dara sampai Lawata dan bahkan Panda pada awal perkembangannya dijadikan sebagai tempat wisata mesum bagi anak muda, pelajar dan mahasiswa yang ada di Bima. Tidak hanya itu, kerusakan mangrove dan banyaknya sampah yang bertebaran di pantai ditengarai akibat dari pengelolaan wisata dadakan daerah tersebut yang pengelolaannya tidak diatur dengan baik oleh pemerintah Kota Bima.
Oleh karena itu ekotoursm menjadi solusi terbaik untuk mengembangkan pariwisata dise¬panjang pesisir pantai Amahami dan Lawata serta Panda. Konsep pengembangan eko¬toursm di sepanjang Pantai Amahani tersebut dilakukan dengan pola seperti yang ada di Mangrove Information Center Denpasar Bali.
Konsep tersebut menawarkan wisata alami kepada pengunjung untuk berada di dalam kawasan wisata dan hutan mangrove melalui jalur-jalur jalan yang sudah dibuat serta dapat menikamti pemandangan melalui menara-menara yang tersedia untuk berfoto dan lain sebagainya. Konsep ini saya rasa sangat menarik pehatian para wisatawan baik domestik maupun manca negara. Kemudian langkah awal yang harus dilakukan adalah menanam mangrove disepanjang pantai tersebut.*)

Dosen Prodi Kehutanan UMM Malang.
HP. 081945303209
×
Berita Terbaru Update