-->

Notification

×

Iklan

Ribuan Mahasiswa Desak Pertanggung-jawaban Bupati Bima

Monday, January 2, 2012 | Monday, January 02, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-02T01:44:20Z
Bima, Garda Asakota.-
Aksi unjuk rasa pasca pembubaran paksa Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) di Pelabuhan Sape, menuai solidaritas dari elemen masyarakat maupun mahasiswa. Selasa (27/12), sekitar 1.000 lebih massa yang juga tergabung dalam FRAT beserta sejumlah elemen lainnya menggelar aksi di depan Kantor Bupati Bima. Dalam aksinya, mahasiswa menuntut Bupati dan Polri bertanggugjawab
penuh atas insiden yang mengakibatkan tiga warga Lambu tewas, dan meminta Bupati Bima, Ferry Zulkar¬nain, mencabut SK 188 serta mengundurkan diri dari jabatannya, karena dinilai lalai dalam menjalankan amanah rakyat.
Sejak pukul 09.00 wita, ratusan maha¬siswa memadati perempatan jalan Soekarno-Hatta-Gatot Subroto dan bergerak hingga persis depan kantor Bupati Bima. Jenderal Lapangan, Erik Fajrin, mengungkapkan bahwa, aksi brutal yang dilakukan oleh aparat merupakan tindakan represif yang dibenarkan. Rakyat yang tidak bersalah ditembak seperti bukan seorang manusia.
“Ini nyata. Warga Lambu dengan luka tertembak, menjadi tanggungjawab Bupati Bima dan Kapolri. Sebab bila tidak adanya SK 188 yang diterbitkan Bupati, maka penembakan tersebut tak akan terjadi,” ucapnya. Hal senada juga disuarakan per¬wakilan mahasiswa, Ahmad. Dia menilai, pertambangan merupakan kaki tangan imperialisme dan kapitalisme gaya baru. Jika berbicara tambang, maka berbicara penanaman modal, sedangkan sifat penanam modal, hanya ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
“Untuk itu kami me¬no¬lak kehadiran tambang karena hanya mengambil hasil bumi saja, sehingga hanya keuntungan yang dikejar oleh investor,” imbuhnya. Terkait dengan insiden penemba¬kan di Sape yang melukai dan menewaskan warga Lambu, Ahmad menduga adanya konsiprasi oknum penguasan dengan investor.
Akademisi dari STKIP Bima, Drs. Nasution, MPd, dalam orasinya mengung¬kap¬kan bahwa pembubaran paksa massa FRAT di Pelabuhan Sape merupakan sebuah pembantaian. Dosen senior STKIP inipun meminta agar Kapolri menarik semua pasu¬kan¬nya di wilayah Lambu. “Tarik semua pasukanmu Kapolri. Untuk Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, kami minta pertanggung¬jawaban atas kematian dan luka-luka yang dialami oleh masyarakat Lambu. Jika SK 188 itu tetap tidak dicabut, maka mahasiswa dan masyarakat tak akan pernah berhenti berjuang agar SK tersebut dicabut,” tegas¬nya. Tidak puas satu persatu menyampaikan orasi di perempatan gunung dua, akhirnya massa aksi melakukan orasi tepat di depan gerbang Kantor Bupati Bima.
Mereka se¬cara bergantian berorasi dengan meneriak¬kan dengan lantang dan meminta Bupati mundur dari jabatan, massa aksi juga membawa keranda sebagai bentuk telah matinya sebuah demokrasi di tanah Bima serta membakar ban bekas. Selang beberapa saat kemudian, massa semakin banyak karena Ratusan mahasiswa STKIP Taman siswa juga hadir dan bergabung dengan massa yang lebih awal hadir. Namun sayangnya, sekitar pukul 14:00 wita aksi demo itu berakhir ricuh, menyusul pelem¬paran yang diduga dilakukan oleh massa. Massa yang umumnya merupakan maha¬siswa sejumlah perguruan tinggi di Bima ini mencoba merangsek masuk ke Kantor Bupati yang dijaga oleh ratusan aparat Polres Bima Kota. Namun ketika mencoba merangsek masuk, tiba-tiba terdapat lem¬paran batu dari kerumunan massa ke arah barikade aparat hingga aksi-pun buyar. Aparat kemudian mengejar kerumunan massa yang berlari menyelamatkan diri hingga ke Puskesmas Sadia yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi. Namun ketika dikejar, massa yang masih beringas justru berbalik mengejar aparat. Aksi saling kejar pun berlangsung cukup lama hingga akhirnya aparat menggunakan kendaraan water cannon. Guna memukul mundur massa, aparat juga mengeluarkan tembakan peringatan dan gas air mata. Tak pelak situasi pusat perkantoran ini sempat mencekam beberapa saat. Beberapa saat massa akhirnya berhasil dipukul mundur.
Usai aksi massa dari FRAT, di tempat yang sama beberapa saat kemudian aksi unjuk rasa juga datang dari Warga Keca¬matan Ambalawi dan Wera, Rupanya aksi penolakan terhadap tambang terus meluas. Warga dari Ambalawi dan Wera ini menolak kegiatan ekploitasi Tambang Pasir Besi.
Pasalnya, selain karena jarak antara kegiatan tambang yang seharusnya 4 mil dari bibir pantai dan mengambil pasir yang berada di bawah rumah warga, juga karena warga tak pernah menikmati hasil pertambangan itu. “Kami generasi Bima tidak akan tinggal diam atas insiden ini. Atas nama rakyat Lambu, Sape, dan Langgudu, cabut SK: 188 harga mati,” ucap korlap aksi, M. Arif. (GA. 334*)
×
Berita Terbaru Update