-->

Notification

×

Iklan

Gerakan Cabut SK: 188 Meluas di Sejumlah Daerah

Monday, January 2, 2012 | Monday, January 02, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-02T00:27:04Z
Jakarta, Garda Asakota.-
Aksi solidaritas mengutuk kekerasan aparat keamanan yang membubarkan paksa massa Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) di Pelabuhan Sape Kabupaten Bima hingga menewaskan tiga orang demonstran, marak berlangsung di beberapa daerah. Mahasiswa menuntut agar tindakan represif aparat yang diduga melanggar HAM ini diusut tuntas.
Gubernur NTB, Bupati Bima, Kapol¬resta Bima serta Kapolri didesak mundur. Mereka dianggap paling bertanggungjawab terhadap tragedi Bima berdarah yang mereng¬gut korban jiwa. “Adili Bupati Bima Ferry Zulkarnain karena dianggap paling bertanggungjawab atas insiden kemanusiaan itu,” kata Muhammad Buhais, Selasa (27/12).
Desakan agar Kapolri, Timur Pradopo mundur juga menguat disuarakan aliansi yang terdiri dari Ikatan Mahasiswa Bima (IMBI) Jakarta, Forum Komunikasi Indonesia Timur (Forkom) dan Himpunan Maha¬siswa Islam (HMI) Komisariat Unindra. Mereka menilai polisi gagal menjadi pelin¬dung, pelayan dan pengayom masyarakat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun wartawan di berbagai situs internet, aksi dimulai dari depan kampus Unindra (Universitas Indraprasta), Pasar Minggu dan berlanjut di Bundaran HI. Di Bundaran HI unjukrasa sempat memanas karena aksi bakar ban bekas yang dihalang-halangi polisi. Mahasiswa menilai pertambangan di Bima akan sangat merugikan rakyat karena dampak lingkungan yang bakal ditimbul¬kannya, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. “Sumber-sumber mata air untuk irigasi dan minum penduduk akan mengering karena aktivitas penambangan. Belum lagi limbah tailing yang dihasilkan¬nya, akan membahayakan warga jauh ke¬depan,” ujar seorang mahasiswa asal Mbojo, Bima. Usai dari Bundaran HI, massa yang sebagian besar merupakan kader HMI tersebut bergerak ke Sekretariat PB HMI di Jalan Diponegoro, mendemo PB HMI yang dianggap diam dan tidak meng¬ambil sikap atas kasus yang terjadi di Bima.
Tewasnya tiga orang warga dalam aksi pembubaran paksa massa aksi Anti Tam¬bang yang memboikot Pelabuhan Sape, juga mengundang keprihatinan yang mendalam diseantero Negeri lainnya. Tak terkecuali juga warga Bima perantauan yang bermu¬kim di Provinsi Banten. Bahkan Sukardin, aktivis mahasiswa yang juga warga perantau asal Bima di Tangerang, memberikan dua pilihan kepada Bupati Bima, Ferry Zulkar¬nain, yakni mencabut ijin pertambangan yang ada di Kec.Sape, Lambu, dan Lang¬gudu atau mundur secara baik- baik dari jabatannya sebagai Bupati Bima saat ini.
Sukardin menegaskan, jika Fery tidak memilih antara dua pilihan tersebut, maka pihaknya bersama 5.000-an warga Bima perantauan di Tangerang akan pulang kampung dan menurunkan paksa Ferry dari jabatannya. “Kami memberikan waktu 7X24 jam kepada Fery untuk menentukan sikap. Karena tragedi yang terjadi di Sape kemarin, akibat Ferry tidak mendengarkan aspirasi rakyat,” tegasnya.
Sejak awal, lanjutnya, masyarakat di dua Kecamatan tersebut, menolak keras adanya usaha pertambangan di wilayah mereka. Hanya saja penolakan masyarakat itu tidak didengar oleh Bupati dan jajarannya. “Padahal siapa sih yang menikmati hasil tambang itu? Yang paling banyak menikmati keuntungan kan hanya mereka yang berkuasa dengan lalim,” cetusnya.
Selain itu, Sukardin juga meminta Presi¬den SBY, agar segera mencopot Kapolri, Kapolda NTB, dan Kapolres Bima. “Kapol¬ri dan jajarannya harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat di Bima,” tegasnya menambahkan, sebagai bentuk solidaritas atas timbulnya korban terkait aksi penolakan tambang di Sape dan Lambu, pihaknya akan menggelar aksi dengan sekitar 3.000 massa yang akan berkonsen¬trasi di Citra Raya, Tangerang, Banten.
Di Solo, sebanyak 16 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Selasa (27/12), ditangkap oleh aparat kepolisian setempat setelah terjadi bentrok dalam aksi solidaritas atas tragedi penembakan warga sipil di Bima, Nusa Tenggara Barat. Di Manado, puluhan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Manado Anti-Kekerasan berunjuk rasa di Jalan Ahmad Yani, Manado, Sulawesi Utara, Selasa (27/12). Sambil membentang¬kan spanduk dan poster, mereka berorasi mengecam tindakan represif polisi yang berakibat tewasnya sejumlah warga. Aksi sempat diwarnai ketegangan ketika polisi berusaha membubarkan demo karena dinilai tidak ada izin. Untuk menghindari bentro¬kan, polisi akhirnya membiarkan pengunjuk rasa menyelesaikan aksinya.
Di Garut, Jawa Barat, mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menggelar unjuk rasa mengecam keras tindakan refresif polisi terhadap warga saat melakukan aksi termasuk di Bima. Aksi diawali di kawasan Bundaran Simpang Lima, Garut, dengan membentangkan spanduk berisi foto-foto korban kekerasan yang diduga akibat tindakan refesif aparat. Mahasiswa bergerak ke kawasan perkanto¬ran Pemkab Garut. Mahasiswa berorasi mempertanyakan dan menyesalkan sikap aparat yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan dalam menangani unjuk rasa.
Sementara itu, di Medan, aksi digelar ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sumatra Utara. Mereka berunjuk rasa ke Kantor DPRD Sumut. Sempat terjadi aksi saling dorong antara polisi dan mahasiswa yang merangsek hendak memasuki kantor DPRD. Mahasiswa kesal karena unjuk rasa mereka tak mendapat tanggapan dari anggota dewan. Aksi serupa digelar mahasiswa di Tangerang, Banten. Dalam aksi itu, mahasiswa meminta Kapolri dicopot dari jabatannya karena dianggap bertanggung jawab atas insiden di Bima itu. Di Jember, Jatim, puluhan mahasiswa yang bergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jember menggelar aksi solidaritas untuk korban Bima di DPRD Jember, Jawa timur, Selasa (27/12) ini. Mereka mengutuk aksi penembakan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil dan mahasiswa sampai menelan korban jiwa. Untuk itu, mahasiswa mendesak Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) segera terjun langsung untuk mencari fakta di lapangan. Selain itu, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kemungkinan ada korupsi pada proses terbitnya surat perizinan tambang.
Di Mataram, sekitar 300 orang dari berbagai organisasi menggelar demonstrasi dengan cara menutup ruas jalan di perem¬patan Bank Indonesia, Mataram. Dalam aksi yang dipimpin Ali Usman Alkhairi, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, menuntut agar Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Brigadir Jenderal Arief Wachyunadi mundur dari jabatannya. Ratusan mahasiswa tersebut menggelar long march dari Universtias Mataram dan berkumpul di Bundaran Bank Indonesia. Mereka menggelar spanduk dan poster bertuliskan kecaman terhadap tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian saat membubarkan masa di Pelabuhan Sape, Bima. Di Surabaya, Ikatan Mahasiswa Muham¬madiyah (IMM) Jawa Timur menggelar aksi demo di depan Mapolda Jatim Jalan A Yani Surabaya. Puluhan massa dengan membentangkan spanduk berisi kecaman, di antaranya mengecam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disebut bukan pemimpin rakyat. Di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, sedikitnya belasan mahasiswa yang terdiri dari Ikatan Mahasiswa Mohammadiyah (IMM) Cabang Tuban menggeruduk Markas Polres Tuban. Dalam aksinya, mereka telah memblokade jalan yang ada di depan Mapolres Tuban sehingga arus lalu lintas sempat macet
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam ‘Kerukuran Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Bima’ (KKPMB) di Malang, juga menggelar aksi di depan Alun-alun Kota Malang dengan pengawalan ketat petugas kepolisian. Aksi puluhan mahasiswa ini menyikapi insiden berdarah yang me¬reng¬gut nyawa warga Bima atas penolakan pembukaan tambang emas. Sebelumnya, mahasiswa akan menggelar aksi di depan Mapolres Malang Kota. Namun, rencana itu batal dilakukan, karena tidak mendapat izin dari polisi. Selain mahasiswa asal Bima, aksi ini juga diikuti elemen mahasiswa lain, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muslim (IMM). “Rencana kami demo di depan Mapolres Kota Malang, tapi tak diperbolehkan,” ujar Koordinator aksi Idhar, Senin (26/12/2011).
Menurutnya, penolakan aksi demo depan Mapolres Malang Kota itu karena alasan keamanan. Guna menghormati aparat kepolisian, lokasi demo kemudian dialihkan menuju alun-alun. “Katanya demi alasan keamanan,” tuturnya. Dalam aksinya, mahasiswa mendesak Bupati Bima Ferry Zulkarnain turun dari jabatannya, setelah melakukan tindakan tak terpuji kepada rakyatnya sendiri. Selain itu pengeluaran izin eksplotasi sumber daya alam sangat merugikan rakyat Bima.
“Pemerintah Bima telah terbukti menin¬das rakyatnya,” teriak mahasiswa dalam orasinya. Mahasiswa menyayangkan, peno¬lakan masyarakat Bima itu dibalas dengan sebuah tindakan keras sehingga menghilang¬kan tiga nyawa serta puluhan orang luka-luka, setelah aparat kepolisian bertindak tanpa menyadari sebagai pengayom masyarakat. Aksi mahasiswa ini mendapat pengawalan super ketat dari aparat kepolisian yang jumlahnya melebihi peserta aksi. Sebelumnya mengakhiri aksinya, para mahasiswa menggelar aksi teatrikal sebagai gambaran insiden berdarah 24 Desember 2011 lalu. . (hminc/dtc/kmpc*)
×
Berita Terbaru Update