-->

Notification

×

Iklan

Adili Bupati Bima

Tuesday, January 17, 2012 | Tuesday, January 17, 2012 WIB | 0 Views Last Updated 2012-01-17T01:04:08Z

Bima, Garda Asakota.-
Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, diminta bertanggung-jawab atas insiden Lambu berdarah di kawasan Pelabuhan Sape 24 Desember 2011 lalu. Desakan itu disuarakan oleh belasan perwakilan organisasi maha¬siswa seperti LMND, SMI, IMI, HMI MPO, KAR, IMAWI, dan KMLB, dalam aksi demonstrasi yang dihelat di depan kantor Bupati Bima, Jumat (13/1). Menurut para pendemo SK 188 tentang pemberian ijin pertambangan kepada PT. SMN sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan yang me¬nelan korban jiwa. Para orator diantara¬nya Muhdar, Alvon, Ma’arif, Cimenk, Mawardin, Haeruddin, Rizka, Ade, Rustam, Adhar,
dan Daus, menuding SK yang dike¬luarkan oleh Bupati Bima itu cacat hukum karena lahir berdasarkan keinginan sepihak kekuasaan. “Penembakan aparat terhadap warga Lambu dipicu SK sepihak yang dike¬luarkan oleh Bupati Bima, dan ini menun¬juk¬kan ketidak-mampuan Bupati Bima dalam memimpin daerah,” teriak mahasiwa.
Menurut pendemo yang mengatasnama¬kan Front Rakyat Anti Tambang ini, Pemkab Bima dibawah kepemimpinan Ferry tidak lagi berpihak pada rakyat, padahal kekua¬sa¬an Ferry saat ini bukan milik pribadinya, ta¬ pi milik rakyat. Tindakan Bupati Bima yang tidak merespon tuntutan belasan ribu war¬ga Lambu, Sape, dan Langgudu yang meng¬hendaki pencabutan SK 188 itu sejak seta¬hun lalu hingga berujung tewasnya tiga orang warga dalam insiden berdarah akhir De¬sem¬ber lalu, merupakan persoalan rakyat yang harus dipertanggung-jawabkan oleh Bupati Bima baik secara moral maupun se¬cara hukum. “Pemerintah daerah sudah ti¬dak mampu lagi melindungi dan meng-ayomi rakyatnya,” ujar Korlap Aksi, Muhdar.

Pantauan langsung Garda Asakota, aksi para mahasiswa pergerakan ini secara tegas meminta Bupati Bima segera menemui massa aksi untuk menjelaskan keberadaan SK 188 dan dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Kecamatan Sape-Lambu. Massa mengancam, bila Bupati tidak bisa keluar menemui mereka, maka akan dilakukan pen¬jemputan. “Kami akan melakukan penjem-putan,” teriak Korlap. Namun sayangnya, setelah berjam-jam menggelar orasi bebas di depan kantor Bupati Bima, hingga menjelang shalat Jumat, Bupati Ferry yang diharapkan hadir di tengah massa aksi tidak kunjung ada. Namun demikian, meski tidak mendapat respon dari Bupati Bima, para mahasiswa tetap berkomitmen menjadi garda terdepan untuk melawan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Selain mengecam kebijakan Bupati Bima, para mahasiswa juga mengutuk tinda¬kan aparat Kepolisian yang membubarkan massa aksi FRAT secara brutal. Untuk itu, para mahasiswa mendesak agar Kapolri, Kapolda NTB, dan khususnya Kapolresta Bima ikut bertanggung-jawab dan dicopot dari jabatannya. Bukan hanya LMND, SMI, IMI, HMI MPO, KAR, IMAWI, dan KMLB, yang menyuarakan hal itu, dalam aksi yang digelar sejumlah elemen pergerakan di depan kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Taman Siswa, 7 Januari lalu, juga menuntut hal serupa. “Adili Bupati Bima dan Polri harus bertanggungjawab, bebaskan semua tahanan dalam insiden Lambu dan hentikan pengejaran, penyidikan terhadap rakyat dan mahasiswa serta hentikan seluruh pertam¬bangan di Kabupaten Bima,” tegas Korlap Aksi, Jaharuddin, saat aksi demonstrasi di depan kampus STKIP Taman Siswa bersa¬ma sedikitnya 6 OKP se-Kota dan Kabu-paten Bima, Sabtu lalu. Ke-6 OKP itu adalah dari BEM STKIP Taman Siswa, LSIP, SMI, LIMID, KAMI dan JIMAP.

Desak Cabut SK 188 Belasan Ribu Warga Lambu Rapat Akbar
Sementara itu, selain belasan organisasi mahasiswa yang menggelar aksi menuntut pertanggung-jawaban Bupati Bima, Jumat (13/1), belasan ribu warga di tiga Kecama¬tan Kabupaten Bima yakni kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu, juga meng¬gelar demonstrasi dan mimbar bebas untuk menolak SK Bupati Bima Nomor 188 ten¬tang pemberian izin pertambangan. Aksi sekitar 15 ribu warga ini dipusatkan di lapangan Temba Romba Desa Rato Keca¬matan Lambu. “Belasan ribu warga di tiga kecamatan sengaja menggelar aksi ini untuk menyampaikan suaranya terkait penolakan SK Bupati nomor 188,” ujar koordinator aksi, Mulyadi, kepada wartawan.
Berdasarkan informasi wartawan, dalam aksinya ini, massa menolak adanya petugas keamanan baik dari kepolisian maupun TNI. “Warga sudah melarang adanya petugas, selain wartawan dilarang masuk. Kita hanya mau melakukan mimbar bebas, buat apa ada polisi,” terang Mulyadi.
Menurut penuturan warga, salah satu tujuan utama aksi demonstrasi dan mimbar bebas ini dalam rangka konsolidasi gerakan pencabutan SK 188. Selain di lapangan Temba Romba, aksi demonstrasi meminta pencabutan SK Bupati Bima juga terjadi di titik lainnya yakni di kantor Gubernur NTB dan Kementerian ESDM Jl Thamrin Jakarta Pusat. Warga menolak SK Bupati Nomor 188 karena menyuburkan praktik pertam¬bangan oleh perusahaan besar, tetapi tidak mensejahterakan rakyat Bima.
Kemarin, demo menuntut pencabutan SK Bupati Bima 188 rupanya digelar serem¬pak di empat titik. “Hari ini ada empat demo serentak menolak SK Bupati Bima No 188 yang tidak pro terhadap rakyat. Kita akan gelar demo dan aksi mimbar bebas,” ujar Ketua Serikat Tani Nasional NTB, Ahmad Rivai saat dihubungi detikcom, Jumat.
Mahasiswa Mataram Desak Cabut SK 188 Bupati Bima
Sekitar seratus lebih mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat (PR) Nusa Tenggara Barat untuk Lambu Berda¬rah melakukan aksi demo di depan kantor gubernur NTB Jumat (13/1) mendesak pencabutan SK.188 bupati Bima tentang ekplorasi tambang oleh PT.Sumber Mineral Nusantara (PT.SMN). “Cabut SK.188 sekarang juga karena hanya akan menyeng¬sarakan rakyat,” kata Abdul Rifai koordi¬nator aksi kepada wartawan di sela-sela aksi demo berlangsung. Para mahasiswa tersebut berasal dari sejumlah element diantaranya, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Sayap Selatan Sumbawa, Federasi Nelayan, Tani Buruh (FS-NTB) Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI), Partai Rakyat Demokrat (PRD) dan Serikat Tani Nasional (STN). Menurut mereka, SK188.45/357/004/2010 yang diberikan kepada PT.SMN tidak berdiri sendiri melainkan ditopang oleh kebijakan pemerintah Provinsi NTB dengan mengeluarkan surat rekomendasi No.540/086/adm.ekon tentang pinjam pakai kawa¬san hutan untuk kegiatan eksplorasi yang diberikan kepada PT.SMN pada 26 Februari 2011. Rekomendasi gubernur NTB itu sebut mereka, berdasarkan rekomendasi Dinas Pertambangan dan Energi NTB tanggal 27 Februari 2010 tentang pertimbangan tehnis atas permohonan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT.SMN termasuk rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Kehutanan.
Melalui pernyataan sikap, para pendemo menuntut agar pemerintah Provinsi NTB bersurat kepada bupati Bima, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Presiden RI agar SK.188.45/357/004/2010 tentang Perse¬tujuan Penyesuaian Izin Usaha Pertam¬bangan Eksplorasi yang diberikan kepada PT.SMN supaya dicabut.
Meminta kepada gubernur NTB mencabut surat rekomendasi No.540/086/adm.ekon yang pernah dikeluarkan serta membatalkan rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Pertambangan dan Energi maupun surat rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Kehutanan. Pendemo juga menolak kebera¬daan Pansus konflik Agraria yang dibuat pemerintah pusat karena dianggap akan menyumbat perjuangan kaum tani.
“Bukan Pansus konflik Agraria yang kami butuh, tapi Panitia Nasional Penye¬lesaian Konflik Agraria yang dibentuk dari pusat hingga ke desa-desa,” kata Rifai. Mereka juga meminta bupati Bima mundur dari jabatannya, adili, copot Kapolda NTB, Kapolresta Bima dan kabupaten Bima sebagai bentuk pertanggunghjawaban serta bebaskan mahasiswa yang masih ditahan. (GA. 212/detik.com/mic*)
×
Berita Terbaru Update