-->

Notification

×

Iklan

Mereka Bukan Pemberontak, Tapi Para Pengunjuk Rasa

Tuesday, December 27, 2011 | Tuesday, December 27, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-12-27T03:32:23Z

Oleh: Imam Ahmad
Siapa yang tidak tergiur ketika mengetahui bahwa perut bumi di Negeri ini mengandung emas, tembaga, uranium dan berbagai potensi tambang lainnya. Pikiran untuk ingin cepat kaya pun lang¬sung muncul. Berbagai upaya pun dilakukan agar perut bumi itu bisa segera ditambang. Berapun cost nya tidak diperdu¬likan, meski nyawa, kredibilitas dan bahkan kekuasaan diperta¬ruh¬kan untuk itu. Segala retorik dan jargon yang serba utopis pun dikons¬truksikan untuk meyakinkan rakyat dan pemilik
lahan agar rela melepas¬kan hak mereka atas lahan itu guna eksploitasi tambang. Maka ketika eksploitasi itu dilakukan, konsekuensinya seluruh rakyat akan sejahtera. Tidak ada lagi rakyat miskin, tidak ada lagi kesengsaraan. Yang ada adalah rakyat bahagia. Konstruksi retorik dan jargon palsu itu pun terus ditanamkan oleh kekuasaan dan alat-alat kekuasaannya ke alam pikiran rakyat jelata. Seolah-olah rakyat miskin gampang ditipu dengan kata-kata retoris penuh kepalsuan itu. Seolah-olah ketika diperdengarkan kata-kata ’emas’, rakyat polos itu gampang tergiur oleh mereka. Padahal tidak seperti itu, mereka tidak tergiur untuk menjadi kaya dengan mengoyak-ngoyak perut bumi. Mereka lebih suka menjaga alamnya dengan bercocok tanam dan berladang. Dengan hasil ala kadarnya, mereka juga mampu mencerdaskan anak keturunannya. Menyekolahkan mereka hingga mereka menjadi manusia-manusia yang cerdas, berani, dan tetap bersahaja.
Namun, konsepsi natural mereka untuk hidup sederhana dan mencintai alam ternyata tidak berkohesi kuat dengan syahwat kekuasaan yang cenderung ingin memaksakan eksploitasi alam ini guna memenuhi tujuan-tujuan kapitalistis sang pemilik modal. Sang pemilik modal karena cenderung telah menggelontorkan dana besar memaksakan kehendaknya untuk segera menguasai bongkahan-bongkahan emas yang telah dibayarnya lewat kantong kekuasaan.
Cara baru pun ditempuh yakni mengadu mereka dengan aparat kepolisian saat mereka melakukan aksi penolakan eksploitasi tambang. Di Freeport sendiri milyaran rupiah digelontorkan perusahaan tambang itu untuk membiayai aktivitas pengamanan tambang. Dan ketika perusahaan itu diusik, maka tanpa sungkan-sungkan aparat bersenjata ini akan menggunakan kekuatan mereka untuk memukul mundur mereka, bahkan tragisnya baru-baru ini dikabarkan empat (4) orang meregang nyawa dan puluhan lainnya terluka akibat pembubaran paksa aparat terhadap rakyat yang menumpahkan perlawanannya terhadap ’kebjakan’ Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain, ST., dengan memblokir pelabuhan Sape-Bima.
Bongkahan ’emas’ yang menggiurkan hati penguasa dan kaum pemodal itu pun berbuah petaka maut. Padahal, dengan berbagai cara rakyat menunjukkan ekspresi penolakannya bahkan dengan cara-cara yang sangat radikal. Namun, tidak membuat kekuasaan dan kaum pemodal menyurutkan niat dan langkahnya. Tambang ’emas’ pun berubah menjadi tambang berdarah. Haruskah penguasa, khususnya Bupati Bima tetap mempertahankan SK. 188 itu, sementara darah rakyat Lambu telah tercecer untuk menolak keberadaannya. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab terhadap matinya lima (5) orang nyawa rakyat ini?. Seseorang yang meninggal di jalan raya saja karena ditabrak sebuah mobil atau truk tetap dimintai pertanggungjawaban karena kelalaiannya.
Apalagi mereka meregang nyawa karena tertembus timah panas. Meski itu alasannya telah memenuhi protap, maka dimanapun dan dibelahan Negeri manapun, tidak ada Negara yang langsung melakukan ’pembunuhan’ terhadap warganya tanpa melewati persidangan di Pengadilan. Negara ini bukan menghadapi pemberontak, tapi mereka hanya pengunjuk rasa. Wallahu’alam Bissawab.*).
×
Berita Terbaru Update