-->

Notification

×

Iklan

Jangan Terpaksa Menjadi Guru…!

Thursday, November 24, 2011 | Thursday, November 24, 2011 WIB | 0 Views Last Updated 2011-11-24T02:19:22Z
Oleh: Rafika, S.Pd
Judul di atas adalah sentilan dari Drs. Husen (Pengawas pendidikan pemkab. Bima ketika sharing di SMA Negeri I Bolo tanggal 27 Oktober 2011) Dan memang benar, ketika semua pekerjaan dila¬koni dengan sebuah keterpak¬saan, hasilnya pun adalah hasil dari proses keterpaksaan, William James.
Profesi atau pekerjaan haruslah berangkat dari hati dan niat yang tulus, Umar H.M. Saleh, S.Pd (Kasek SMA Negeri I Bolo ketika rapat Dinas tanggal 2 Nopember 2011). Model dan aktivitas apapun yang kita kerjakan dengan motivasi yang tinggi,
kesuksesan adalah akhir dari semuanya. Dalam kamus bahasa Indonesia, terpaksa adalah berbuat di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan; mau tidak mau harus; tidak boleh tidak. Keadaan adalah suasana atau situasi yang sedang berlaku. Ketika keadaan tidak memihak, janganlah ingin tetap terlibat, karena ujung-ujungnya kita akan “terjerumus” Jadi alurnya, ketika suasana se¬dang panas, terpaksa harus ikutan “kepana¬san”, begitu juga dengan ketika cuaca dingin, pasti akan cenderung ikutan “kedinginan”. Ketika divonis harus bersikap “yes” semuanya haruslah yes dan pro, begitu juga ketika dituntut untuk mangkir, haruslah ikutan mangkir. Idealnya laksana parasit poliksen. Jenis ini doyan hidup pada lebih dari satu jenis hospes (tuan rumah yang ditumpanginya) Ini yang parah, karena segala-galanya harus “numpang” pada kejayaan yang ditumpanginya.
Ketika musim tumbuhan yang lain makmur dan jaya, dia akan pindah nempel mencari tum¬pangan lain dan mutasi. Tak ubahnya “mata-mata” Tingkatan kinerjanya “sadis” dan “aji mum¬ pung” .Pekerjaannya hanya numpang makan, plus numpang hidup. Lalu bagaimana galaunya ketika manusia seperti pola hidupnya parasit. Dan Alangkah sia-sianya hidup ketika kita seperti parasit, begitu sentilannya Drs. Abdollah (guru Biologi SMA Negeri I Bolo) Lain halnya dengan tanam paksa atau kerja rodi pada zaman Belanda yang dipimpin oleh Van Den Bosch .Kerja paksa dulu adalah sum¬bangan wajib berupa penyerahan tenaga kerja bagi kepentingan pemerintah (di Zaman penjajahan Belanda dengan paksa ancaman hukuman berat dan tanpa ganti rugi) Hal itu tentu berbeda dengan kasus “terpaksa” pada judul di atas. “Terpaksa” pada judul di atas berbeda dalam mo¬ment dan analisis kebutuhannya. Dulu Belanda yang menindas, sekarang pribadi kita yang menindas iri sendiri. Karena dengan sengaja melakoni pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat, minat dan profesi adalah pen¬jajahan terselubung. Begitu jahat dan bodohnya kita, sampai-sampai dengan sadar kita telah melakukan kejahatan pada diri sendiri. Oke-lah kita merugikan diri sendiri , tetapi bagaimana konsekwensinya ketika kita merugikan banyak orang ? Merugikan bangsa dan merugikan generasi penerus ! Setiap pekerjaan tidak boleh dilakukan dengan setengah hati, karena kita akan merasa terbebani.Apa iya selama sekian tahun kita harus terbelenggu dengan pekerjaan yang tidak kita senangi ? Apa iya kita harus membohongi orang sepanjang masa ?
Antara kejujuran kepada hati atau diri sendiri, juga kejujuran kepada orang lain. semuanya menjadi dualisme dan “mengantung”. Membo¬hongi orang lain, kalau tidak ketahuan tidak akan mendapat sanksi ! tetapi membohongi diri sendiri walaupun dengan sengaja dan jelas-jelas kita mengetahui dan melakoninya, adalah sesuatu yang mustahil kita menuntut “keadilan¬nya”. karena akan sama halnya dengan “memenggal” leher sendiri atau memasung diri sendiri. Anda termasuk golongan demikian? Mudah-mudahan kita dijauhkan oleh hal-hal demikian , karena akan merugikan diri sendiri, orang lain ,dan lembaga yang berinteraksi dengan kita. Atau kita telah diwarisi oleh virusnya penyakit “paksa” eks-nya Negara yang pernah dijajah. Makanya kita suka dipaksa, terpak¬sa,paksaan,dipaksakan, paksa-paksa atau me¬maksakan diri walau keadaan tidak memung¬kinkan. Kita cenderung ingin “beda” dan “wah” padahal “O’ON. Sikap ini adalah cikal bakal dari memaksakan keinginan tanpa melihat modal dan potensi yang ada. Banyak yang terjadi di masyarakat, ketika perusahaan dipimpin oleh individu yang tidak kompeten, guru yang bukan guru, siswa yang bukan siswa, anak yang bukan anak-anak, penulis yang bukan penulis, ibu yang bukan ibu. Lalu yang koherennya bagai¬mana? Ya, guru harus benar-benar menjadi guru, siswa harus yang benar -benar menjadi siswa, anak yang haruslah benar-benar menjadi anak, dan ibu yang haruslah benar-benar men¬jadi ibu .Penulis yang benar-benar kompeten. Ketika guru sudah benar-benar menjadi guru pasti akan mendrop siswa yang handal dan super . Siswa yang benar-benar menjadi siswa pasti akan menjadi siswa yang berprestasi. Anak yang benar-benar menjadi anak pasti akan menjadi anak yang berbakti dan bermoral.
Sebaliknya ketika segalanya berlatar dan mengemban pada sebuah misi lembaga, kepentingan personal, balas jasa, anak emas, cita-cita golongan tertentu. Adalah sebuah “mimpi” mengharapkan kontribusi yang maksi-mal. Ya, ibarat magma dan lahar panas pada gunung berapi yang akhirnya akan melintasi lereng yang siap mematikan lingkungan sekelilingnya. Tragis karena memang semuanya bermuara dari sebuah trategi yang dilakukan secara sadar.Tragedi ini akan berbuntut panjang, bermasalah, memusingkan banyak pihak , dan merugikan semua pihak. Profesi itu harus dicintai, karena kecintaan kita pada keperjaaan akan tersosialisasi ketika membe¬rikan pelajaran. Ilmu Pengetahuan yang disampaikan dengan strategi dan pembelajaran yang maksimal akan tercapai sesuai dengan tujuan pendidikan.
Pembelajaran itu harus menarik, tidak membosankan,penuh tantangan, penuh warna sehingga tidak akan ada siswa yang terpaksa mengikuti pelajaran, Dr. Indra Djati Sidi, Ph.D. Siswa dan guru harus sama-sama berinteraksi aktif dengan dasar kecintaan kepada pelajaran. Guru harus menjadi idola bagi siswanya, guru harus aktif dan kolaboratif, tidak monotan dalam metodenya. Ketika siswa ada yang”bolos” , guru haruslah respek dan per-lu”TandaTanya Besar”. Guru yang profesional harus bisa menghitung berapa kali tidak masuk mengajar, dan Berapa kali telat masuk dalam setahun, Drs. Husen, Pengawas Pendidikan Pemkab Bima. Sebenar¬nya guru yang inovatif itu serum¬pun dengan guru yang bersertifikat. Dari semua item dalam jabaran sertifikasi, semua unsur-unsurnya harus terpenuhi dalam kategori guru inovatif. Dan Ke-10 poin tersebut harus terpenu¬hi, terisi dan terlaksana dengan maksimal, baru bisa masuk ke kelompok guru-guru yang bersertifi¬kasi. Kalau sudah bersertifikat, jelas-jelas sudah inovatif. Inovatif artinya memiliki daya cipta ,kreatif, dan berkolaborasi.Pasnya kalau tidak demikian, tidaklah berhak mendapat sertifikat. Tentu saja relevansinya dengan kegiatan dalam meningkatkan proses belajar mengajar.
Sudah bersertifikat tetapi tidak inovatif , identik dengan nasi tanpa lauk, hambar tidak ada ‘rasa’ sama sekali. Yah… seperti oc dalam label tetapi nol besar dalam kualitas.Baiknya semua aspek haruslah berkualitas dan sukses. Dan janganlah terpaksa menjadi guru, karena tugas kita begitu mulia dan sarat amanah, amin.

Penulis: Pemerhati Pendidikan dan Budaya Bima
×
Berita Terbaru Update